Review film Guru-Guru Gokil, Indonesia banget tapi kurang nendang
Film original Netflix kedua dari Indonesia ini, mengisahkan seorang laki-laki yang ingin mengejar impiannya untuk menjadi sukses dan diperankan oleh Gading Marten dengan kisah berdurasi 101 Menit.
Netflix kembali hadir menawarkan sebuah film original yang berasal dari Indonesia yaitu “Guru-Guru Gokil”. Film ini perdana ditayangkan pada 17 Agustus 2020 dan menjadi debut bagi aktris ternama yaitu Dian Sastrowardoyo sebagai produser. Film yang disutradai oleh Sammaria Simanjuntak, dapat dilihat oleh pengguna Netflix dari 190 Negara dan menyediakan subtitles dalam 17 bahasa. Film original Netflix kedua dari Indonesia ini, mengisahkan seorang laki-laki yang ingin mengejar impiannya untuk menjadi sukses dan diperankan oleh Gading Marten dengan kisah berdurasi 101 Menit.
Film ini berawal dari kisah seorang laki-laki bernama Taat Pribadi (Gading Marten) yang mempunyai ambisi untuk menjadi sukses. Gambaran sukses baginya adalah memiliki uang yang banyak. Namun, satu waktu ketika dirinya terdesak oleh satu hal, membuat Taat menjadi seorang guru sejarah di sekolah tempat ia dahulu menempuh pendidikan hingga ke jenjang SMA.
Pekerjaan tersebut adalah hal yang sangat tidak sukai oleh Taat karena menurutnya itu bukanlah kemampuan dirinya. Hingga saat Taat menjalani pekerjaan tersebut, terdapat sebuah insiden yang sangat tidak terpikirkan sebelumnya. Mulai dari kejadian itu, membuat Taat harus menghadapi pergumulan yang begitu berat mengenai perubahan pandangannya terhadap kesuksesan, uang, dan profesi guru.
Menurut saya, film ini tidak begitu sesuai dengan judul yang diberikan, dimana konflik yang diceritakan tidak terlalu “nendang”. Seharusnya film tersebut menampilkan kesan yang benar-benar “gokil”, sehingga penonton pun terkesima dan terpukau dengan jalan cerita yang ditawarkan. Contohnya, terdapat peran penjahat yang dinamakan Pak Le (Kiki Narendra). Dia memang sesuai dengan karakter seorang penjahat yang sangat kejam, tetapi konflik yang diberikan tidak terarah, karena tujuan Pak Le untuk berbuat jahat seperti itu tidak dijelaskan secara detail mengapa dan apa tujuannya. Dengan demikian, konflik yang ditawarkan seperti terlalu dipaksakan.
Kemudian dari bumbu-bumbu komedi yang diberikan juga tidak terlalu menggelitik hati penonton, setidaknya menurut saya. Karena, terdapat beberapa scene yang memang menunjukkan sisi komedinya, tetapi tidak terlalu “nendang” dan terkesan memaksa.