Lubang tambang bekas jadi baterai gravitasi, solusi penyimpanan energi ramah lingkungan
Dunia sedang berlomba mencari solusi penyimpanan energi untuk mendukung transisi ke sumber terbarukan.

Dunia sedang berlomba mencari solusi penyimpanan energi untuk mendukung transisi ke sumber terbarukan. Salah satu inovasi menarik datang dari pemanfaatan lubang tambang bekas sebagai "baterai gravitasi". Dilansir dari New Atlas (18/3), konsep ini memanfaatkan infrastruktur tambang yang sudah tidak terpakai untuk menyimpan energi potensial dengan cara mengangkat dan menurunkan beban berat.
Baterai gravitasi bekerja dengan prinsip sederhana: saat energi listrik berlebih (misalnya dari panel surya atau turbin angin), beban seberat puluhan hingga ribuan ton diangkat ke kedalaman lubang tambang menggunakan sistem kabel dan motor. Ketika energi dibutuhkan, beban diturunkan secara terkontrol, dan gerakan ini mengaktifkan generator yang menghasilkan listrik. Sistem ini mirip dengan teknologi pumped hydro, tetapi menggunakan massa padat, bukan air.
Lubang tambang yang ditinggalkan sering menjadi masalah lingkungan dan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dengan mengubahnya menjadi baterai gravitasi, biaya pembangunan infrastruktur baru bisa ditekan karena struktur lubang sudah ada. Selain itu, kedalaman tambang (bisa mencapai ratusan meter) memungkinkan penyimpanan energi dalam skala besar. Menurut studi, satu sistem di tambang dalam bisa menyimpan energi hingga 20 MW—cukup untuk menghidupi ribuan rumah selama beberapa jam.
Selain ramah lingkungan, baterai gravitasi di tambang bekas memiliki daya tahan tinggi. Beban mekanis tidak mengalami degradasi seperti baterai kimia, sehingga sistem ini bisa bertahan puluhan tahun. Proyek percontohan seperti yang dikembangkan perusahaan Gravitricity di Skotlandia telah menunjukkan efisiensi hingga 85%, lebih tinggi daripada baterai lithium-ion.
Meski menjanjikan, implementasi teknologi ini memerlukan investasi awal besar dan penyesuaian desain tambang. Namun, dengan dukungan pemerintah dan swasta, tambang bekas di seluruh dunia—termasuk Indonesia—bisa menjadi aset berharga untuk transisi energi.