Tiga jam bersama Shinta Wardiastuti
Lebih dekat dengan Shinta Wardiastuti, Kepala Public Relations Samsung Indonesia, yang dikenal karena perhatiannya terhadap detail dan kemampuannya untuk multitasking.
Shinta Wardiastuti, memegang, sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri, duduk di Restoran Sate Khas Senayan ditemani dua perempuan dari sebuah PR Agency. Saat melihat saya mendekat dari pintu masuk, wajahnya berubah, seperti bunga yang mekar di bawah sinar matahari, dari serius menjadi senyuman yang hangat.
“Halo, Bert. Lo dari mana tadi,” katanya sembari mendekatkan sepiring gorengan ke arah saya yang baru duduk.
Saat Shinta memulai percakapan dengan senyuman, suasana hati saya berubah. Saya mengurungkan niat untuk mengeluhkan cuaca Jakarta yang terasa lebih panas dan kualitas udara yang lebih buruk dari biasanya di awal Juni ini. Dia bisa membuat seorang jurnalis merasa seperti teman lama. Dia bisa membuat orang merasa nyaman, membuat mereka merasa dihargai dan dihormati. Dia bisa membuat orang merasa penting, bahkan ketika dia sedang mengkritik pekerjaan mereka. Bagi jurnalis yang sudah dianggap senior, saya sering menganggap Shinta sebagai “tempat aman” karena kita bisa merasakan dia hadir tidak dengan prasangka, menyalah artikan keramah-tamahan, dan tulus, tanpa harus menghilangkan demarkasi personal dan profesional. Ini adalah kualitas langka karena jurnalis senior seringkali disalah pahami oleh para PR muda; minim kata dianggap galak, ramah dituduh genit. Dilema.
Ada banyak topik serius yang bisa saya bahas dengan Shinta, termasuk keengganannya untuk tampil ke publik dengan alasan "Gua di balik layar aja". Dengan pengalaman lebih dari dua dekade di Samsung Indonesia, dia bisa bercerita banyak hal. Namun, memaksakan topik serius di jam makan siang bukanlah pilihan bijak. Saya memilih bersabar, melalui semua “small talks” sampai beberapa saat kemudian kami beringsut ke kantor pusat Samsung Indonesia di Menara Batavia, Jakarta. Agenda siang itu adalah rapat teknis persiapan Workshop dengan 80 media lokal dari seluruh Indonesia.
Di ruang rapat Lantai 25 itu, Shinta memilih duduk di dekat layar proyektor, menghadap jendela. Langit tampak cerah, meski Jakarta terselimuti polusi akut. Tiga rekan sejawatnya kemudian bergabung, sehingga total peserta rapat menjadi sepuluh orang, termasuk saya.