Bird Box, kesannya kurang horor untuk sebuah film horor
Bird Box menawarkan konsep yang menarik. Sayang eksekusinya masih kurang horor, bahkan untuk sebuah film horor psikologi.
Bird Box menjadi salah satu film sorotan menjelang akhir tahun 2018 lalu. Bagaimana tidak, film besutan Netflix ini berhasil meraih 45 juta penonton di seluruh dunia. Tak hanya itu, film ini juga memicu munculnya tantangan viral baru di internet. Belakangan Netflix menghimbau warganet untuk tidak meneruskan tantangan tersebut.
Nah, Tek.id pun tak mau ketinggalan untuk merasakan bagaimana sensasi horor yang Susanne Bier coba tampilkan dalam film ini. Berikut kesan kami setelah menonton Bird Box di Netflix.
Ketika mendengar kata horor, jangan lantas berharap untuk menyaksikan horor layaknya Insidious atau The Conjuring yang banyak menghadirkan jumpscare. Bagi para penggemar horor jumpscare, film ini tampaknya akan sangat membosankan untuk disaksikan. Bird Box mungkin lebih tepat dimasukkan ke kategori horor psikologi.
Film ini bercerita tentang seorang ibu bersama dua orang anaknya yang berusaha mencari perlindungan dari makhluk tak kasat mata yang mengincar manusia. Makhluk itu dikatakan akan mengambil bentuk sebagai ketakutan terbesar korbannya. Selanjutnya, korbannya akan melakukan aksi bunuh diri.
Patut diakui, hadirnya Sandra Bullock sebagai pemeran utama cukup membuat saya penasaran untuk menyaksikan film ini. Sandra Bullock bukan pemain film kemarin sore. Ia sudah malang melintang di Hollywood. Film layar lebar terakhirnya, Ocean 8, cukup baik menurut saya.
Adegan awal dibuka dengan Sandra Bullock (Malorie Hayes) sedang berusaha memberikan pengarahan pada kedua anaknya sebelum akhirnya melangkah menuju sungai. Ia berjalan dengan menggunakan penutup mata. Hal ini dilakukan untuk menghindari makhluk tak kasat mata tersebut.
Selanjutnya, alur film ini berjalan maju dan mundur. Beberapa kali scene berganti waktu ke lima tahun sebelumnya. Itu awal ketika bencana ini terjadi. Malorie berhasil selamat karena ditolong seseorang untuk memasuki sebuah rumah tempat berkumpul dengan orang lainnya.
Sebagai sebuah film horor psikologi, saya merasa konflik yang dihadirkan kurang maksimal. Padahal saya berharap untuk melihat sejumlah karakter yang bertolak belakang dan merasakan ketegangan yang coba dihadirkan dalam film. Sayangnya, beberapa karakter terlalu mudah berubah pendirian. Misalnya Douglas (John Malkovich) yang coba ditampilkan sebagai orang sinis dan rasional. Dari awal, ia berusaha ditampilkan sebagai orang yang menyebalkan. Bagi saya, “menyebalkannya” Douglas masih terasa kurang. Dibandingkan dengan Quiet Place, film thriller sci-fi yang serupa Bird box, tentu film ini masih kurang memberikan ketegangan.
Harus diakui, konsep post-apocalyptic dengan menutup mata merupakan hal yang baru. Namun secara keseluruhan, konsep bencana yang ditawarkan, cara makhluk mendatangi manusia dan bagaimana ia mendorong korbannya untuk melakukan bunuh diri, sudah pernah saya saksikan di tahun 2008, di film The Happening.
Konsep bencana yang ditawarkan sama, namun berbeda cara menghindarinya. Intinya, keduanya sama-sama menjerat korbannya untuk melakukan bunuh diri.
Ada beberapa misteri yang dibiarkan menggantung hingga akhir, seperti dari mana makhluk itu muncul. Lalu mengapa ada orang yang kebal berkeliaran di luar ruangan tanpa penutup mata? Padahal untuk selamat dari makhluk tanpa wujud itu, manusia memerlukan penutup mata. Ini agar menghindari kontak visual secara langsung.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, selain menghadapi ancaman dari makhluk misterius, para manusia yang selamat juga harus berhadapan dengan manusia lainnya yang entah mengapa tidak terpengaruh efek bunuh diri. Orang-orang tersebut justru memaksa orang lain untuk melihat makhluk itu.
Toh saya bersyukur karena makhluknya tidak ditampilkan. Jika memang Netflix mencoba menampilkan wujudnya, tentu akan sangat merusak mood film yang dibangun. Saya paham, film ini ingin mengajak penontonnya untuk merasakan ketegangan yang dihadirkan oleh makhluk tak kasat mata tersebut.
Sebagai sebuah film, saya akui banyak misteri yang akhirnya membuat saya merasa “nanggung” ketika selesai menontonnya. Klimaks seperti, dari mana asal makhluk tersebut atau bagaimana cara menghadapinya justru tidak ditampilkan sama sekali. Mungkin saja, kalau Bird Box dihadirkan dalam bentuk film seri, sutradara akan memiliki durasi lebih banyak untuk mengeksplor cerita film ini.
Yah tidak ada salahnya untuk menyaksikan film ini. Tapi jangan berharap banyak kalau anda tidak suka merasa “kentang” di akhir cerita.