Catatan generasi tukang belanja di Instagram
Aku jarang pergi ke mal untuk belanja. Aku lebih mengandalkan Instagram untuk membeli barang yang aku butuhkan.
Belakangan ini, aku sering membaca artikel mengenai generasi Millenial dan Z. Aku pikir, banyak juga ya ahli marketing di luar sana yang suka meneliti tingkah laku kami para generasi Millenial dan Z ini. Ada salah satu media online yang sampai menurunkan laporan khusus berseri-seri, lengkap dengan infografis mengenai generasi Z.
Demi apa coba? Cuma demi menyelami perilaku kami belanja di internet. Memang, apa hebatnya sih cara kami mengkonsumsi produk dan layanan yang mereka jejalkan?
Oh ya, kamu perlu tahu, aku kelahiran 1995. Kalau kata Sosiolog, Karl Mannheim, aku masuk masa akhir generasi Millenial, sementara Generasi Z setelah aku, katanya, lahir 1997. Aku bingung juga sebenarnya, apa aku ini generasi Millenial akhir atau generasi Z sebenarnya?
Lepas dari itu, sudah banyak juga yang bilang generasiku ini beda dengan generasi sebelumku. Kenapa? Sebab, generasiku disebut sudah terbiasa dengan internet dan perkembangan teknologi. Mereka bilang kamilah generasi pengguna teknologi native.
Ah, tidak juga. Buktinya, aku sendiri masih suka nongkrong dan bersosialisasi ke mal kok. Sekarang pun, saat menulis catatan ini, aku sedang duduk di salah satu sudut restoran yang ada di dalam mal. Aku bosan di kantor. Jadinya, aku memilih menulis di tempat makan seperti ini saja biar tidak penat.
Meski termasuk generasi Z, aku juga merasakan perubahan zaman loh, dari yang belum serba digital, menjadi semuanya serba digital. Supermal Karawaci, yang tak jauh dari tempat aku dibesarkan, adalah mal yang sering aku kunjungi kalau aku berbelanja dulu.
Di sini, aku biasa membeli semua keperluanku. Mulai dari keperluan sekolah, hingga kebutuhan sehari-hari. Seingatku, dua minggu lalu, aku baru saja dari sana. Sekadar jalan-jalan mencuci mata.
Aku perhatikan lebih jauh lagi, memang sekarang mal itu enggak seperti dulu. Supermall Karawaci sekarang cuma menyisakan H&M, Miniso, Hypermart, dan Carefour saja sebagai daya tariknya. Apa memang betul apa kata orang? Soal generasiku yang lebih suka belanja online?
Aku perhatikan lagi, di Supermall Karawaci orang-orang memang tujuannya hanya untuk belanja. Sementara aku lebih suka Summarecon Mall Serpong (SMS) karena lebih banyak pilihan tempat makannya. Di Karawaci minim pilihan. Seandainya seperti SMS, mungkin tidak membosankan.
Seiring bertambahnya usiaku, juga perkembangan teknologi yang makin maju akhir-akhir ini, cara belanjaku sejujurnya terpengaruh oleh media sosial. Aku kerap kali menggunaan media sosial Instagram sebagai tempat belanja. Buatku, Instagram memang bukan lagi untuk sekadar berbagi foto sehari-hari. Tapi, Instagram juga sebagai tempat favoritku berbelanja. Bukan cuma aku saja loh yang bilang begitu.
Teman aku, Tiya Septiyawati (24), seorang pegawai swasta, juga demikian. Baginya, belanja melalui Instagram lebih cepat dan simpel karena kita tidak perlu repot pergi ke mal. Memang, dia tidak belanja setiap hari di Instagram, tapi setiap hari pasti menyempatkan waktu mengecek barang-barang favoritnya di Instagram.
Memang, kami kadang-kadang kecewa karena pengalaman yang enggak menyenangkan. Tapi, itu enggak bikin kapok.
Menurut Tiya, kelemahan belanja fesyen lewat online itu, seringkali bermasalah dengan ukuran baju yang kurang pas.
“Biasanya juga bahan baju yang enggak sesuai sama fotonya, terus warna dan modelnya yang enggak sesuai yang bikin jengkel. Tapi malah aku enggak kapok, karena lebih sering puasnya dibanding kecewanya,” kata Tiya.
Tiya sampai punya tempat langganan sepatu di Instagram. Namanya @adorableprojects. Memang, ini bukan merek terkenal seperti Nike atau Adidas. BUT, WHO CARES???? Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.
Setelah aku kepo ke alamat website-nya, seller ini mengaku merek lokal asal Bandung. Mereka sudah eksis jualan online sejak 2008.
Coba pikirkan manfaat ekonominya? Kalau @adorableprojects ini buka lapak di mal, seperti penjual konvensional, paling-paling yang tahu orang Bandung. Tapi, karena mereka hadir di Instagram, semua orang jadi tahu kan? Pengikutnya saja sekarang ada 690 ribu. Pasti produk-produk mereka sudah dikirim ke mana-mana.
Hare gene masih fanatik merek? helllaaaaauuuuw.
Aku dan Tiya juga sama-sama sering terinspirasi membeli barang seperti yang sering dipakai para selebgram. Kami sebenarnya tahu selebgram itu mempromosikannya. Tapi, rasanya-rasanya cara mereka promosi tidak seperti iklan di televisi atau majalah (yang sering lebay).
Soalnya, selebgram itu seringkali pakai produk-produk yang sesuai kepribadiannya. Menurutku, pantas-pantas saja mereka mempromosikan barang-barang itu, tanpa harus terkesan jualan.
Tiya juga mengamini pandanganku soal pengaruh ini.
“Justru awal mula pengen beli dari Instagram itu kadang-kadang karena lihat yang dipakai sama selebgram sih. Biasanya aku lihat selebgram @dwihanda,” kata Tiya ketika aku diskusi sama dia.