Di Brasil, pecandu smartphone punya harapan sembuh
Brasil adalah negara keempat terbesar pengguna internet di dunia. Wajar bila ada yang gangguan jiwa akibat smartphone.
Pecandu internet di Brasil bisa mendapatkan perawatan "detoksifikasi" di Instituto Delete di Brazil. Ini adalah sebuah pusat yang fokus pada rehabilitasi kecanduan smartphone dan internet.
Bagi banyak orang, smartphone adalah perpanjangan tangan kita. Entah itu dinilai sebagai sebuah aktivitas yang sehat atau tidak, tetap saja mempengaruhi kehidupan kita.
Kecanduan smartphone pun sering disebut sebagai nomophobia. Gabungan dari tiga suku kata, "No," "Mobile," dan "Phobia,". Ketiga kata itu menjelaskan ketakutan tidak masuk akal, ketika seseorang kehilangan akses dengan koneksi internet di smartphone.
Instituto Delete didirikan oleh departemen psikologi, Universidad Federal de Rio de Janeiro. Pada 2013, Psikolog Anna Lucia King mendirikan institusi ini bertujuan untuk membantu mereka yang bergantung pada internet.
Perawatannya berfokus pada menemukan cara sehat untuk menggunakan smartphone kita. Institusi tidak ingin menghapus smartphone sepenuhnya dari kehidupan kita, namun dengan mengatur penggunaannya.
Eduardo Guedes, peneliti dan konselor yang mengkhususkan diri pada media digital di institusi ini, mengatakan kepada La Nación dan dilansir The Next Web (18/11), "Penggunaan smartphone menjadi tidak masuk akal, ketika dunia virtual mengganggu kehidupan yang sebenarnya. Saat orang mulai kehilangan kontrol, maka mereka mudah terjerumus ke lingkaran kecanduan,"
Ketika tiba di Instituto, pasien melakukan tes terlebih dahulu, untuk menentukan jenis kecanduan apa yang mereka miliki. Psikolog di Instituo pun mengevaluasi, apakah mereka memiliki kecemasan, fobia sosial, atau gangguan kompulsif obsesif.
Pada langkah selanjutnya, pasien dipisahkan menjadi tiga kelompok, tergantung pada tingkat dan jenis kecanduan yang mereka miliki. Kemudian mereka akan menerima perawatan personal.
Staf di institut tersebut mengadakan pertemuan mingguan untuk berbagi pengalaman mereka dalam menangani pasien dan mencoba berbagai latihan. Latihannya sederhana saja seperti, menonton film atau membaca buku tanpa melihat smartphone mereka.
Pasien juga belajar taktik untuk menghindari penggunaan smartphone secara berlebihan. Beberapa kasus bahkan memerlukan pengobatan medis. Efek kecanduan ini memang tidak hanya soal psikologis. Beberapa pasien bahkan mengalami masalah leher karena terlalu sering melihat ponsel mereka, sehingga memerlukan perawatan khusus untuk itu.
Ini mungkin terdengar lucu, namun ada 77 persen orang Amerika memiliki smartphone. Rata-rata mereka menghabiskan hampir 3 jam setiap hari untuk melihat layar smartphone. Ini adalah isu penting dan bukan sesuatu yang harus dianggap enteng. Faktanya, Brasil memiliki penggunaan internet tertinggi keempat di seluruh dunia.
Sementara Indonesia akan menyaingi Brasil 2018 mendatang. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan, pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang.
Menurut sebuah penelitian dari Digital GFK Asia, perempuan Indonesia setidaknya menghabiskan waktu selama 5,6 jam per hari saat mengutak-utik layar smartphone mereka. Adapun pria Indonesia, setidaknya menghabiskan waktu selama 5,4 jam sehari dan membuka sekitar 47 aplikasi atau alamat website.
Perhitungan rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu dengan smartphone-nya selama 5,5 jam sehari dan membuka 46 aplikasi dan alamat website.
Nomophobia memang belum terdaftar sebagai jenis kecanduan atau fobia resmi oleh Statistical Manual of Mental Disorders. Kendati begitu, kita cukup mudah melihat dampaknya terhadap orang-orang, terutama kaum millenial dan Z. Apakah ini tandanya, kita akan segera punya pusat kesehatan khusus pecandu smartphone, seperti di Brasil?