Glass, film superhero yang berbeda dari yang lain
Sekuel ketiga Glass menampilkan ketiga karakter utama yang berkekuatan superhero dalam satu frame. Begini jadinya.
Saya mengenal trilogi Unbreakable lewat film Split (2016) terlebih dahulu. Split mengisahkan karakter psikopat bernama Kevin dengan 24 kepribadian. Karakter ini diperankan secara apik oleh James MacAvoy. Menulusuri informasi lebih lanjut, ternyata saya jadi tahu bahwa Split adalah sekuel kedua dari Unbreakable (2000). Kedua film tersebut diarahkan sutradara yang sama, M. Night Shyamalan. Oleh karena itu, ketika Glass hadir sebagai sekuel ketiga Unbreakable dan Split, saya pun excited banget untuk nonton.
Ketiga film ini sebenarnya bisa dinikmati satu sama lain. Dengan demikian, walau tak pernah menonton dua judul film sebelumnya, kamu tidak akan kehilangan arah dalam menikmati film Glass. Justru, di situlah tantangan bagi pembuat film ini. Bagaimana caranya dia membawa kisah tiga karakter terpisah menjadi satu kesatuan yang utuh?
Baik, saya awali dari tokoh pertama, Mr. Glass alias Elijah Price (Samuel L. Jackson). Karakter ini muncul di film Unbreakable pada tahun 2000 silam. Alkisah, dia memiliki kondisi medis yang tidak lazim. Tulangnya sangat rapuh seperti kaca. Dia bahkan patah tulang sejak dalam kandungan, saking rapuhnya. Kendati begitu, otaknya sangat cemerlang.
Mr. Glass yang bekerja sebagai penjual buku komik percaya bahwa superhero bukan hanya cerita fiksi belaka. Justru, dia menganggap buku komik sebagai sejarah yang benar-benar terjadi.
Kegundahan batin Mr. Glass sebenarnya berasal dari satu pertanyaan. Apabila ada orang selemah dia di dunia ini, pasti ada sisi kebalikannya, yakni orang yang sangat kuat. Dia pun menemukan David Dunn alias The Overseer (Bruce Willis), pria yang sangat kuat dan memiliki indra keenam. Saking kuatnya David, dia sampai lupa kapan terakhir kali sakit secara fisik. Bahkan, dia dikisahkan lolos dari kecelakaan maut tanpa luka gores sedikit pun dalam Unbreakable.
Kemudian, ada Kevin (James McAvoy), pria dengan 24 kepribadian. Kevin sebenarnya karakter anti-hero. Apalagi, kepribadian ke 24 dalam dirinya sangat berbahaya karena mirip monster.
Begitulah sedikit gambaran karakter yang muncul di dua film sebelumnya. Lalu, film Glass ini sebenarnya melengkapi dua sekuel terdahulu. Mr. Glass dan Kevin adalah pasien rumah sakit di rumah tahanan daerah Philadelphia. Mereka pun bertemu di bangsal rumah sakit tersebut.
Hanya dari satu lokasi pengambilan gambar itulah kisah film Glass berkembang. Kemudian, muncullah David Dunn yang akhirnya mampu menerima dirinya sebagai manusia berkemampuan spesial. Dia pun mulai mengeksplorasi potensi dalam dirinya. Hanya saja, dia tidak tahu, sebenarnya itu adalah bagian dari rencana cemerlang Elijah alias Mr. Glass. Glass juga mencoba mengeksplorasi sakit jiwanya Kevin di film ini.
Pada akhirnya, film Glass pun menawarkan drama dengan alur yang suspensif. Ada sisipan pesan moral di dalamnya, soal kritik terhadap mekanisme kesadaran diri manusia. Tema besar inilah yang coba digali pembuat cerita Glass.
Pada masa pengurungan di Philadelpia itu, mereka dirawat oleh Dr. Ellie Staple (Sarah Paulson). Psikiater ini dengan tekun mempelajari sifat ketiga pasiennya, sembari berusaha mengubah perspektif mereka terkait superhero.
Meski pengambilan lokasi shooting di satu area, alurnya tercipta tidak hanya untuk ditonton, namun untuk bisa dinikmati. Saya pun disuguhkan plot twist yang mampu menggugah rasa penasaran saya di akhir-akhir cerita.
Selain itu, meski hanya berfokus menampilkan tiga karakter utama, setiap karakternya mampu menghidupkan cerita dari sekuel-sekuel sebelumnya. Ketiga karakter ini percaya bahwa mereka memiliki kekuatan super dalam diri masing-masing. Meski begitu, tidak ada gambaran secuil pun dari film tersebut yang memperlihatkan kekuatan superhero secara gamblang.
Narasi Glass menyentuh ruang psikologis penonton. Membuka ruang pertanyaan fundamental soal kekuatan super yang dimiliki manusia biasa. Ia jadi tontonan yang bisa membuat saya terngiang-ngiang sampai usai menontonnya.
Ketiga karakter di film Glass sendiri terbilang berasal dari latar belakang yang unik. Ketiganya memiliki trauma di masa kecil dan masing-masing memiliki cacat dari segi yang berbeda. Cacat mental inilah yang membuat mereka jadi tampak manusiawi. Jauh memang dari kesan kuat dan powerfull seperti kisah pahlawan super lainnya yang digambarkan di buku komik dan film populer.
Jadi, saat menonton Glass, saya terkadang berpikir apakah mereka bertiga benar-benar memiliki kekuatan super? Atau saya hanya gundah karena mengira mereka sekadar terinspirasi kekuatan super dari buku komik. Pikiran-pikiran delusionis itulah yang mempengaruhi kemampuan mereka hingga melebihi orang biasa.
Sayangnya, tidak ada aksi yang heboh. Ketika saya datang ke bioskop, ada harapan agar ketiga karakter tersebut pada akhirnya saling bertarung dengan menunjukkan kekuatan supernya. Namun film ini malah menampilkan adegan pertarungan layaknya orang biasa. Kemasan pertarungannya pun disuguhkan secara singkat saja. Di akhir film, ketiganya bahkan mengalami nasib tragis. Akhir yang tanggung, tapi secara keseluruhan, film Glass masih sangat layak untuk ditonton.