Justice League enggak sejelek itu kok
Selesai menonton Justice League, ada perasaan campur aduk dalam pikiran saya. Gembira, sedih, bingung dan sedikit tidak percaya.
Saat saya menulis artikel ini, beberapa artikel dari media Amerika Serikat yang mengulas film Justice League 2017 sudah beredar dan viral di media sosial. Salah duanya adalah yang menganggap film ini "Mess" dan Big Ugly Mess". Seburuk itukah?
Justice League masih menampilkan kesan gelap dan dewasa komik DC. Namun, rasa humor sang sutradara, Jack Snyder, justru membuat film ini terkesan seperti tim superhero milik Stan Lee.
Film ini dimulai dengan suasana duka yang masih sangat menghantui masyarakat dengan kematian Superman. Jack ingin menceritakan ancaman bagi Bumi dan apa yang mengundangnya ke Bumi.
Alur ini cukup informatif mengingat saya bukan fans berat komik DC. Setidaknya, ini membantu saya menikmati film tanpa penuh rasa tanda tanya. Walaupun sejujurnya, saya tidak tahu siapa itu Steppenwolf dan dari mana Parademon berasal.
Film ini cukup menggiring rasa penasaran saya, mengingat belum banyak karakter yang memiliki film sendiri terlepas dari Justice League, kecuali Batman vs Superman dan Wonder Woman.
Jack Snyder berusaha untuk menceritakan sedikit latar belakang masing-masing karakter dalam alur film, tapi porsinya sedikit sekali. Entahlah, mungkin dia sengaja mengaturnya seperti itu agar tetap menjaga rasa penasaran saya untuk menonton kembali ketika Cyborg, The Flash dan Aquaman memiliki film sendiri.
Secara garis besar, saya bisa mengikuti plot cerita film jagoan DC ini. Mungkin, ini karena Jack Snyder mengemasnya cukup ringan. Misalnya, ketika tim Bruce Wayne dan Diana Prince mencoba mengumpulkan sisa Justice League lainnya, sementara, saat itu, Steppenwolf berusaha mengumpulkan 3 buah kotak yang disebut “Mother Box” untuk dapat menguasai Dunia.
Di tengah cerita, rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Rasa penasaran yang terus bergejolak saat mengantre berjam-jam seperti ketika menunggu Transjakarta yang terjebak banjir. “Ia” hidup kembali, namun ... semudah itu? Jujur saya mengharapkan cara yang lebih sukar.
Saya cukup kecewa dengan sosok Bruce yang dibuat terlalu lembek, dibanding seorang Barry Allen sekalipun. Bruce seperti bukan Bruce dan tidak mengesankan seperti seorang pemimpin Justice League. Berbeda dengan Batman pada Batman vs Superman yang penuh strategi untuk mengalahkan Superman.
Dari sini, saya seperti bisa menebak jalan cerita dari film ini karena “ia” sudah hadir kembali di Bumi. Benar saja, seorang SteppenWolf yang sangat superior melawan lima orang Justice League tiba-tiba menjadi tidak bertaji ketika ‘dirinya’ akhirnya hadir.
Secara keseluruhan, saya cukup bisa menikmati film besutan Jack Snyder ini, namun jauh dari kata memuaskan. Jack Snyder memang cukup banyak menyelipkan bumbu-bumbu komedi, bahkan di tengah pertarungan sekalipun. Itu yang membuat film ini tetap layak untuk ditonton.
Seperti yang sudah dibocorkan Jason Momoa pada wawancara singkatnya, “Kamu harus menonton post credit seusai film dan itu ada dua!”, ini justru yang membuat saya sangat bersemangat untuk menonton sekuel dari seri Justice League ini.