Review The Flu, ketika krisis pandemi tunjukkan sifat alamiah manusia
The Flu adalah film tentang wabah pandemi H5N1 di Korea Selatan besutan Kim Sung Su. Film ini menonjolkan sifat alamiah manusia ketika dihadapkan pada sebuah krisis pandemi yang bisa mengancam nyawa.
Tidak ada satu orang pun yang berharap akan munculnya wabah pandemi. Apalagi kalau pandemi tersebut mematikan, termasuk corona (Covid-19). Sebenarnya penyebaran virus ini mengingatkan saya pada beberapa judul film tentang wabah pandemi, seperti Outbreak (1995), Contagion (2011), dan The Flu (2013). Dari ketiga film tersebut, Contagion lah yang paling dekat ceritanya dengan Covid-19 karena memiliki gejala yang sama dan berasal dari Tiongkok. Namun, secara pribadi saya lebih memilih The Flu (2013), melihat latar pada film ini di Asia, sedangkan dua lainnya berlatar di Amerika. Yap, The Flu merupakan film besutan sutradara Korea Selatan, Kim Sung Su.
Tonjolkan sifat manusia ketika dihadapkan pada krisis
The Flu bercerita tentang penyebaran virus H5N1 pertama di kota Bundang, Korea Selatan yang datang dari peti kemas berisi imigran gelap dari Filipina. Virus pun mulai menyebar ketika peti kemas yang berisi jasad-jasad dibuka. Sutradara Kim tidak menceritakan asal mula virus ini mendetail, namun berfokus pada sifat alami manusia ketika dihadapkan pada sebuah krisis yang dapat mengancam nyawa kapan saja. Sifat manusiawi yang dimaksud adalah ketika setiap individu berusaha menyelamatkan diri dan orang yang disayang, mereka rela melakukan apa saja.
Seperti adegan panik orang-orang di dalam super market yang berburu masker. Adegan ini sama persis dengan yang terjadi belakangan di beberapa negara karena Covid-19. Bukannya Lee Yeong-jong dan Kim Sung-su – penulis The Flu – dapat meramal, tapi memang seperti inilah naluriah manusia yang sedang bertahan hidup.
Perdebatan antara ahli medis dengan elite politik juga menunjukkan keegoisan mereka yang punya jabatan dan kepentingan. Di mana perdana Menteri dan Snyder, karakter dari pihak PBB, bersikeras membumihanguskan Bundang tanpa mendengarkan ahli medis yang hendak membuat antibodi untuk virus ini. Hal ini karena kekhwatiran virus dapat menyebar sangat cepat melalui udara, tidak seperti Covid-19. Daripada menunjukkan penyebaran dari satu sudut pandang, Sutradara Kim lebih memilih menampilkan cuplikan-cuplikan penyebaran virus dari orang ke orang hingga seluruh penjuru kota dalam hitungan jam.
Aktor pendukung Cha In Pyo yang memukau
Rencana meluluhlantahkan kota serta orang-orang yang ada di dalamnya ditentang oleh Presiden Korea Selatan (Cha In Pyo). Munculnya karakter Presiden di sini serta pembawaannya melegakan bagi saya yang tidak setuju dengan rencana Perdana Menteri dan Snyder – perwakilan pihak luar negeri.
Sutradara Kim bisa dibilang tepat dalam memilih peran pendukung. Karena tidak tanggung-tanggung, ia menggandeng Cha In Pyo untuk memerankan tokoh pendukung Presiden. Cha In Pyo adalah aktor papan atas sekaligus sutradara yang aktingnya tidak perlu diragukan lagi dengan segelintir penghargaan dari peran-perannya. Memerankan Presiden yang membela rakyat sangat pas untuk Cha In Pyo menurut saya. Apalagi dirinya memang dikenal dengan akting yang tegas.
Saya ingat betul pada 10 menit terakhir film, saya dibuat terpukau oleh salah satu dialog Cha In Pyo.
“Those people, they are my people,” kata Cha In Pyo ketika hendak mengambil alih perintah dari Snyder.
Kalimat sederhana itu disulap Cha menjadi kalimat bijaksana yang mungkin telah menyihir penonton lainnya tidak hanya saya. Intinya, saya sangat mengapresiasi keterlibatan Cha In Pyo dalam film ini.
Romantisme dan hal tidak masuk akal
Permasalahan dimulai ketika In Hae berupaya menyelamatkan putrinya yang sudah tertular virus. In Hae adalah dokter yang bertugas menghentikan virus ini. Selama mengerjakan tugas dokternya, In Hae dibantu Kang Ji Goo (Jang Hyuk), petugas Emergency Response Team (ERT) yang sebelumnya pernah ia temui, untuk menyelamatkan anaknya agar tidak diambil tim tentara Korea. Bukan film Korea namanya kalau tidak menaburkan bumbu-bumbu romantisme di dalamnya. Ada dua alasan Ji Goo rela menolong Mi Reu. Pertama, karena merasa bertanggung jawab sebagai tim ERT, kedua karena dirinya telah terpikat oleh sang Ibu, In Hae.
Oiya, satu hal keji yang mungkin berlebihan dalam film ini adalah, bukannya dibawa ke tempat penolongan darurat, orang-orang yang terbukti positif ini malah dibawa ke tempat pembakaran. Ya, tempat pembakaran manusia.
Adegan tembak menembak juga terlihat ketika masyarakat Bundang memaksa masuk ke perbatasan Bundang – Seoul karena tidak ingin virus ini menyebar ke pusat kota. Adegan menjadi sangat emosional ketika Mi Reu merentangkan tangannya memohon ke tim garda depan untuk tidak menembak ibunya. Anak kecil yang diperankan Park Min Ha kecil ini patut diberi pujian untuk akting menangisnya.
Walaupun saat penayangan pertama film ini tidak terlalu hit, mungkin di musim pandemi inilah waktu yang tepat bagi The Flu untuk merebakkan sayapnya kembali, meskipun agak sulit untuk menemukan film ini.