Tipuan influencer palsu di medsos
Agensi asal Spanyol, Human 2 Human (H2H) sengaja melakukan investigasi demi membuktikan popularitas di Instagram itu soal bisnis semata
Kurangnya kontrol di sektor influencer telah menyebabkan berbagai bentuk kecurangan. Hal ini terkadang membuat baik brand maupun agensi tidak tahu bagaimana cara mengawasinya.
Saat ini, menjadi lebih mudah dan murah untuk mengembangkan profil menggunakan cara-cara artifisial (tidak alamiah). Praktik-praktik membeli banyak pengikut, membeli like atau komentar, demi membuat influencer terlihat lebih menarik, menyebabkan peningkatan persentase influencer yang melakukan penyimpangan.
Penyimpangan ini tidak jauh-jauh dari perkara ekonomi. Uang yang influencer hasilkan utamanya ditentukan oleh ukuran komunitas (pengikut) mereka. Semakin besar maka semakin banyak uang yang mereka hasilkan. Banyak merek dan agensi hidup tanpa menyadari masalah ini. Bahkan mereka tidak melakukan analisa secara profesional mengenai kualitas pengikut dari setiap profil influencer. Akhirnya, mereka pun melihat angka yang berkali-kali berbeda dari kenyataan.
H2H, salah satu agen khusus influencer marketing, menggali lebih jauh beberapa situasi penipuan di industri ini. Oktober 2017 lalu, H2H menciptakan profil palsu di Instagram demi melakukan reportase investigasi mendalam.
Influencer baru ini memiliki akun, @almu_ripamonti. H2H membuatnya tumbuh dengan cepat lewat cara-cara artifisial, melalui pembelian pengikut, pembelian like dan komentar secara besar-besaran.
@almu_ripamonti merupakan sebuah profil yang rapi, dengan kualitas profesional. H2H menyewa seorang aktris untuk membuatnya tampak natural dan profesional. Dalam waktu singkat, profil ini menjadi sangat menarik bagi brand yang terus mencari wajah-wajah baru di industri internet.
Hampir tiga minggu kemudian, ketika influencer palsu memiliki 30 ribu pengikut, beberapa agen dan merek berniat untuk bekerja sama dengannya. Tawaran iklan berbayar dan kolaborasi lainnya, seperti mengirim produk atau undangan pun hadir.
Selama proyek investigasi berlangsung, H2H menyimpulkan beberapa hal.
Seorang influencer memiliki akses gratis (atau bahkan dibayar) ke dalam komoditas barang dan jasa, seperti jalan-jalan, pengalaman mewah, dan lain-lain.
Kedua, kesuksesan di internet ternyata bisa diciptakan. Praktik-praktik membeli pengikut, komentar dan like di media sosial adalah kenyataannya. H2H menghabiskan EUR500 (Rp8,4 juta) untuk memperoleh 100 ribu pengikut bagi influencer palsu. Waktunya pun sangat singkat. Hanya dalam tempo tiga minggu, aktivitas tersebut telah tercapai.
Terakhir, H2H menyimpulkan bahwa tidak ada kontrol atas industri influencer marketing ini. Padahal industri ini mengelola lebih dari EUR2 miliar (Rp33,8 triliun) per tahun dalam skala global.
Hal yang lebih serius lagi, banyak aktor utama mereka seperti brand maupun agensi, tidak menyelidiki tentang kualitas dan kesesuaian dari influencer yang mereka investasikan. Padahal memperhitungkan kerugian investasi mereka, dalam banyak kasus mereka adalah korban penipuan.
Tidak semua profil itu melakukan kecurangan. Luis Diaz, CEO H2H menjelaskan, "Akun palsu telah menginfeksi jaringan sosial. Dari 48 juta akun aktif di Twitter, hampir 15 persen adalah akun 'hantu' yang dirancang untuk berpura-pura sebagai orang sungguhan. Di Instagram, persentase ini hanya ada di kisaran 8 persen," ujarnya.
Pada November 2017, Facebook mengumumkan ada 60 juta akun otomatis yang mengembara di jejaring sosial mereka. Akun otomatis ini disebut bots. Meskipun pembelian ini terlarang dalam peraturan Facebook sendiri, kenyataannya akun seperti ini merupakan bisnis yang dijual secara terbuka.
Sebenarnya, apabila influencer marketing ini dilakukan dengan benar, dapat menawarkan hasil investasi lebih tinggi daripada investasi di medium lainnya. Namun kita harus bekerja dengan orang-orang yang telah menumbuhkan basis komunitasnya secara organik tanpa melakukan penyimpangan apapun.
*Kami menautkan foto akun Instagram @almu_ripamonti ke dalam artikel, sebelum akhirnya H2H menghapus akun ini dari Instagram (17/2).