Wajah industri musik Indonesia di era digital
Saya bertemu dengan pelaku industri musik Indonesia. Masih ada optimisme bagi industri musik di era digital yang makin disruptif.
Saya mengemasi barang-barang saya, Kamis (14/12) malam. Bukannya bergegas untuk pulang, namun malam itu saya tertarik mampir ke Pechakucha Volume 32. Kebetulan, malam itu, ada talk show yang menghadirkan praktisi-praktisi dari industri musik Tanah Air, selaku pembicaranya.
Mereka menjelaskan bagaimana industri musik bisa bertahan di tengah era digitalisasi yang dikenal disruptif (merusak pasar lama). Ridho, gitaris Slank, yang menjadi salah satu pembicara malam itu mengakui ada kelebihan dan kekurangan era album fisik dan era streaming, seperti saat ini. Dia tidak memungkiri, era digital telah mengubah wajah industri musik Indonesia lebih dalam.
“Zaman dulu sebuah lagu dan album itu selera produser. Gue pernah mengirimi sepuluh album ke sepuluh label berbeda-beda. Kalau satu album sepuluh lagu berarti ada seratus lagu. Tidak ada yang ok. Itu mungkin negatifnya zaman dulu. Enaknya zaman dulu, media promosi bisa terhitung, sekarang uang satu miliar juga habis kalau kita promosi di era digital,” katanya.
Lain lagi soal produksi lagu. Menurut para musikus, produksi lagu di era digital lebih gampang,
“Gue rekaman di rumah, hotel, atau waktu itu gue di Ambon, kirim ke Jakarta sudah gampang,” ujarnya.
Binis musik era disruptif
Era jualan album fisik tembus satu juta kopi telah berakhir. Di era digital, musikus harus lebih kreatif lagi bila bicara soal bisnis. Belum lagi kompetisi makin ketat dengan hadirnya talenta-talenta baru, yang dengan mudahnya viral hanya bermodalkan lagu cover.
“Sekarang kita ngomong bisnis musik digital, di mana gue sudah ada kontrak dengan iTunes dan lain-lain. Laporannya, mereka bikin saringan baru lagi. Padahal, gampangnya mereka tinggal kasih saja. Tapi dia kasih laporan soal potongan ke perusahaan ini-itu,” ujar Ridho.
“Sekarang ada gerakan, orang mulai rindu dengan album fisik lagi. Album (fisik) terbaru Slank, laku 150 ribu kopi. Terjual di salah satu gerai makanan ayam. Sekarang itu, jualan album fisik lewat kanal distribusi online juga bisa,” kata Ridho.
Ini membuat musikus seperti Ridho, Polka War (grup band), dan Danilla Riyadi (penyanyi) tidak hanya bergantung pada streaming. Mereka masih optimistis terhadap karya musik asli yang punya pendengar di luar sana. Meski begitu, mereka harus lebih giat manggung dan berstrategi jitu dalam promosi di platform digital.
Danilla, solois yang memulai karirnya di era digital punya pandangan lain soal ini. Sebagai musikus yang lahir di era digital, Danilla melihat era ini dalam kacamata yang lebih positif.
"Era ini era ketika kalian suka, baru beli. Musikus sebenarnya belum bisa disebut sebagai karir yang menjanjikan. Bagi musisi zaman sekarang era digital ini, (streaming) itu pemasukan pasif,” ungkapnya.
Danilla mengakui, konsumen musik saat ini memiliki perilaku konsumsi yang berbeda dari era album fisik.
“Sekarang pendengar tidak mudah menerima apa yang mereka dapatkan. Mereka (pendengar) punya jiwa pemberontak, yang mana mereka akhirnya mencari musik mereka sendiri,” ungkap Danilla.
Bertahan di era streaming
Ananta Giovani, Produser Musik sekaligus pendiri Indomusikgram melihat fenomena lain industri musik di Indonesia. Semakin terbukanya kesempatan menjadi musikus di era digital, membawa kualitas musikus menjadi turun. Pola-pola untuk menggapai ketenaran pun mudah ditangkap. Fenomena membuat cover lagu bisa membuat musikus amatir menjadi cepat terkenal.
“Fenomena ini yang sempat bikin gue mikir, apakah untuk menjadi musisi harus selalu bikin lagu original terus,” ujar Ananta.
Dimas Ario, Kurator Musik, melihat fenomena musikus yang bertahan dari pertunjukan panggung ke panggung. Akan tetapi, dia mengingatkan, musikus harus merilis album, atau sedikitnya menelurkan satu judul lagu.
“Mereka harus tahu kapan harus merilis album atau lagu. Kalau mereka manggung terus tanpa merilis karya, pasti akan turun juga (popularitasnya),” ujar Dimas.
Perilaku konsumsi yang berubah di era digital sebenarnya memaksa musikus yang serius untuk memproduksi album.
“Saya pribadi kalau mau bikin statement ya bikin album. Sebagai Kurator, saya percaya lagu dengan medium apa pun pasti akan ketemu pendengarnya,” ujarnya.
Dia mencontohkan bagaimana band Banda Neira yang memutuskan bubar setelah mengeluarkan dua album bisa kembali didengarkan banyak orang di era digital seperti sekarang. Salah satu lagu mereka menjadi lagu pengiring pernikahan Raisa-Hamish. Hasilnya, streaming lagu Banda Neira kembali meningkat.
Johanna May, Music Testmaker di Nex Step Inc., London, memberi pandangan bagaimana bertahan di industri musik era digital seperti ini.
“Misalnya, jadi music blogger atau dengan jadi YouTuber. Banyak hal. Adanya digital bukan berarti kita harus takut. Tapi kita yang harus belajar karena perubahan itu pasti,” sarannya.