Baterai atom, daya 50 tahun tanpa isi ulang
Baterai atom DGIST menggunakan struktur betavoltaik, di mana partikel beta (elektron) yang dipancarkan isotop nikel-63 atau tritium diubah menjadi energi listrik melalui semikonduktor khusus.

Tim peneliti dari Daegu Gyeongbuk Institute of Science and Technology (DGIST) di Korea Selatan berhasil mengembangkan baterai atom revolusioner yang mampu menghasilkan listrik selama lebih dari 50 tahun tanpa perlu diisi ulang. Dilaporkan oleh New Atlas, teknologi ini memanfaatkan energi dari peluruhan radioaktif isotop, menawarkan solusi berkelanjutan untuk perangkat yang membutuhkan daya tahan ekstrem, seperti sensor IoT, implan medis, atau eksplorasi luar angkasa.
Baterai atom DGIST menggunakan struktur betavoltaik, di mana partikel beta (elektron) yang dipancarkan isotop nikel-63 atau tritium diubah menjadi energi listrik melalui semikonduktor khusus. Berbeda dengan reaktor nuklir, baterai ini tidak melibatkan reaksi berantai, sehingga aman dari risiko ledakan atau radiasi berbahaya. Lapisan pelindung nano dirancang untuk menahan emisi radioaktif, memastikan keamanan pengguna.
Kelebihan utamanya adalah umur pakai ultra-panjang. Isotop nikel-63 memiliki waktu paruh sekitar 100 tahun, tetapi baterai ini dioptimalkan untuk memasok daya stabil selama minimal 50 tahun. Dalam uji coba, prototipe menghasilkan daya 100 microwatt dengan efisiensi konversi energi 30%—cukup untuk menggerakkan sensor lingkungan atau alat pacu jantung mini.
Aplikasi potensialnya menjanjikan di sektor medis. Implan seperti alat bantu dengar atau monitor glukosa bisa bekerja seumur hidup pasien tanpa operasi penggantian baterai. Di bidang antariksa, teknologi ini cocok untuk misi jangka panjang ke planet lain, di mana pengisian daya konvensional tidak mungkin dilakukan. Bahkan, sensor IoT di lokasi terpencil (seperti dasar laut atau hutan) bisa beroperasi puluhan tahun tanpa perawatan.
Namun, tantangan utama ada pada skala daya dan regulasi. Baterai atom saat ini hanya cocok untuk perangkat rendah energi. Untuk meningkatkan output, peneliti sedang mengeksplorasi kombinasi isotop seperti karbon-14 atau strontium-90. Selain itu, penggunaan bahan radioaktif memerlukan izin ketat dari badan pengawas nuklir global.
DGIST telah mematenkan desain ini dan bekerja sama dengan perusahaan elektronik Korea untuk produksi massal. Mereka memprediksi baterai atom komersial pertama akan tersedia dalam 5-8 tahun, dengan harga kompetitif berkat efisiensi material. Peneliti juga mengembangkan versi modular yang bisa ditumpuk untuk meningkatkan kapasitas daya.
Dampak lingkungannya pun signifikan. Baterai atom mengurangi limbah baterai kimiawi beracun yang mencapai 15 juta ton per tahun secara global. Isotop yang digunakan juga bisa didaur ulang atau diproses menjadi bahan tidak aktif setelah masa pakai habis.
Inovasi DGIST ini bukan sekadar terobosan energi, tetapi perubahan paradigma dalam desain elektronik. Dengan menghilangkan ketergantungan pada pengisian daya, baterai atom membuka pintu bagi perangkat "abadi" yang bekerja di lingkungan ekstrem—dari gurun pasir hingga kawah Mars. Di tangan ilmuwan Korea, masa depan tanpa colokan listrik semakin nyata, membawa kita selangkah lebih dekat ke dunia yang benar-benar mandiri energi.