Di masa depan, baterai lithium bisa regenerasi
Peneliti dari Universitas Illinois berhasil menciptakan elektrolit berbasis polimer padat yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri dan didaur ulang tanpa memerlukan suhu tinggi atau asam kuat.
Baterai lithium selama ini dikenal sebagai terobosan teknologi kelistrikan modern. Perangkat itulah yang bertanggung jawab sebagai sumber daya smartphone saat ini hingga ke mobil listrik. Namun jenis ini memiliki beberapa kekurangan.
Sebagaimana diketahui, saat dilakukan pengisian daya, baterai lithium dapat membentuk endapan yang terbuat dari logam lithium. Endapan itu (dendrit) bersifat solid dan dapat bertumbuh melalui struktur baterai. Hal ini dapat mengurangi masa pakai baterai. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim, hal itu dapat berujung pada terbakarnya baterai.
Salah satu hipotesis terjadinya hal tersebut adalah baterai lithium menggunakan elektrolit cair. Untuk itu, pencarian solusi untuk menciptakan baterai lithium yang lebih aman pun dilakukan. Akhirnya, tim insinyur di Universitas Illinois berhasil menciptakan elektrolit berbasis polimer padat. Selain dapat menyembuhkan dirinya sendiri, polimer jenis ini juga dapat didaur ulang tanpa memerlukan suhu tinggi atau asam kuat.
Meski tampak menjanjikan, namun masih ada masalah yang harus dihadapi. Dilansir dari NewAtlas (30/12), polimer padat cenderung meleleh pada suhu tinggi yang dihasilkan di dalam baterai. Model ini juga cenderung rapuh sehingga sulit untuk mempertahankan kontak dengan elektroda.
Para insinyur tersebut berhasil mengembangkan cara untuk membuat ikatan silang baru yang dapat menghasilkan reaksi pertukaran untaian polimer pada elektrolit buatan mereka. Ini berarti, polimer dapat menjadi lebih kaku ketika dipanaskan dan dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Dendrit yang dihasilkan juga lebih sedikit dan dapat larut dalam air pada suhu kamar. Sayangnya, teknologinya belum praktis.
“Kami menggunakan kimia dan ikatan dinamis yang sangat spesifik dalam polimer kami. Tetapi kami pikir platform ini dapat dikonfigurasi ulang untuk digunakan dengan banyak kimia lain untuk mengubah sifat konduktivitas mereka.” ungkap Christopher Evans, kepala penelitian tersebut.