Ilmuwan usulkan dehidrasi stratosfer untuk menanggulangi pemanasan global
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di Science Advances, para ilmuwan mengusulkan teknik geoengineering dehidrasi stratosfer untuk mengurangi pemasan global.
Dalam upaya untuk mengatasi tingginya tingkat karbon dioksida dan metana, para ilmuwan mengusulkan strategi baru yang berisiko, yaitu dehidrasi stratosfer. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di Science Advances, mereka mengusulkan teknik geoengineering yang dapat mendinginkan dunia dengan cara yang lebih halus dibandingkan skema lain.
Dilansir dari science.org (7/3), konsep yang disebut "dehidrasi stratosfera yang disengaja" ini bertujuan menghentikan air dari mencapai stratosfera. Dengan menyasar udara yang naik dan lembab serta menaburinya dengan partikel pembentuk awan sebelum mencapai stratosfera, para ilmuwan berharap dapat mengurangi pemanasan global dengan intervensi yang lebih halus. Menurut Shuka Schwarz, penulis utama studi ini dan fisikawan penelitian di Chemical Sciences Lab dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), proses mengeringkan stratosfera mungkin hanya membutuhkan sekitar 2 kilogram material per minggu.
Meskipun "dehidrasi stratosfera yang disengaja" hanya dapat memberikan pendinginan yang sedang, mengimbangi sekitar 1,4% dari pemanasan yang disebabkan oleh peningkatan karbon dioksida dalam beberapa ratus tahun terakhir, para ilmuwan menyebutnya sebagai ide baru yang dapat berhasil.
Teknik ini bergantung pada fakta kunci, yaitu hanya ada beberapa tempat di dunia yang cukup panas untuk menghasilkan updrafts kuat yang diperlukan untuk mengangkat udara ke stratosfera. Salah satu dari portal penting ini terletak di atas Samudra Pasifik barat, di wilayah yang sekitar seukuran Australia.
Dalam model sederhana, tim ilmuwan mensimulasikan penyemprotan bismut triiodida ke dalam area yang paling cocok untuk penyerapan air. Dalam skenario optimis, hanya dengan 2 kilogram per minggu dari biji berdiameter 10 nanometer, mereka dapat mengubah parsel udara lembab ini menjadi awan. Jumlah sekecil itu dapat disemprotkan oleh balon udara atau drone tanpa memerlukan pesawat.
Meskipun ide ini menarik, Daniel Cziczo, ahli kimia atmosfer di Purdue University, mengatakan bahwa ini bisa membawa risiko. Jika biji tidak dapat membentuk awan di tempat yang tepat dan menyebar ke tempat lain, mereka dapat mempercepat pembentukan awan yang salah, yaitu awan cirrus tipis yang menyerap panas dari permukaan tanah. "Anda pada dasarnya menjelajahi teknik yang bisa memiliki efek pemanasan dan bukan efek pendinginan."
Para ilmuwan lain, seperti Mark Schoeberl, ahli ilmu atmosfer di Science and Technology Corporation, setuju bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan. "Anda ingin menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan dan membuat penilaian biaya implementasi yang jelas." Teknik ini kemungkinan tidak efektif sepanjang tahun, tambahnya, karena sebagian besar air mencapai stratosfera selama musim monsun Asia. Dan sejauh mana pengurangan air di stratosfer dapat mendinginkan permukaan tanah masih belum pasti.
Schwarz sempat ragu-ragu untuk membicarakan ide ini, mengingat kontroversi yang melibatkan semua proposal untuk mencoba memperbaiki planet ini untuk mengatasi pemanasan yang disebabkan oleh manusia. Namun, sejak Kongres AS memerintahkan NOAA untuk mempelajari geoengineering matahari, "stigma seputar pertimbangan intervensi iklim sedikit mereda," katanya. "Dua tahun lalu, saya sendiri akan sangat ragu untuk mempertimbangkan kemungkinan ini."
Keterbukaan terhadap ide-ide ini semakin meluas. Uni Eropa saat ini mendukung penelitian mengenai tata kelola geoengineering. Swiss minggu lalu meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendukung penelitian di bidang ini. Kelompok Lohmann minggu lalu juga memenangkan hibah dari Simons Foundation untuk mempelajari intervensi lain: mengurangi awan penahan panas di wilayah kutub untuk meredam pemanasan.
"Lagi-lagi, prioritas ilmiah telah berubah," kata Lohmann. Dia menyatakan bahwa para ilmuwan iklim merasa ragu untuk mengeksplorasi skema ini tetapi merasa tidak punya pilihan. Pemotongan emisi tidak terjadi cukup cepat, dan karbon dioksida belum dapat dihilangkan dari udara dengan biaya yang murah. "Jelas kita mencari sesuatu yang lain," katanya. "Ini kegagalan kita sebagai manusia untuk menghindarinya."