Menatap kolaborasi Fintech dan perbankan Indonesia
Perbankan terbuka dan menyambut positif kehadiran Fintech di Indonesia.
Dalam catatan OJK, di tahun 2016 lalu, terdapat 600 perusahaan Financial Technologi (Fintech) di Indonesia. Fintech ini merupakan jasa keuangan yang cukup baru di Indonesia. Banyak yang modelnya memberi pinjaman dana dengan akses mudah hanya lewat registrasi dalam aplikasi mobile. Sebut saja Kredivo, Uang Teman, dan lain-lain.
Menariknya, Fintech ini menawarkan hal-hal yang jauh lebih mudah dan gampang dari institusi keuangan konvensional, seperti perbankan. Kredivo, misalnya, menawarkan cicilan tanpa kartu kredit untuk konsumen yang bertransaksi di e-commerce.
Seperti dilaporkan CNN Indonesia, Februari lalu, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keungan Non-Bank (IKNB) menyebut, baru 157 Fintech yang melapor. Deputi Komisioner IKNB bahkan menyebutkan bahwa yang melapor pun belum tentu diverifikasi.
Sebenarnya, regulator dan perbankan sudah cukup tanggap dalam melihat solusi yang ditawarkan perusahaan Fintech. Hanya saja, urusan duit ini agak susah. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, terutama masalah keamanan.
OJK sudah membuat regulasi awal yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016. Peraturan tersebut mengatur skema peer to peer lending. Namun, masih banyak sekali ceruk dalam industri keuangan yang harus dibenahi seiring perkembangan Fintech di Indonesia yang tak sekadar menawarkan jasa kredit saja.
Perbankan sebenarnya ingin segera berkolaborasi
Di luar persoalan regulasi, pihak perbankan sebenarnya sangat ingin berkolaborasi dengan perusahaan Fintech yang bertumbuhan di Indonesia. Bahkan, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) sampai melahirkan Fintech mereka sendiri, Jenius. Pun pihak perbankan melihat Fintech adalah solusi dari persoalan banyaknya penduduk dewasa yang tidak memiliki rekening.
Menurut data World Bank Financial Index 2014, hanya 36% penduduk dewasa Indonesia yang memiliki akun bank. 64% masih tidak terjamah oleh institusi keuangan.
Diakui Leo Koesmanto, Executive Director & Head of DigiBank di DBS, Fintech bisa mengisi ceruk yang selama ini tidak terjangkau Bank konvensional.
Leo mengakui, Fintech punya perspektif unik, yakni mengambil perspektif dari sisi konsumen.
"Problem kami di situ, kami melihatnya dari perspektif industri. Jadi, kami berpikir kenapa tidak bekerjasama saja," ujarnya.
Mary James, CIO Danamon Indonesia menegaskan, konsumen memang melihat wajah perbankan saat ini sebagai institusi yang punya birokrasi rumit. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan Fintech patut untuk diadopsi perbankan.
"Kenapa Fintech bisa sukses di seluruh dunia karena untuk konsumen millenials, cara kerjanya sangat nyaman dan mudah. Fintech memberikan kesempatan bagi perbankan untuk bergerak lebih jauh lagi dari posisinya saat ini," kata Mary.
Pihak perbankan berpikir, makin banyak Fintech berkolaborasi dengan perbankan, akan semakin baik. Kolaborasi ini bisa jadi transfer data dan berbagi fasilitas. Hal ini mengingat perbankan memiliki fasilitas yang lebih matang daripada Fintech yang baru muncul.
Keinginan perbankan untuk berproses bersama dalam era digital ini menguat. Peluang industri keuangan tidak hanya terbatas pada peer to peer lending, namun juga transaksi di perusahaan e-commerce yang makin menggurita.