sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id wd
Jumat, 10 Apr 2020 18:32 WIB

Mengenal Ventilator, separuh napas untuk pasien Covid-19

Penyebaran corona membuat kebutuhan perlengkapan medis semakin meningkat, salah satunya adalah ventilator.

Mengenal Ventilator, separuh napas untuk pasien Covid-19
Source: Quartz

Salah satu masalah pada pasien yang terkena virus corona (Covid-19) adalah sesak napas. Oleh karenanya, banyak negara di seluruh dunia sangat membutuhkan alat bantu pernapasan atau ventilator. Perangkat ini dapat mendeteksi kapan pasien ingin bernapas dan membantu proses tersebut, memastikan tekanan udara dan campuran oksigen yang tepat. Selain itu, ventilator dapat meminimalisir efek samping pada jaringan paru-paru yang rapuh.

Agak sulit untuk memproduksi ventilator dalam waktu cepat. Jadi, tak mengherankan jika di situasi sekarang, pemerintah AS meminta bantuan dari pabrikan, seperti Ford, GM, dan 3M berkolaborasi demi meningkatkan respirator menjadi ventilator menggunakan suku cadang mobil. National Ventilator Project di Afrika Selatan mengeluarkan tawaran untuk 10.000 ventilator baru yang akan diproduksi pada akhir Juni.

Pada tanggal 23 Maret 2020 lalu, Tesla mulai mengirimkan bantuan ventilator ke rumah sakit yang membutuhkannya untuk merawat pasien Covid-19. CEO perusahaan tersebut, Elon Musk, memprioritaskan rumah sakit di New York, karena kota ini memiliki jumlah pasien virus corona yang terkonfirmasi paling banyak. 

Ada pula perusahaan elektronik asal Inggris bernaa Dyson yang penerima pesanan 10.000 unit ventilator dari National Health Services (NHS) di Inggris. Dilansir dari Engadget (10/4), ventilator tersebut diklaim dirancang untuk memenuhi kebutuhan klinis spesifik pasien yang terkena virus corona. Perusahaan ini menyumbangkan sebanyak 5.000 ventilator untuk “upaya internasional”, dan termasuk 1.000 unit ventilator untuk Inggris.

Cara kerja ventilator

Bisa dikatakan, cara kerja ventilator itu sederhana: mendorong udara ke dalam paru-paru. Pada kasus Covid-19 menyebabkan adanya cairan terbentuk di paru-paru, mengurangi luas permukaan yang dapat menyerap oksigen. 

Ventilator versi awal hanya mendorong udara ke paru-paru dengan ritme yang konstan. Sementara versi modernnya memiliki dua mode dasar: tipe yang menghadirkan preset volume oksigen dan tipe yang memberikan peset tingkat tekanan.

Ventilator juga mengontrol tekanan akhir ekspirasi positif (positive end-expiratory pressure / PEEP), tekanan udara residu yang mencegah paru-paru agar tidak kolaps, ukuran metrik yang bervariasi pada kondisi pesien. Alat ini juga dapat diatur untuk mendeteksi ketika seorang pasien ingin bernapas, ketimbang sepenuhnya mengendalikan pernapasan pasien.

Sejarah ventilator

Dilansir dari Quartz (10/4), ventilator pertama yang dibuat merupakan tiruan dari alam. Sebagai manusia, kita bernapas dengan membesarkan rongga dada sehingga menciptakan tekanan ‘hampa’ di paru-paru yang menyebabkan udara di luar tertarik masuk ke dalam paru-paru. Ketika kita mengecilkan rongga dada, maka udara yang ada di dalam paru-paru memiliki tekanan tinggi dan akhirnya keluar.

Sebuah paru-paru besi atau iron lung yang membungkus tubuh di bawah leher dalam ruang tertutup dapat pula memvariasikan tekanan sebagai pengganti otot dada, perangkat ini pertama kali dipatenkan pada tahun 1864. Sudah ada beberapa upaya yang dilakukan, termasuk satu alat oleh Alexabder Graham Bell. Meski demikian, mesin pernapasan yang dapat digunakan secara lancar pertama kali dibuat profesor Harvard Phiplip Drinker pada tahun 1929, setelah penggunaan listrik yang meluas menyediakan sumber daya yang dapat diandalkan.

Namun alat pernapasan tersebut tidak terlalu praktis. Malahan Drinker sendiri mendeskripsikannya dengan “agak rumit dan ribet.” Insinyur John Emerson berhasil memotong biaya menjadi setengahnya – Drinker kehilangan gugatan kekayaan intelektual sebagian karena begitu banyak teknologi yang mendasari sistem sebelumnya – tetapi tidak mengubah sifatnya: tabung raksasa yang menutupi hampir seluruh tubuh manusia.

Selama Perang Dunia II, hli anestesi Denmark Ernst Morch telah merancang ventilator tekanan positif dari sepotong pipa saluran pembuangan tua Kopenhagen, sebuah piston dan beberapa perangkat pengangkut barang. Setelah bermigrasi ke AS, dia mengubahnya menjadi perangkat lengkap tahun 1954.

Cara penggunaan

Ketika ingin menggunakan ventilator, pasien harus diintubasi terlebih dahulu, yaitu sebuah tindakan medis berupa memasukkan tabung endotrakeal melalui mulut atau hidung untuk menghubungkan udara luar dengan paru-paru.

Tabung tersebut dengan lembut mendorong epiglotis, lipatan jaringan yang berada di atas laring. Balon kecil di tabung mengembang, membuat celah antara paru-paru dan tabung menjadi tertutup. Setelah semuanya aman dan berada di lokasi yang tepat, ujung tabung lainnya dipasang di ventilator untuk membantu pasien bernapas.

Meskipun memakai ventilator dapat menyelamatkan hidup seseorang, itu tidak menjamin kelangsungan hidup mereka. Seiring waktu, udara beroksigen tinggi yang diberikannya dapat mulai merusak paru-paru dan organ lain, seperti jantung.

Selain itu, tabungnya sendiri dapat menyebabkan infeksi baru. Mereka yang mengalaminya (terutama jika mereka menggunakan ventilator selama berminggu-minggu) akan menghadapi kerusakan jangka panjang pada paru-paru, ginjal, jantung, atau hati; efek psikologis termasuk kehilangan ingatan, kebingungan, dan gangguan stres pasca-trauma; dan berminggu-minggu atau berbulan-bulan terapi fisik untuk membangun kembali otot dan saraf yang berhenti berkembang atau rusak oleh obat penenang.

Efek negatif ini adalah bagian dari alasan dokter mempertimbangkan ventilator yang minim invansif untuk beberapa pasien Covid-19 karena mereka memperlajari lebih lanjut serangan yang mengejutkan dari virus corona.

Alternatif ventilator

Beberapa teknisi asal Inggris mengambangkan sebuah alat baru bernama NPV (Negative Pressure Ventilator). Alat ini mengadopsi Intermittent Positive Pressure Ventilators (IPPV), namun dengan cara kerja yang berlawanan.

Dilansir dari New Atlas (10/4), NPV merupakan hasil kerja sama banyak pihak, di antaranya adalah Universitas Warwick, Marshall Aerospace & Defence Group, Imperial NHS Trust, rumah sakit Royal National Throat Nose and Ear dan sejumlah ilmuwan, petugas medis, akademisi, manufaktur hingga teknisi sipil. NPV, yang kali ini dikenal sebagai Exovent sudah memasuki tahap purwarupa dan siap diuji coba pada dua fasilitas perawatan intensif di Inggris.

Tidak seperti ventilator, exovent tidak membutuhkan intubasi. Exovent hadir dengan desain yang lebih sederhana dan mudah dioperasikan. Konsorsium itu mengatakan bahwa pasien dapat tetap sadar, minum obat, makan hingga berbicara dengan orang lain jika menggunakan alat ini. Terlebih lagi, mesin ini dapat meningkatkan efisiensi jantung sebesar 25 persen ketimbang ventilator konvensional.

Manfaat lainnya, alat ini dapat digunakan di ruang perawatan biasa. Mesin ini juga tidak membutuhkan kompresor udara dan oksigen. Hanya butuh beberapa bagian dan komponen agar dapat bekerja. Kabarnya, alat ini akan diproduksi secara massal di Inggris, setidaknya sebanyak 5.000 unit ketika persetujuan sudah didapatkan.

Berikut tonggak sejarah ventilator berdasarkan tahun:

1674: Ahli kimia asal Inggris, John Mayow, menunjukkan prinsip kerja alat yang akan menjadi cikal bakal mesin untuk membantu pasien bernapas.

1864: Alfred Jones mematenkan ventilator pertama.

1927: Philip Drinker dan Louis Agassiz Shaw Jr, masing-masing seorang ahli kesehatan industri dan dokter, menciptakan alat bantu pernapasan dengan istilah iron lungs (paru-paru besi).

1931: Insinyur Amerika John Haven Emerson memperbaiki desain Drinker dan Shaw, membuat paru-patu besi lebih terjangkau.

1949: Emerson menciptakan ventilator anestesi pertama yang membantu pasien bernapas saat dibius selama operasi.

1952: Unit perawatan intensif pertama dibuka di Kopenhagen, Denmark, untuk memberikan dukungan ventilator kepada penderita polio.

Ventilator berdasarkan biaya:

USD25.000-USD50.000 (Rp394 juta-Rp788 juta) : Harga ventilator ICU modern

USD2.000 (Rp32 juta): Harga paru-paru besi versi awal, sekarang USD30.000 (Rp473 juta)

USD200-USD500 (Rp3,2 juta-Rp7,9 juta): Perkiraan harga ventilator yang disederhanakan, Virgin Orbit, dirancang untuk dijalankan pada motor wiper kaca depan mobil.

Share
×
tekid
back to top