MIT ciptakan AI yang dapat deteksi depresi melalui suara
Ilmuwan MIT menemukan cara untuk mengajari AI untuk mendeteksi perubahan suara seseorang untuk menentukan seseorang terkena depresi atau tidak
Depresi merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Oleh karenanya, banyak pihak yang mencoba berbagai cara untuk mendeteksi secara dini, agar dapat menyelamatkan banyak nyawa.
Selama ini, untuk mengidentifikasi depresi, dokter akan secara tradisional menanyakan pertanyaan-pertanyaan khusus kepada pasien. Beberapa diantaranya mengenai suasana hati, penyakit mental, gaya hidup, dan sejarah pribadi.
Jawaban ini kemudian akan dijadikan patokan untuk membuat sebuah diagnosa. Meski cukup efektif, namun langkah ini masih terbilang lama untuk menentukan apakah seseorang menderita depresi atau tidak.
Namun, belakangan ini pada peneliti dari MIT telah menciptakan sebuah metode yang lebih simpel. Menggunakan AI atau kecerdasan buatan, ilmuwan kini bisa mendeteksi tingkat depresi seseorang hanya melalui suara dan gaya berbicara.
"Petunjuk pertama yang kita miliki bahwa seseorang bahagia, gembira, sedih, atau memiliki beberapa kondisi kognitif yang serius, seperti depresi, adalah melalui cara mereka berbicara. Jika Anda ingin mencoba metode deteksi depresi yang berskala, Anda ingin meminimalkan jumlah kendala yang Anda miliki pada data yang Anda gunakan. Anda ingin menerapkannya dalam percakapan reguler dan memiliki model ‘pick up’, dari interaksi alami, dari individu," ujar pemimpin peneliti proyek, Tuka Alhanai seperti dikutip dari laman Engadget, Selasa (4/9/2018).
Para peneliti menyebut model pembelajaran ini sebagai "bebas konteks", karena tidak ada batasan dalam jenis pertanyaan yang dapat ditanyakan, atau jenis tanggapan yang akan dicari. Dengan menggunakan teknik yang disebut pemodelan urutan, para peneliti memberi umpan teks model dan audio dari percakapan dengan individu yang depresi dan yang tidak depresi.
Ketika rangkaian terakumulasi, sebuah pola akan muncul. Salah satunya seperti penggunaan kata-kata alami seperti "sedih" atau "tidak baik", dan sinyal audio yang lebih datar dan lebih monoton.
"Model ini melihat urutan kata-kata atau gaya berbicara, dan menentukan bahwa pola-pola ini akan memperlihatkan seseorang depresi atau tidak depresi," kata Alhanai. "Kemudian, jika itu melihat urutan yang sama dalam subjek baru, itu dapat memprediksi apakah mereka juga tertekan."
Dalam tes, model ini menunjukkan tingkat keberhasilan 77 persen dalam mengidentifikasi depresi. Tingkat akurasi ini mengungguli hampir semua model lainnya, yang sebagian besar bergantung pada pertanyaan dan jawaban yang sangat terstruktur.
Tim MIT juga mengatakan model ini dimaksudkan untuk menjadi alat yang bermanfaat bagi dokter, karena setiap pasien memiliki cara berbicara yang berbeda. "Jika model melihat perubahan mungkin itu akan menjadi tanda bagi para dokter," kata rekan peneliti James Glass.
Di masa depan, model ini juga diharapkan dapat memberi kemampuan pada sebuah aplikasi seluler yang memantau teks dan suara pengguna untuk memprediksi tekanan mental dan mengirim peringatan.
Ini bisa sangat berguna bagi mereka yang tidak bisa mencari dokter untuk diagnosa awal, karena jarak, biaya, atau kurangnya kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah.
Para peneliti juga bertujuan untuk menguji metode ini pada data tambahan dari lebih banyak subjek dengan kondisi kognitif lainnya, seperti demensia.
"Ini tidak begitu banyak mendeteksi depresi, tetapi itu adalah konsep evaluasi yang sama, dari sinyal sehari-hari dalam berbicara, jika seseorang memiliki gangguan kognitif atau tidak," kata Alhanai.