5G di Indonesia: ATSI ingin cepat, sikap pemerintah enggak jelas
Menggelar 5G di Indonesia dalam waktu relatif singkat bukan kebijakan yang pas, ada banyak kajian di sisi bisnis dan konsumen, serta masih terkendala frekuensi yang belum selesai penataannya.
Respons Kemkominfo soal jadwal 5G versi ATSI
Sebagai asosiasi yang mewadahi berbagai operator telekomunikasi di Indonesia, ATSI boleh saja membuat timeline sendiri. Hal ini tentunya secara tidak langsung turut mendorong pembangunan jaringan 5G di Indonesia. Namun demikian, kuasa penuh soal frekuensi yang menjadi dasar jaringan 5G berada di tangan Kemkominfo.
Menanggapi timeline versi ATSI, Ismail, Dirjen SDPPI Kemkominfo, Ismail mengatakan, asosiasi tersebut boleh menyarankan timeline untuk 5G di Indonesia. “Ya usulan boleh, kan kita kaji dulu. Kalau ekosistemnya sudah siap jangan cuma nanti lelang, frekuensi hanya dipegang tapi enggak dibangun juga,” katanya.
Menurutnya, sebelum pemerintah menggelar jaringan 5G, langkah awal yang perlu dilakukan, yaitu menyiapkan ekosistem 5G. Ekosistem tersebut berupa aplikasi atau hal lainnya yang berjalan menggunakan jaringan 5G. Kemkominfo sendiri, menurut Ismail, terus mendorong agar ekosistem 5G di Indonesia tersedia secara dalam jumlah yang banyak.
“Justru sekarang kami dorong terus, supaya nanti ada lokal aplikasi yang berjalan di atas (jaringan) 5G. Itu harapan kita. Jadi, Indonesia dapat manfaat dan menjadi tuan rumah di teknologi 5G itu,” ujarnya.
Ditanya terkait jadwal digelarnya 5G, Ismail mengaitkannya dengan aplikasi dan penerapan 5G di Indonesia yang juga belum siap. Oleh karenanya, dia tak ingin terburu-buru menggelar jaringan 5G, termasuk menentukan frekuensi yang tepat. Bukan tanpa alasan Ismail berkata demikian. Dia tak ingin Indonesia hanya menjadi pasar bagi perusahaan luar negeri yang memanfaatkan jaringan 5G.
“Teman-teman kepentingannya penting cepat atau penting sukses? Kalau saya yang penting tepat. Saya selalu bilang jangan buru-buru, jangan telat,” katanya.
Ismail pun enggan apabila nanti jaringan 5G terasa seperti 4G atau bahkan 3G akibat belum tersedianya aplikasi yang memanfaatkan jaringan 5G.
“Demand, supply, ekosistem, ini harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Tapi ada satu kunci, kita nggak mau 5G di Indonesia ini get nothing. Kemudian, Indonesia bisa jadi tuan rumah dalam pemanfaatan teknologi. Kita negara besar, kita punya demand besar, market besar, jangan jadikan bulan-bulan market. Kita hanya belanja, dimanfaatkan dan seterusnya tapi enggak bisa jadi tuan rumah,” ujar Ismail.
Tiga hal yang bisa memanfaatkan jaringan 5G menurut Ismail, yaitu smartphone, aplikasi dan konten seperti gim. Namun dalam pandangannya, ketika komponen tersebut belum ada, maka pihaknya tidak akan terburu-buru mengalokasikan frekuensi untuk jaringan 5G. Lain halnya ketika komponen itu sudah terbentuk, Ismail akan mendorong percepatan pembangunan 5G di Indonesia.
Kendala Frekuensi
Slot frekuensi untuk 5G memang perlu pengaturan. Masalah slot Frekuensi ini fundamental karena ada tiga lapisan frekuensi yang bisa digelar untuk mengoperasikan 5G. Calon kuat frekuensi 5G di Indonesia yang diutarakan oleh Kemkominfo, yaitu di frekuensi 26GHz dan 35GHz, di middle band ada 2,6GHz dan 3,5GHz, dan di low band ada 700MHz serta 800MHz.
Hampir setiap frekuensi ini sudah ada yang memiliki kontrak pengelolaan. Perlu kebijakan yang pas agar perusahaan dan regulator menemukan titik tengahnya. Di frekuensi paling ideal, seperti 2,6GHz masih dimiliki Indovision. Padahal, menurut beberapa stakeholder, seperti operator seluler dan vendor jaringan, frekuensi yang dialokasikan untuk jaringan 5G perlu pengosongan agar pemanfaatannya lebih optimal.
Mengingat kebutuhan tersebut, Kemkominfo pun mencanangkan percepatan migrasi layanan satelit, termasuk milik Indovision.
“Frekuensi yang saat ini digunakan PT Media Citra Indostar adalah 2520 - 2670 MHz. Berdasarkan Peraturan Menkominfo Nomor 13 Tahun 2018, penggunaan frekuensi 2520-2670 MHz oleh Broadcasting Satellite Service (BSS) hanya mendapatkan proteksi terhadap interferensi paling lama sampai tanggal 31 Desember 2024,” kata Adis Alifiawan - Kasubdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat (DTBD) Kemkominfo melalui pesan singkat kepada Tek.id.
Dia menyatakan, pihaknya sedang mendiskusikan terkait rencana percepatan migrasi layanan BSS, termasuk untuk Indovison yang kontraknya berakhir pada 2024.
Sementara, untuk frekuensi 700MHz di pulau Jawa dimanfaatkan untuk penyaluran televisi. Di luar pulau Jawa, frekuensi ini masih jarang digunakan, namun frekuensi tersebut menjadi standar dunia untuk Public Protection and Disaster Relief (PPDR), atau untuk mitigasi bencana yang sangat vital. Di upperband 26 GHz, jarang digunakan untuk keperluan koneksi seluler, apalagi curah hujan tinggi di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam pemanfaatan frekuensi tinggi ini.
“3,5 GHz, kita ada satelit di sana, harus ada sharing (frekeunsi). Ini masih dilakukan kajian. Dan frekeunsi di atas (3,5 GHz), tidak banyak negara yang concern ke satelit. Sebagian besar negara mendorong, sehingga penggunaan satelit, band-nya makin tinggi. Jadi, berbanding terbalik dengan kondisi geografis Indonesia yang makin sulit bangun satelit yang baik… Kita bertahan di band 28 GHz, tetap ini primer untuk kebutuhan satelit. Di 26 GHz lah utama untuk 5G," kata Ismail.
Komparasi frekuensi 5G di negara maju
Soal frekuensi, International Telecommunication Union (ITU) sudah mengidentifikasi standar frekuensi untuk menyebarkan jaringan 5G. Frekuensi yang dipilih oleh ITU berdasarkan hasil musyawarah, yaitu frekuensi 24,25 - 27,5 GHz, 37 - 43,5 GHz, 45,5 - 47 GHz, 47,2 - 48,2 dan 66 - 71 GHz.
Menurut catatan GSMA, 33 operator dari 18 negara sudah menggelar layanan komersial 5G. Beberapa di antaranya yaitu Tiongkok, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Dilansir RCR Wireless, Korea Selatan (Korsel) menggunakan frekuensi 3,5GHz dan 28GHz untuk menggelar jaringan 5G. Tiga operator di negara tersebut, yaitu SK telecom, KT dan LG Uplus mulai meluncurkan layanan 5G secara komersial pada Desember 2018. Regulator di negara tersebut mengatur agar peluncuran 5G dilakukan secara serentak guna menghindari kompetisi yang berlebihan.
Di Amerika Serikat (AS), jaringan 5G sudah tersedia sejak awal tahun 2019. Operator terbesar di negeri tersebut, yaitu AT&T dan Verizon memilih untuk memulai jaringan 5G dengan frekuensi di layer frekuensi tinggi. Lain halnya dengan Sprint dan T-Mobile yang memilih layer frekuensi menengah dan rendah, yaitu di spektrum 2,5GHz dan 600MHz.
Mengutip Fierce Wireless, AT&T menawarkan layanan 5G untuk pelanggan kelas bisnis di lebih dari 20 kota. Sprint telah memperluas jangkauan 5G-nya hingga ke 9 kota dan T-Mobile optimistis mampu menyediakan jaringan 5G hingga mencakup 200 juta pengguna di akhir tahun ini melalui frekuensi 600 MHz.
Terbaru, Federal Communications Commission (FCC) melelang frekuensi spektrum 3.400MHz dan lisensi di pita frekuensi 37 GHz, 39 GHz, dan 47 GHz. Dilansir Cnet, awal tahun ini, FCC melelang lisensi di band 28GHz dan 24GHz. Selanjutnya, FCC akan melakukan dua lelang spektrum layer menengah, yaitu 3,5GHz di bulan Juni dan lelang frekuensi 3,7 GHz - 4,2 GHz di akhir tahun 2020.
Di Tiongkok, jaringan 5G komersil mulai meluncur pada 1 November lalu. Ketiga operator negeri Tirai Bambu tersebut, yakni China Mobile (CHL), China Telecom (CHA) dan China Unicom (CHU) serentak menawarkan kuota data yang bisa dimanfaatkan untuk merasakan jaringan 5G. Menurut kantor berita Tiongkok - Xinhua, layanan 5G yang sudah komersial di Tiongkok itu sudah bisa dirasakan oleh masyarakat di 50 kota termasuk Beijing, Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen.
Pada April 2019, pemerintah Tiongkok telah mengatur frekuensi bagi operator untuk menggelar 5G. Hasilnya, China Mobile diizinkan menggunakan frekuensi di rentang 2,515 GHz hingga 2,675 GHz dan rentang 4,8 GHz hingga 4,9 GHz untuk uji coba sebelum akhirnya menggelar 5G secara komersial. Dilansir Rcr Wireless, China Telecom mendapat izin penggunaan frekuensi 3,4 GHz hingga 3,5 GHz, sementara China Unicom menggunakan pita frekuensi 3,5 GHz hingga 3,6 GHz untuk peluncuran uji coba 5G secara nasional hingga Juni 2020. Di layer yang tinggi, regulator Tiongkok mengidentifikasi kandidat frekuensi 24,75 hingga 27 GHz dan 37 hingga 42,5 GHz.
Sementara itu, Jepang akan segera menyusul ketiga negara itu untuk turut serta menggelar jaringan 5G. April lalu, pemerintah terkait sudah menetapkan frekuensi bagi operator mencakup NTT Docomo, KDDI, Softbank dan Rakuten untuk menggelar jaringan 5G. Meskipun demikian, keempat operator itu akan mulai menggelar jaringan 5G pada 2020.
Secara umum, semua negara sama-sama mempersiapkan beberapa frekuensi di layer-layer yang berbeda untuk menggelar jaringan 5G. Perbedaan itu sendiri berguna untuk menyesuaikan kebutuhan penyelenggara jaringan 5G. Frekuensi layer rendah (low) seperti penjelasan T-Mobile yang kami kutip dari Venture Beat, mencakup banyak ruang, namun dalam kecepatan yang cukup rendah. Sementara layer menengah (middle) mencakup lebih sedikit ruang dengan kecepatan yang lebih cepat. Untuk frekuensi layer tinggi (high), mencakup ruang yang sedikit, namun menawarkan kecepatan yang super cepat.
Frekuensi layer rendah bisa mencakup hingga radius 1.609 km, dengan kecepatan jaringan 5G yang bisa berkisar 30 hingga 250 Mbps. Frekuensi layer menengah bisa mencakup radius beberapa kilometer dengan kecepatan berkisar 100 hingga 900 Mbps. Sementara frekuensi layer tinggi mencakup radius 1,6 km atau lebih rendah dengan kecepatan sekitar 1-3 Gbps. Masing-masing tingkatan ini akan meningkat kemampuannya seiring waktu.