5G di Indonesia, operator gamang soal model bisnis
Operator seluler menunjukkan optimisme mereka dalam implementasi 5G di Indonesia. Hanya saja, banyak pihak yang mengatakan, kita akan siap 5G pada 2025.
Ini adalah bagian ketiga dari laporan akhir tahun tek.id mengenai 5G di Indonesia. Anda bisa membaca bagian perdana di sini dan bagian kedua di sini.
Kemampuan 5G sebagai enabler industri 4.0, berkat kemampuannya menciptakan ekosistem Internet of Things (IoT) yang lebih masif, jadi daya tarik tersendiri. Sudah banyak analisis mengenai potensi ekonomi yang bisa diperoleh saat 5G digelar di seluruh dunia. Dari kacamata operator seluler Indonesia, mereka tinggal menunggu regulator “ketuk palu” menggelar jaringan ini. Setelah itu, beberapa operator akan siap untuk melakukan komersialisasi.
Pada tahap awal, menurut Ririek Ardiansyah, Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), jaringan 5G yang sudah tersedia akan dimanfaatkan untuk fokus pada layanan mobile broadband, fixed wireless access serta IoT. Penerapan lainnya, yaitu pada implementasi konsep Non Stand Alone (NSA) guna optimalisasi jaringan 4G untuk 5G. Namun tentu saja, timeline ini akan terwujud saat semua stakeholder, termasuk regulator, pelaku usaha, dan operator mampu menjalankan rencana dan mengatasi hambatan dengan baik.
Menurut McKinsey, kehadiran 5G akan membuka potensi IoT dengan mengaktifkan lebih banyak koneksi sekaligus (hingga satu juta per kilometer persegi) dengan kebutuhan daya sangat rendah. Potensi ini dapat menjadi pendapatan baru bagi operator seluler. Akan tetapi, sektor IoT rata-rata hanya akan menjadi pemasukan kecil karena penggunaannya yang rendah. Selain itu, 5G harus bersaing dengan teknologi lain, seperti Wi-Fi dan Zigbee untuk mengakomodir kebutuhan IoT.
5G diprediksi juga akan sangat berguna untuk perangkat medis dan sistem keselamatan kendaraan otonom. Latensi yang sangat minim akan membantu respons secepat mungkin di kondisi-kondisi kritis.
Selain itu, 5G dapat mengakses apa yang tidak dapat dilakukan jaringan broadband kabel. 5G memiliki spektrum milimeter wave (mmWav) yang mampu memberikan kecepatan lebih dari 100 Mbps ke rumah-rumah, menjadikannya alternatif bagi broadband kabel. Model bisnis ini akan menjadi aliran pendapatan yang benar-benar baru untuk operator seluler. Sayangnya, kemampuan untuk memonetisasi home broadband dalam waktu dekat masih belum jelas. Belum ada gambarannya di negara mana pun.
Setidaknya, ada 10 skenario use case 5G yang tersedia, versi riset Huawei, Ericsson dan lembaga riset Arthur D Little. Kesepuluh use case itu adalah eMBB (Enhanced Mobile Broadband), VR/AR/Hologram, Smart City, otomotif, manufaktur, drone, wearables, kesehatan, retail dan energi.
Setiap use case 5G membutuhkan lebar pita frekuensi yang berbeda-beda. Misalnya, di sektor eMBB, Home Assistant hanya membutuhkan bandwidth kurang dari 10Mbps. Namun, ketika kebutuhannya meningkat, seperti penggunaan cloud gaming, dibutuhkan bandwidth yang lebih lebar. Setidaknya, butuh bandwidth hingga 2Gbps.
Contoh lainnya di bidang manufaktur. Di bidang ini, 5G dapat dimanfaatkan untuk koneksi ke robot pekerja, sensor industri, kamera pengawas hingga ke edge computing. Masing-masing membutuhkan lebar pita frekuensi yang berbeda-beda. Hal ini hanya sebagian kecil dari luasnya potensi penggunaan 5G, utamanya di Indonesia.
Supaya lebih jelas, mari simak rencana penerapan 5G di berbagai sektor berdasarkan riset Huawei, Ericsson dan Arthur D Little:
5G percepatan menuju Industri 4.0
Istilah revolusi industri 4.0 pertama kali digaungkan pada Hannover Fair, 4-8 April 2011 di Jerman. Istilah ini digunakan pemerintah Jerman untuk memajukan bidang industri ke tingkat selanjutnya, dengan bantuan teknologi.
Secara singkat, Industri 4.0, pelaku industri memanfaatkan komputer yang saling terhubung dan berkomunikasi satu sama lain, guna membuat keputusan tanpa ada keterlibatan manusia. Kombinasi dari sistem fisik-cyber, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) inilah yang menciptakan ekosistem Industri 4.0.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia telah merancang Making Indonesia 4.0 dalam sebuah roadmap yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era tersebut. Hadirnya otomasi dan AI di sektor industri Indonesia tentu saja dapat memberikan potensi besar untuk melipatgandakan produktivitas tenaga kerja.
Indonesia menargetkan, pada tahun 2030, akan menjadi 10 besar ekonomi dunia melalui penerapan Industri 4.0 dengan menerapkannya pada sektor manufaktur, seperti industri makanan dan minuman. Tujuannya, membangun industri makanan dan minuman terkemuka di wilayah ASEAN. Selanjutnya, pemerintah menerapkannya di industri tekstil, sehingga bertujuan menjadi produsen bahan kain terkemuka di dunia.
Tidak ketinggalan pula, Indonesia akan menerapkan revolusi Industri 4.0 di sektor industri otomotif. Dengan demikian, Tanah Air diharapkan akan menjadi pemimpin ekspor kendaraan bertenaga bahan bakar cair dan bertenaga listrik. Adapun penerapan di bidang industri kimia, dengan tujuan menjadi pemain terkemuka dalam industri teknologi biokimia. Terakhir, Indonesia akan menerapkannya di industri manufaktur agar dapat mengembangkan kemampuan pelaku industri domestik.
Sejumlah sektor industri nasional lainnya, telah siap memasuki era Industri 4.0. Kemenperin juga sudah mulai memberikan dorongan untuk mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan pelaku industri. Mereka telah melakukan beberapa hal, seperti pemberian insentif kepada pelaku usaha padat karya berupa infrastruktur industri, melakukan kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam optimalisasi bandwidth, serta penyediaan Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang memudahkan integrasi data untuk membangun industri elektronik.
Salah satu contoh pabrik yang sudah mengadopsi langsung konsep ini adalah pabrik alat listrik asal Jerman di Indonesia, yakni PT Schneider Electric Manufacturing Batam (SEMB). Satu hal lagi yang harus dipersiapkan Pemerintah Indonesia untuk menyongsong Industri 4.0. adalah melalui persiapan hadirnya jaringan seluler 5G. Hingga saat ini, ada beberapa operator yang sudah mencoba jaringan 5G di Indonesia untuk keperluan industri.
Uji coba dan implementasi sektor bisnis
Semua operator seluler di Indonesia sudah melakukan uji coba 5G. Uji coba itu masih berlangsung setidaknya sampai November 2019 lalu. Telkomsel tercatat sebagai yang pertama kali menginisiasi uji coba 5G di Indonesia.
Uji coba itu dilakukan di Telkomsel Smart Office di Jakarta pada 2017. Bekerjasama dengan Huawei, Telkomsel mendemokan tiga karakteristik layanan seluler 5G, yakni Enhanced Mobile Broadband (eMBB), Massive Type Communications (mMTC) dan Ultra-reliable and Low Latency Communications (uRLLC). Dalam uji coba tersebut, Telkomsel mengklaim, memperoleh kecepatan 70 Gbps.
Selang satu bulan dari uji coba pertama, operator pelat merah ini kembali menggelar uji coba di kantornya. Fokusnya di bidang IoT, dengan mendemonstrasikan Smart Water Meter dan Smart Parking. Dalam uji coba tersebut, Telkomsel juga mengungkapkan adanya kemungkinan penggunaan IoT untuk Smart Agriculture, Bike Sharing, Smart Electricity Meter dan Fleet Management.
Telkomsel terus menggelar uji coba. Bahkan, uji coba publik mereka selenggarakan di ajang ASEAN Games 2018, Agustus-September, tahun lalu. Di sana, Telkomsel memamerkan bus otonom dan Experience Center dengan menggunakan jaringan 5G.
Uji coba terakhir mereka terselenggara pada November 2019 di Batam. Berbeda dari uji coba sebelumnya, pada percobaan terakhir tahun ini, Telkomsel fokus di bidang industri. Bekerjasama dengan Ericsson, Telkomsel mendemonstrasikan Smart Air Patrol, Immersive Collaboration dan Smart Surveillance. Sesi gaming pun juga dilakukan dengan berkolaborasi bersama Skyegrid.
“Ke depan, kita coba dorong ekosistem agar industri 4.0 berkembang, bekerjasama dengan pihak terkait juga akademisi agar bisa mengembangkan aplikasi yang relevan dengan 5G,” ujar Indra Mardiatna, VP Technology Strategy Telkomsel.
Masih dalam kacamata Telkomsel, 5G pada tahap awalnya nanti tidak akan dibangun dalam skala masif. Pendekatan mereka akan sedikit berbeda ketika membangun 4G dengan 5G.
“Kita akan bangun nanti berdasarkan kebutuhan, jadi pendekatannya: di mana ada kebutuhan, nanti kita pasang. Pendekatannya berbeda dengan 2G, 3G, 4G,” ujar Indra.
Selain mahal secara biaya, operator Telkomsel tengah bertransformasi untuk menjadi perusahaan digital. Kalau selama ini jualan mereka konektivitas, pelan-pelan operator seluler ini menambah inovasi lainnya, utamanya dalam sektor Business to Business, seperti penyedia layanan IoT.
“Ke depan, kita bisa jadi semacam gateway, (bagi perusahaan) yang membutuhkan layanan digital. Kita nanti masuk sisi value creation,” ujar Indra.
Ini cara paling realistis bagi operator untuk bersaing di era 5G yang memang digadang-gadang sebagai enabler industri 4.0. Telkomsel juga mengakui bahwa pada uji coba di Batam kemarin, mereka sebenarnya tengah dalam negosiasi kerjasama implementasi 5G dengan sebuah perusahaan manufaktur Perancis yang tidak mereka sebutkan namanya. Kerja sama ini sudah masuk ranah komersial, bukan lagi uji coba. Hanya saja, kedua belah pihak masih menunda implementasinya.
Di sisi bisnis IoT, mereka menyebutkan telah bekerjasama dengan dua BUMN dalam pemanfaatan IoT memanfaatkan jaringan 4G, yakni PT Kereta Api Indonesia dan PT Pertamina Patra Niaga.
Bersama KAI, mereka memanfaatkan IoT untuk memonitor genset, Genset Realibility and Availability Monitoring System (GRAMS). Kemudian, ada solusi Telkomsel FleetSight pada kendaraan operasional truk pengangkut Bahan Bakar Minyak. Lewat solusi ini, Pertamina mendapatkan manfaat berupa, memonitor kendaraan, meningkatkan produktivitas, menekan biaya operasional, dan menjaga keselamatan karyawan dalam bekerja.
Dengan mengadopsi teknologi 5G nanti, solusi-solusi B2B yang sudah berjalan ini akan makin meningkat kemampuannya.
XL Axiata
XL Axiata juga tampak aktif menggelar beberapa uji coba selama tiga tahun terakhir. Uji coba perdana dilakukan pada April 2017 dengan menggandeng Ericsson. Uji coba berlangsung di kantor XL di Jakarta. Dalam uji coba luar ruang tersebut, kecepatan internet yang dihasilkan mampu menembus angka 5,65 Gbps dengan tingkat latensi kurang dari 1ms.
Butuh sekitar satu tahun bagi XL untuk kembali menggelar uji coba 5G di Indonesia. Pada Agustus 2018, operator dengan warna khas biru ini kembali menggelar uji coba di kawasan Kota Tua, Jakarta. Di sini, mereka menggandeng Ericsson, Nokia dan bahkan Huawei. Tak ketinggalan, teknologi WiGig milik Facebook juga mereka tampilkan pada uji coba tersebut. Fokusnya ada pada konsep smart city, seperti pengelolaan sampah, monitoring tingkat kebersihan sungai dan CCTV menggunakan teknologi WiGig.
Pada Agustus 2019, XL Axiata kembali menggelar uji coba di kantornya. Uji coba itu berlangsung dengan mendemonstrasikakan komunikasi melalui teknologi hologram. XL mengklaim, panggilan hologram itu akan dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor, seperti industri dan bisnis, maupun pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pada Oktober lalu, operator ini menandatangani nota kesepahaman dengan Huawei untuk menggelar jaringan kabel demi mempersiapkan kehadiran 5G di Indonesia.
Secara khusus, I Gede Darmayusa, Plt. Chief Technology Officer XL Axiata menyebut bahwa implementasi 5G sangat tergantung pada kesiapan ekosistemnya. XL Axiata sendiri menyatakan bahwa untuk saat ini, use case 5G yang diberikan akan berfokus pada pelanggan XL yang sudah ada.
“Pada tahap awal implementasinya, use case 5G akan lebih berfokus ke pelanggan existing XL Axiata saat ini, melalui use case extended mobile broadband dan ke depannya use case 5G akan lebih berfokus pada penerapan di bidang industri, seperti industri kesehatan, transportasi, pendidikan dan pemerintah,” kata Darmayusa.
Tiga operator lainnya, yakni Indosat, Tri dan Smartfren baru menggelar uji coba 5G satu kali dalam tiga tahun belakangan ini. Indosat menggelar uji coba 5G melalui kerja sama dengan Ericsson pada November 2018 di kantornya. Dalam uji coba itu, Indosat mendemonstrasikan 3D-AR. Dilakukan pula uji kecepatan 5G. Dalam pengujian itu, kecepatan internet Indosat mencapai 10Gbps. Indosat mengatakan, teknologi AR dapat digunakan pada berbagai bidang, seperti bantuan jarak jauh, perawatan kesehatan, pendidikan dan bisnis ritel.
Sementara Tri, sudah menggelar uji coba pada September 2019 dengan menggandeng Huawei dan Nokia. Seperti XL, uji coba itu juga mempertontonkan kapabilitas hologram menggunakan jaringan 5G.
“Uji coba 5G ini merupakan wujud komitmen kami untuk membantu anak muda Indonesia lebih siap menghadapi tantangan global dan membuka kesempatan tanpa batas bagi mereka dalam dunia pendidikan. Kecepatan 5G dapat membuat komunikasi lebih sempurna dan imersif. Keunggulan ini dapat dimanfaatkan untuk menyempurnakan kegiatan belajar mengajar jarak jauh atau mengirimkan suatu karya ke belahan dunia lain secara real time. Dengan 5G, anak muda Indonesia akan memiliki modal yang sama untuk berkompetisi dengan saingan mereka di negara-negara maju,” kata Chief Commercial Officer Tri Indonesia, Dolly Susanto, pada acara pengujian tersebut.
Pada lain kesempatan, Wakil Direktur Utama Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah menyatakan, pihaknya saat ini memiliki beberapa opsi skenario penerapan 5G di Indonesia. Opsi yang dimaksud adalah industri manufaktur atau ke pengganti fixed broadband.
Smartfren juga sudah melakukan uji coba 5G dengan fokus ke ranah industri. Bagaimana tidak, uji coba ini dilakukan di jalur logistik pengiriman barang PT Sinarmas Agro Resources and Technology, di Marunda, Bekasi. Uji coba itu dilakukan dengan menerbangkan drone untuk mengecek jalur logistik yang bermasalah. Dari uji coba tersebut, Smartfren mencatat kecepatan internet 8,7Gbps.
Untuk lebih jelas, mari kita lihat peta uji coba 5G yang sudah dilakukan sejumlah operator di Indonesia sampai saat ini.
Kalau mau dijumlahkan, Telkomsel sudah melakukan empat kali uji coba dengan berbagai use case, mulai dari uji kecepatan, IoT, mobil otonom, gaming dan sektor industri. Sementara, XL Axiata sudah melakukan tiga kali percobaan dengan fokus pada uji kecepatan, smart city, hologram yang mendukung sektor pendidikan, kesehatan dan bisnis, serta cloud gaming. Malahan, operator ini sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Huawei untuk mempersiapkan 5G.
Indosat sudah melakukan satu kali uji coba di Indonesia dengan fokus pada uji kecepatan dan demo 3D AR dengan potensi penggunaan di bidang perawatan kesehatan, pendidikan dan bisnis ritel. Tri juga baru melakukan satu kali pengujian di Indonesia. Uji coba itu fokus pada uji kecepatan internet dan hologram untuk keperluan pendidikan. Sementara, Smartfren juga baru melakukan satu kali pengujian 5G di Indonesia yang berfokus pada bidang industri logistik.
Peluang bisnis 5G
Menurut riset AT Kearney di 2019, 5G akan membuka peluang bisnis baru bagi operator seluler, terutama di Indonesia. Potensi bisnis 5G di sektor industri vertikal diprediksi mencapai Rp27 triliun per tahun pada tahun 2025.
Indonesia diprediksi akan memiliki potensi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Ini sudah meliputi bisnis B2C, B2B, B2B2X. Pada puncaknya nanti, sektor B2B bakal mendapat porsi lebih besar ketimbang model bisnis lainnya.
Untuk diketahui, model B2C itu mencakup MBB (Mobile Broadband) dan FWA (Fixed Wireless Access). Masing-masing diproyeksikan akan bernilai USD310-460 juta dan USD370-440 juta. Sementara, model B2B diprediksi akan bernilai USD620-780 juta, dan B2B2X akan bernilai USD8 juta.
Perlu dipahami bahwa B2B2X merupakan model bisnis baru seiring berkembangnya layanan digital dan 5G di Indonesia. Bisnis pertama akan mengacu pada provider jaringan 5G. Sementara Bisnis kedua, merujuk pada penyedia platform berbasis konektivitas 5G. Sementara X berarti, pelaku bisnis atau konsumen yang menggunakan platform berbasis 5G tersebut.
Walau sudah melakukan pengujian jaringan 5G, operator telekomunikasi di Indonesia masih menunggu keputusan final pemerintah untuk menetapkan frekuensi. Oleh karena itu, sejauh ini, operator di Indonesia yang terhimpun dalam Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) sepakat bahwa alokasi frekuensi menjadi salah satu hambatan digelarnya 5G di Tanah Air.
Uji coba sendiri, menurut pengakuan VP Technology Strategy Telkomsel, Indra Madriatna, terselenggara di frekuensi 28 GHz atas izin Kemkominfo. Tata kelola frekuensi inilah yang selama ini menjadi perdebatan panjang. Pasalnya, setiap frekuensi radio yang cocok untuk menggelar 5G, sudah ada kontrak pemakaiannya.
Beberapa frekuensi tersebut masih digunakan pihak terkait, seperti Indovision yang memiliki kontrak di frekuensi 2,5GHz dan 2,6GHz hingga 2024. Dirjen SDPPI Kemenkominfo, Ismail mengatakan kepada tek.id, pemerintah akan melakukan percepatan migrasi penggunaan frekuensi tersebut demi menggelar jaringan 5G dalam waktu dekat.
Global System for Mobile Communications Association (GSMA) memprediksi, jaringan 5G di Indonesia akan digelar pada 2025. Prediksinya berdasarkan sejumlah persiapan beberapa pihak terkait, termasuk Kemkominfo dan operator seluler.
Tak hanya bagi Indonesia, jadwal itu diprediksi akan berlaku bagi negara lain, seperti Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja Myanmar, Pakistan, Samoa dan Thailand.
"Kami memprediksi, Indonesia akan meluncurkannya (5G) pada 2025. Kami sebenarnya mengharapkan sebelum itu (2025), tapi kami yakin pada 2025 Indonesia akan menggelar 5G," kata Julian Gorman, Head of GSMA Asia Pacific.
GSMA sendiri terlibat aktif dalam diskusi dengan Kemenkominfo, termasuk soal persiapan jaringan 5G. Gorman menyebut, salah satu kerja sama Kemenkominfo dengan GSMA adalah untuk menentukan frekuensi yang cocok bagi jaringan 5G di Indonesia.
"Kita kerja sama dengan Kemkominfo, salah satunya untuk menentukan frekuensi mana yang cocok untuk spektrum 5G," ujarnya.
Kemenkominfo sudah menyiapkan beberapa frekuensi, mencakup 700MHz, 800MHz, 2,6GHz, 3,5GHz, 26GHz dan 28GHz, meski belum meresmikannya. Lain halnya dengan Thailand yang tengah melakukan percepatan, termasuk jadwal lelang frekuensi yang ditentukan pada Februari 2020.
Beberapa frekuensi tersebut masih digunakan pihak terkait, seperti Indovision yang memiliki kontrak di frekuensi 2,5GHz dan 2,6GHz hingga 2024.
Gorman menyebut, Thailand merupakan negara yang cukup terlambat mengadopsi 4G. Namun, negara tersebut akan melakukan percepatan demi menjadi leader dalam menggelar 5G.
Hambatan lainnya yang disampaikan ATSI, yaitu soal studi 5G yang masih minim di Indonesia. Begitu pula dengan keterlibatan industri terkait, khususnya industri vertikal yang masih dinilai minim. Oleh karena itu, model bisnis 5G yang tepat digunakan di Indonesia pun masih abu-abu.
Selain itu, soal penetrasi fiber optik yang masih rendah pun disebut ATSI sebagai tantangan untuk mengimplementasikan jaringan 5G di Indonesia. Rendahnya penetrasi fiber optik itu bukan berarti operator enggan membangun, melainkan karena pembangunannya yang terkendala regulasi daerah. Oleh karena itu, ATSI menyarankan agar pemerintah melakukan sinkronisasi regulasi pusat dengan daerah.
Untuk diketahui, fiber optik yang menopang jaringan 5G akan membantu mengatasi kepadatan jaringan, mengingat 5G mampu menghubungkan banyak perangkat. XL Axiata menyatakan, fiberisasi akan mampu meningkatkan kapasitas transport jaringan hingga lebih dari 5x lipat dibandingkan transport non-fiber.
“Secara teknis, fiberisasi merupakan upaya modernisasi jaringan dengan cara menghubungkan Base Transceiver Station (BTS) melalui jalur fiber, termasuk sekaligus melakukan regenerasi perangkat-perangkat BTS, seperti antara lain, mengganti perangkat yang selama ini memakai microwave menjadi perangkat fiber,” kata I Gede Darmayusa, Plt. Chief Technology Officer XL Axiata kepada Tek.id.
Dengan kata lain, bisa kita simpulkan, penerapan 5G di Indonesia masih punya banyak hambatan. Hambatan utama, yakni frekuensi, hanya bisa diselesaikan Kemenkominfo melalui regulasi. Sementara studi bisnisnya bisa ditangani para operator dan mitra-mitranya.