Alvin Tse, Mi gaib, dan tantangan Xiaomi di Indonesia
Sulit dimungkiri, Xiaomi bisa sukses melesat atau gagal menjadi pemimpin pasar karena satu faktor terpenting: dirinya sendiri.
Sore kemarin (21/11), di lantai dua William's Casual Dining, kawasan SCBD, Jakarta, Alvin Tse, Country Director Xiaomi Indonesia, diapit puluhan wartawan yang duduk dalam formasi meja melingkar, menjelaskan isu yang selama ini separuh tabu dibahas secara resmi oleh perusahaannya di Indonesia: Mi gaib. Di luar ruangan, langit Jakarta sedang mendung dan akhirnya hujan. Hari yang murung. Satu per satu dari kami yang sudah menunggu setengah jam lebih dari jadwal undangan, mencoba menghangatkan diri dengan kopi, teh, dan kudapan.
"Saya bergabung dengan Xiaomi Indonesia sebagai Country Director pada bulan Oktober. Kata Indonesia pertama yang saya pelajari adalah gaib," kata Alvin memulai pembicaraan.
Ini pertama kalinya bos Xiaomi menjelaskan secara gamblang persoalan yang terlanjur merusak citra perusahaan di Indonesia.
Alvin bercerita, dia mengisi sebulan pertamanya dengan berkomunikasi dan mendengar masukan dari Mi Fans, sebutan untuk penggemar produk Xiaomi. Saluran komunikasinya melalui Twitter, Instagram, juga YouTube. Walau layanan ini tak bisa diakses di China, Alvin --kelahiran Hong Kong-- aktif menggunakannya. Ini wajar saja, mengingat latar belakangnya yang lebih banyak tinggal di luar negeri. Sebelum ke Indonesia, pria yang meraih sarjana dari Stanford University ini, pernah bertugas di India, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Sejak dua tahun belakangan, Xiaomi, selain identik dengan ponsel terjangkau, memang tak bisa lepas dari predikat gaib. Maksudnya, banyak konsumen kesulitan membeli ponsel Xiaomi karena raib dari pasar. Salah satunya, seri Redmi Note 7. Kondisi ini dieksploitasi secara maksimal oleh pesaingnya. Realme, misalnya, meluncurkan kampanye bertajuk: Real Product, Real stock, Real Price, dan Real Service.
Banyak yang berspekulasi, Xiaomi sengaja membatasi stok barang. Ada juga tudingan, perusahaan memang enggak mampu memenuhi stok. Apa sebenarnya yang terjadi?
"Sebetulnya tidak terjadi seperti itu," kata Alvin.
Menurut dia, ada tiga faktor yang membuat produk Xiaomi sering hilang dari pasar. Pertama, dalam proses yang disebut ramp up production di pabrik. Dimulai dari ketika sejumlah komponen penting
dikirimkan dari China ke pabrik di Batam dan kemudian pekerja di pabrik harus di-training untuk perakitannya, dimasukkan ke dalam jalur produksi lalu diadakan pengujian.
"Saat pengujian ada model yang gagal, sehingga prosesnya harus diulang. Proses ini lambat. Nah, trade-off-nya adalah, apakah Anda mau meluncurkan produk ini lebih cepat, meski kuantitasnya rendah atau apakah mau tunggu sampai ramp up selesai baru diluncurkan?," katanya.
Xiaomi memilih opsi pertama. Faktor kedua, pilihan Xiaomi untuk fokus penjualan secara online. Masalah muncul karena konsumen individu sering kali kalah bersaing dengan pedagang besar atau dealer yang juga membeli barang secara online. Faktor ketiga, jaringan ritel Xiaomi untuk berjualan secara offline masih sangat minim.
Alvin berjanji, Xiaomi akan fokus membenahi tiga faktor yang saling berkelindan. Pria yang juga menjabat Head of Pocophone Global ini mengingatkan saya pada Mr Fix It dalam “Wreck-It-Ralph”, film animasi garapan Walt Disney. Xiaomi Indonesia sedang sedikit bermasalah, dan dia datang membereskannya.
Jika melihat kiprahnya di Indonesia, sulit dimungkiri, Xiaomi bisa sukses melesat atau gagal menjadi pemimpin pasar karena satu faktor terpenting: dirinya sendiri.
Kiprah Xiaomi di Indonesia
Xiaomi mulai populer sejak tahun 2011, utamanya sejak ia meluncurkan smartphone. Xiaomi berasal dari bahasa Tiongkok yang bermakna beras kecil atau biji-bijian. Sang pendiri Xiaomi - Lei Jun pernah menjelaskan, penggunaan kata itu bermakna besar. Dia menghubungkan Xiao sebagai konsep Budha yang berarti "Sebutir beras dari Buddha adalah sama besarnya seperti gunung". Jun ingin agar Xiaomi bekerja dari hal yang kecil, bukan dari hal yang besar.
Filosofi ini mereka terapkan hingga logo perusahaan. Alih-alih huruf besar, Xiaomi memilih huruf kecil untuk "mi". Logo bernuansa oranye itu memiliki akronim “Mobile Internet”. Ia juga berarti "Mission Impossible" karena setelah mendirikan Xiaomi, terdapat banyak hambatan yang terlihat mustahil untuk dihadapi pada saat itu.
Xiaomi didirikan Lei Jun pada 2010 di Beijing, Tiongkok. Meski lebih dikenal sebagai vendor smartphone, produk pertama perusahaan adalah MIUI, yang kini menjadi antarmuka smartphone Android. MIUI terbentuk berkat pengetahuan Jun yang merupakan mantan eksekutif Kingsoft, salah satu perusahaan software terbesar di Tiongkok.
Setahun kemudian, tepatnya Agustus 2011, Xiaomi meluncurkan smartphone pertama, Mi 1. Perangkat ini menggunakan firmware MIUI. Menyusul kemudian, Mi 2 yang diluncurkan Xiaomi pada Agustus 2012. Hanya berselang 11 bulan, Xiaomi mengklaim, smartphone barunya itu telah terjual hingga 10 juta unit. Mulai September 2013, Lei Jun mengumumkan rencana peluncuran perangkat lain selain smartphone, yakni televisi pintar berbasis Android. Di tahun yang sama, Xiaomi berhasil menjual 18,7 juta smartphone.
Berkat pencapaiannya itu, Xiaomi pernah menjadi startup termahal di dunia. Predikat ini diraih perusahaan setelah berhasil mendapatkan investasi senilai USD1,1 miliar hingga mendongkrak valuasi Xiaomi menjadi USD45 miliar. Financial Times menyebut, nilai Xiaomi menjadikannya sebagai yang paling berharga di kalangan startup teknologi hingga mengalahkan Uber.
Lima tahun lalu, muncul kasak-kusuk bahwa Xiaomi akan menyambangi Tanah Air. Sukses di negeri asalnya, tahun 2014 menjadi momentum bagi Xiaomi untuk melebarkan sayapnya ke Indonesia. Ketika itu, penggemar MIUI sudah memiliki forum mandiri di internet. Waktu dikabarkan akan hadir di Indonesia, banyak orang penasaran seperti apa produk yang bakal dihadirkan Xiaomi.
Kedatangan Xiaomi ditandai dengan Redmi 1s yang kala itu fenomenal karena harganya relatif terjangkau. Hugo Barra yang kala itu menjabat sebagai Vice President Xiaomi Global bahkan percaya diri membandingkan Redmi 1s dengan sejumlah merek yang sudah lebih dulu mapan di Tanah Air.
Toko online jadi sasaran utama Xiaomi menjajakan dagangan perdananya di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan Lazada untuk menggelar flash sale. Dalam waktu 7 menit, Redmi 1s langsung ludes. Selama 2 bulan, Redmi 1s diklaim sudah terjual sebanyak 85.000 unit.
Impresi pasar terhadap kedatangan perdana Xiaomi terbilang cukup baik. Perusahaan ini semakin menambah warna pasar smartphone di Indonesia. Strategi jualan online Redmi 1s masih dilakoni Xiaomi selama dua bulan perdana. Pada November 2014, perusahaan mulai menggaet rekanan toko offline. Erajaya didapuk untuk menjual seri perdana Xiaomi di Indonesia. Waktu diumumkan pertama kali, smartphone itu sudah tersedia di 20 gerai di wilayah Jabodetabek. Namun banderolnya lebih mahal karena alasan kebutuhan logistik offline.
Pada bulan yang sama, Xiaomi juga memboyong perangkat lain, yakni Redmi Note. Mereka masih menggunakan metode penjualan serupa seperti Redmi 1s. Dalam waktu 40 menit, Redmi Note diklaim sudah terjual sebanyak 10.000. Versi ini hanya hadir dengan dukungan koneksi 3G. Padahal, era 4G saat itu sedang naik daun. Beberapa merek lain bahkan sudah berlomba-lomba menghadirkan perangkat 4G di Indonesia. Di masa awal ini, Xiaomi belum banyak meluncurkan banyak lineup-nya di Indonesia.
Jelang pertengahan 2015, Xiaomi kembali memboyong produk baru secara berturut-turut, yakni Xiaomi Redmi 2 pada April, dan Xiaomi Mi 4i pada Mei. Lagi-lagi, kedua seri itu belum dapat menggunakan koneksi 4G. Alasannya, keduanya hanya mendukung spektrum 1.800Mhz dan 2.300Mhz untuk koneksi 4G. Waktu itu, jaringan 4G di Indonesia berjalan di spektrum 900Mhz dan sedang dalam proses migrasi ke 1.800Mhz.
Pada September tahun yang sama, Xiaomi juga merilis Redmi 2 Prime. Produk tersebut sekaligus menandai setahun kehadiran Xiaomi di Tanah Air. Saat itu, Xiaomi menjadi merek dengan penjualan online terbesar di Indonesia. Padahal, mereka hanya meluncurkan tiga produk saja.