sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id wd
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id realme

Alvin Tse, Mi gaib, dan tantangan Xiaomi di Indonesia

Sulit dimungkiri, Xiaomi bisa sukses melesat atau gagal menjadi pemimpin pasar karena satu faktor terpenting: dirinya sendiri.

Alvin Tse, Mi gaib, dan tantangan Xiaomi di Indonesia
Alvin Tse, Country Director Xiaomi Indonesia (Wahyu Kurniawan/Tek.id))

Sore kemarin (21/11), di lantai dua William's Casual Dining, kawasan SCBD, Jakarta, Alvin Tse, Country Director Xiaomi Indonesia, diapit puluhan wartawan yang duduk dalam formasi meja melingkar, menjelaskan isu yang selama ini separuh tabu dibahas secara resmi oleh perusahaannya di Indonesia: Mi gaib. Di luar ruangan, langit Jakarta sedang mendung dan akhirnya hujan. Hari yang murung. Satu per satu dari kami yang sudah menunggu setengah jam lebih dari jadwal undangan, mencoba menghangatkan diri dengan kopi, teh, dan kudapan.

"Saya bergabung dengan Xiaomi Indonesia sebagai Country Director pada bulan Oktober. Kata Indonesia pertama yang saya pelajari adalah gaib," kata Alvin memulai pembicaraan.

Ini pertama kalinya bos Xiaomi menjelaskan secara gamblang persoalan yang terlanjur merusak citra perusahaan di Indonesia.

Alvin bercerita, dia mengisi sebulan pertamanya dengan berkomunikasi dan mendengar masukan dari Mi Fans, sebutan untuk penggemar produk Xiaomi. Saluran komunikasinya melalui Twitter, Instagram, juga YouTube. Walau layanan ini tak bisa diakses di China, Alvin --kelahiran Hong Kong-- aktif menggunakannya. Ini wajar saja, mengingat latar belakangnya yang lebih banyak tinggal di luar negeri. Sebelum ke Indonesia, pria yang meraih sarjana dari Stanford University ini, pernah bertugas di India, Spanyol, dan Amerika Serikat.

Sejak dua tahun belakangan, Xiaomi, selain identik dengan ponsel terjangkau, memang tak bisa lepas dari predikat gaib. Maksudnya, banyak konsumen kesulitan membeli ponsel Xiaomi karena raib dari pasar. Salah satunya, seri Redmi Note 7. Kondisi ini dieksploitasi secara maksimal oleh pesaingnya. Realme, misalnya, meluncurkan kampanye bertajuk: Real Product, Real stock, Real Price, dan Real Service.

Banyak yang berspekulasi, Xiaomi sengaja membatasi stok barang. Ada juga tudingan, perusahaan memang enggak mampu memenuhi stok. Apa sebenarnya yang terjadi?

"Sebetulnya tidak terjadi seperti itu," kata Alvin.

Menurut dia, ada tiga faktor yang membuat produk Xiaomi sering hilang dari pasar. Pertama, dalam proses yang disebut ramp up production di pabrik. Dimulai dari ketika sejumlah komponen penting

dikirimkan dari China ke pabrik di Batam dan kemudian pekerja di pabrik harus di-training untuk perakitannya, dimasukkan ke dalam jalur produksi lalu diadakan pengujian.

"Saat pengujian ada model yang gagal, sehingga prosesnya harus diulang. Proses ini lambat. Nah, trade-off-nya adalah, apakah Anda mau meluncurkan produk ini lebih cepat, meski kuantitasnya rendah atau apakah mau tunggu sampai ramp up selesai baru diluncurkan?," katanya.

Xiaomi memilih opsi pertama. Faktor kedua, pilihan Xiaomi untuk fokus penjualan secara online. Masalah muncul karena konsumen individu sering kali kalah bersaing dengan pedagang besar atau dealer yang juga membeli barang secara online. Faktor ketiga, jaringan ritel Xiaomi untuk berjualan secara offline masih sangat minim.

Alvin berjanji, Xiaomi akan fokus membenahi tiga faktor yang saling berkelindan. Pria yang juga menjabat Head of Pocophone Global ini mengingatkan saya pada Mr Fix It dalam “Wreck-It-Ralph”, film animasi garapan Walt Disney. Xiaomi Indonesia sedang sedikit bermasalah, dan dia datang membereskannya.

Jika melihat kiprahnya di Indonesia, sulit dimungkiri, Xiaomi bisa sukses melesat atau gagal menjadi pemimpin pasar karena satu faktor terpenting: dirinya sendiri.

Kiprah Xiaomi di Indonesia

Xiaomi mulai populer sejak tahun 2011, utamanya sejak ia meluncurkan smartphone. Xiaomi berasal dari bahasa Tiongkok yang bermakna beras kecil atau biji-bijian. Sang pendiri Xiaomi - Lei Jun pernah menjelaskan, penggunaan kata itu bermakna besar. Dia menghubungkan Xiao sebagai konsep Budha yang berarti "Sebutir beras dari Buddha adalah sama besarnya seperti gunung". Jun ingin agar Xiaomi bekerja dari hal yang kecil, bukan dari hal yang besar.

Filosofi ini mereka terapkan hingga logo perusahaan. Alih-alih huruf besar, Xiaomi memilih huruf kecil untuk "mi". Logo bernuansa oranye itu memiliki akronim “Mobile Internet”. Ia juga berarti "Mission Impossible" karena setelah mendirikan Xiaomi, terdapat banyak hambatan yang terlihat mustahil untuk dihadapi pada saat itu.

Xiaomi didirikan Lei Jun pada 2010 di Beijing, Tiongkok. Meski lebih dikenal sebagai vendor smartphone, produk pertama perusahaan adalah MIUI, yang kini menjadi antarmuka smartphone Android. MIUI terbentuk berkat pengetahuan Jun yang merupakan mantan eksekutif Kingsoft, salah satu perusahaan software terbesar di Tiongkok.

Setahun kemudian, tepatnya Agustus 2011, Xiaomi meluncurkan smartphone pertama, Mi 1. Perangkat ini menggunakan firmware MIUI. Menyusul kemudian, Mi 2 yang diluncurkan Xiaomi pada Agustus 2012. Hanya berselang 11 bulan, Xiaomi mengklaim, smartphone barunya itu telah terjual hingga 10 juta unit. Mulai September 2013, Lei Jun mengumumkan rencana peluncuran perangkat lain selain smartphone, yakni televisi pintar berbasis Android. Di tahun yang sama, Xiaomi berhasil menjual 18,7 juta smartphone.

Berkat pencapaiannya itu, Xiaomi pernah menjadi startup termahal di dunia. Predikat ini diraih perusahaan setelah berhasil mendapatkan investasi senilai USD1,1 miliar hingga mendongkrak valuasi Xiaomi menjadi USD45 miliar. Financial Times menyebut, nilai Xiaomi menjadikannya sebagai yang paling berharga di kalangan startup teknologi hingga mengalahkan Uber.

Lima tahun lalu, muncul kasak-kusuk bahwa Xiaomi akan menyambangi Tanah Air. Sukses di negeri asalnya, tahun 2014 menjadi momentum bagi Xiaomi untuk melebarkan sayapnya ke Indonesia. Ketika itu, penggemar MIUI sudah memiliki forum mandiri di internet. Waktu dikabarkan akan hadir di Indonesia, banyak orang penasaran seperti apa produk yang bakal dihadirkan Xiaomi.

Kedatangan Xiaomi ditandai dengan Redmi 1s yang kala itu fenomenal karena harganya relatif terjangkau. Hugo Barra yang kala itu menjabat sebagai Vice President Xiaomi Global bahkan percaya diri membandingkan Redmi 1s dengan sejumlah merek yang sudah lebih dulu mapan di Tanah Air.

Toko online jadi sasaran utama Xiaomi menjajakan dagangan perdananya di Indonesia. Mereka bekerja sama dengan Lazada untuk menggelar flash sale. Dalam waktu 7 menit, Redmi 1s langsung ludes. Selama 2 bulan, Redmi 1s diklaim sudah terjual sebanyak 85.000 unit.

Impresi pasar terhadap kedatangan perdana Xiaomi terbilang cukup baik. Perusahaan ini semakin menambah warna pasar smartphone di Indonesia. Strategi jualan online Redmi 1s masih dilakoni Xiaomi selama dua bulan perdana. Pada November 2014, perusahaan mulai menggaet rekanan toko offline. Erajaya didapuk untuk menjual seri perdana Xiaomi di Indonesia. Waktu diumumkan pertama kali, smartphone itu sudah tersedia di 20 gerai di wilayah Jabodetabek. Namun banderolnya lebih mahal karena alasan kebutuhan logistik offline.

Pada bulan yang sama, Xiaomi juga memboyong perangkat lain, yakni Redmi Note. Mereka masih menggunakan metode penjualan serupa seperti Redmi 1s. Dalam waktu 40 menit, Redmi Note diklaim sudah terjual sebanyak 10.000. Versi ini hanya hadir dengan dukungan koneksi 3G. Padahal, era 4G saat itu sedang naik daun. Beberapa merek lain bahkan sudah berlomba-lomba menghadirkan perangkat 4G di Indonesia. Di masa awal ini, Xiaomi belum banyak meluncurkan banyak lineup-nya di Indonesia.

Jelang pertengahan 2015, Xiaomi kembali memboyong produk baru secara berturut-turut, yakni Xiaomi Redmi 2 pada April, dan Xiaomi Mi 4i pada Mei. Lagi-lagi, kedua seri itu belum dapat menggunakan koneksi 4G. Alasannya, keduanya hanya mendukung spektrum 1.800Mhz dan 2.300Mhz untuk koneksi 4G. Waktu itu, jaringan 4G di Indonesia berjalan di spektrum 900Mhz dan sedang dalam proses migrasi ke 1.800Mhz.

Pada September tahun yang sama, Xiaomi juga merilis Redmi 2 Prime. Produk tersebut sekaligus menandai setahun kehadiran Xiaomi di Tanah Air. Saat itu, Xiaomi menjadi merek dengan penjualan online terbesar di Indonesia. Padahal, mereka hanya meluncurkan tiga produk saja.

Perjalanan produk Xiaomi di Indonesia

TKDN sebagai sandungan pertama

Banjirnya smartphone asal Tiongkok di Indonesia membuat pemerintah bertindak. Mereka memaksa pabrikan untuk merakit produknya di Indonesia. Dengan demikian, vendor tak hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar semata.

Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sejak 2016. Aturan ini mengharuskan smartphone yang memiliki dukungan jaringan 4G untuk menyertakan komponen yang dibuat di dalam negeri. Tiap smartphone yang akan dirilis di Indonesia harus memiliki komponen dalam negeri sebanyak 30%, baik dari sisi hardware, software atau investasi.

Aturan ini berhasil mengerem ekspansi beberapa perusahaan Tiongkok. OnePlus dan Coolpad, misalnya, memilih untuk mundur karena enggan memenuhi aturan TKDN. Sementara Xiaomi memilih untuk memenuhinya.

Xiaomi memilih jalur hardware dengan menggandeng PT. Sat Nusapersada. Sat Nusapersada merupakan pabrikan smartphone milik Erajaya Group. Berkat kerja sama tersebut, Redmi 4A yang diluncurkan pada 2017, menjadi smartphone pertama Xiaomi yang memenuhi TKDN.

Tak hanya dari sisi manufaktur, Xiaomi pun bekerja sama dengan Erajaya Group untuk memasarkan produknyamelalui jaringan ritel Erajaya.

Setahun sebelumnya, Xiaomi menghadirkan Mi Home atau Mi Concept Store di Pondok Indah Mall (PIM), Jakarta. Fasilitas ini memungkinkan Mi Fans atau pelanggan untuk merasakan produk - produk baru Xiaomi. Mi Home pun berfungsi sebagai toko ritel, sehingga Mi Fans bisa melakukan pembelian di toko tersebut.

Tahun 2016 menjadi masa yang sulit bagi banyak vendor ponsel pintar di Indonesia, tak terkecuali Xiaomi. Karena itulah, penjualan Xiaomi menurun. Malahan, di tahun 2016, Xiaomi hanya membawa dua perangkat saja ke Indonesia, yaitu Redmi Note 3 dan Redmi 3 Prime. Itu pun dengan rentang waktu yang lumayan jauh. Padahal, di negara asalnya, mereka merilis banyak produk.

Keberhasilan kerja sama denga PT. Sat Nusapersada membuahkan hasil. Setahun kemudian, April-Desember 2017, Xiaomi berhasil meluncurkan 5 produk. Di tahun 2018, Xiaomi kembali agresif. Mereka merilis 12 smartphone sepanjang tahun 2018. Namun, tahun ini pulalah yang menandai citra gaib melekat di Xiaomi.

 

Bermula pada April 2018, Xiaomi merilis Redmi Note 5 melalui flash sale. Antusiasme penggemar membuat produknya langka di pasar. Isu gaib tak berhenti di Redmi Note 5, tetapi berlanjut ke produk-produk selanjutnya.

Menariknya, pada tahun yang sama, Xiaomi juga memperkenalkan Pocophone F1, smartphone berspesifikasi tinggi dengan harga yang benar-benar murah, sekitar Rp4 jutaan.

Pocophone sendiri adalah sub-brand yang merupakan proyek Jai Mani, salah satu Lead Project Manager Xiaomi. Smartphone ini menuai respons yang cukup bagus karena dukungan Snapdragon 845 - chipset tertinggi untuk smartphone di tahun tersebut.

Hal berbeda justru terjadi di tahun ini. Berdasarkan catatan kami, hingga November 2019, Xiaomi hanya meluncurkan enam model smartphone atau separuh dari tahun lalu. Namun yang menarik, mereka sudah menyediakan lebih banyak produk pendukung, dari powerbank, earphone, VR, hingga sejumlah perangkat smart home. Tidak hanya itu, Xiaomi juga memboyong Mi Band dan smartwatch ke Indonesia.

Strategi Xiaomi di Indonesia, kuat tapi gampang ditiru

Strategi Xiaomi hampir sama di setiap negara yang disambanginya. Xiaomi mengandalkan penjualan online untuk menekan harga menjadi lebih murah dari pesaingnya. Saat memulai debut di Indonesia tahun 2014, Xiaomi menggaet e-commerce Lazada. Hal ini terus berlangsung sampai saat ini dengan penambahan beberapa rekanan.

Metodenya juga masih sama, yakni flash sale. Melalui flash sale, Xiaomi hanya menjual smartphone dalam beberapa periode. Penjualan setiap batch dibatasi hingga tingkat tertentu. Waktunya juga sangat terbatas. Beberapa ahli menjuluki strategi ini sebagai Hunger Marketing.

Xiaomi dikenal sebagai merek smartphone dengan harga terjangkau, namun kualitasnya mampu bersaing dengan smartphone di atas rentang harganya. Penyebabnya jelas karena strategi pemasarannya yang mampu menekan harga sampai seminimal mungkin.

Sebagai gambaran, Redmi Note 8 Pro di Indonesia, yang diperkuat chipset Helio G90T dengan RAM 6GB dan ROM 128GB hanya dibanderol Rp3.399.000. Padahal, smartphone dengan chipset tandingannya dibanderol dengan harga yang jauh lebih mahal.

Selain menekan biaya promosi, Xiaomi memang dikenal menetapkan margin keuntungan yang sangat kecil. Xiaomi hanya mengambil keuntungan sebesar 5 persen saja dari produk smartphone yang dijual. Jumlahnya terpaut sangat jauh dengan Samsung, misalnya.

Di tahun 2017, data IDC mencatat bahwa Samsung mengambil keuntungan hingga 69,7 persen hanya dari Galaxy Note 3 saja. Perbedaannya terpaut sangat jauh dengan Xiaomi yang hanya mengambil keuntungan 5 persen.

Strategi keuntungan 5 persen itu mulai diterapkan Xiaomi ketika perusahaan itu hendak beralih menjadi perusahaan publik. Lei Jun mengungkapkan, Xiaomi ingin membuat inovasi yang terjangkau untuk semua orang.

Lalu, darimana perusahaan mendapatkan keuntungan?

Lei Jun mengungkapkan, Xiaomi mengandalkan layanan lainnya, seperti iklan dan software. Sebagai gambaran, dalam laporan Q3 2018, Xiaomi mencatat pendapatan sebesar CNY50,8 miliar atau sekitar Rp101 triliun. Itu mencakup semua lini bisnis Xiaomi. Bisnis smartphone menyumbangkan sekitar 31 persen, bisnis IoT dan perangkat elektronik rumahan menyumbang pendapatan sebesar CNY10,8 miliar, dan layanan internet sebesar CNY4,7 miliar.

Kesuksesan Xiaomi tak terlepas dari peran penggemarnya di Indonesia. Mi Fans - sebutan penggemar Xiaomi merupakan komunitas pecinta produk Xiaomi. Komunitas ini mulai terbentuk pada 2014, sejalan dengan debut Xiaomi di Indonesia. Dalam setiap acara peluncuran produk baru, Xiaomi tak pernah luput mengajak Mi Fans untuk ikut bergembira meresmikannya ke publik. Sebelum masuk ke Indonesia, Xiaomi sebenarnya sudah punya penggemar yang tergabung dalam MIUI fans.

Menariknya, Mi Fans tampak begitu setia kepada Xiaomi hingga siap berada di garda terdepan saat merek idolanya itu diterpa isu negatif.

Lantas, apa yang membuat Mi Fans begitu setia? Salah satu anggota Mi Fans, Fajar, yang kami hubungi mengatakan, Mi Fans memiliki posisi yang sangat penting bagi Xiaomi.

“Mi Fans dilibatkan dalam proses pembuatan produk baru melalui feedback yang mereka kasih. Khusus untuk Mi Fans, Xiaomi menyediakan F-Code untuk membeli produk terbaru melalui mi.com,” ujarnya.

Tak hanya itu, Xiaomi memberikan kesempatan bagi Mi Fans terpilih atau disebut Mi Explorers untuk mencoba produk terbaru Mereka, bahkan sebelum produk tersebut diluncurkan ke publik.

Jumlah Mi Fans terus bertambah setiap tahun. Mengutip Detik.com, jumlah Mi Fans Indonesia pada 2017 mencapai 300 ribu orang. Pertumbuhan Mi Fans yang eksponensial tercatat terjadi pada 2018. Fajar menyebut, jumlahnya mencapai 1.035.635 anggota, atau tumbuh lebih dari tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sementara hingga November 2019, jumlah Mi fans tercatat mencapai 1.564.243.

Mi Fans terhubung dalam berbagai kegiatan, baik offline maupun online. Mereka juga terkoneksi dalam aplikasi dan situs Mi Community. Melalui fasilitas ini, mereka bisa bertukar pikiran, mendiskusikan berbagai persoalan produk, hingga layanan Xiaomi.

Sejak awal, Xiaomi juga memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan seluruh produknya. Melalui media sosial, Xiaomi mampu menyentuh langsung para penggunanya dengan menjawab berbagai keluhan dan pertanyaan.

Xiaomi menghindari promosi besar-besaran, berkebalikan dengan semua pesaingnya, seperti Oppo, Vivo atau Samsung. Walau sukses, strategi semacam ini nyatanya amat mudah ditiru pesaing. Mau tak mau, Xiaomi akhirnya menjual produknya secara offline. Strategi penjualan online dan zero marketing cost mereka tak lagi bisa diandalkan karena dipepet ketat oleh pemain baru: realme.

Realme, pesaing terkuat Xiaomi di Indonesia

Realme memulai debut di Indonesia pada Oktober 2018 melalui tiga produk: realme C1, realme 2 dan realme 2 Pro. Mereka menjualnya secara online melalui Lazada. Sama seperti Xiaomi, realme juga mengumumkan rekor penjualan: 10 ribu unit dalam waktu 40 detik.

Realme tak membutuhkan waktu lama untuk menyiapkan pabrik karena bisa menumpang ke Oppo. Sebagai informasi, Oppo, Vivo, dan realme bernaung di satu induk perusahaan yang sama, yakni BBK.

Realme juga bisa menumpang fasilitas servis dan toko ke saudara tuanya itu. Walhasil, hanya dalam waktu setahun, perkembangannya sangat cepat. Realme telah membuka 421 toko retail resmi di Indonesia, tak hanya di kota besar, namun juga kota di provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam satu tahun ini, realme bisa menghadirkan layanan 116 layanan purna-jual. Tak hanya itu, mereka pun menghadirkan layanan perbaikan instan yang disebut "Callme Service", dan akan membuka 11 layanan purna-jual resmi realme di setiap kota besar di Indonesia hingga akhir tahun 2019.

Untuk memperkuat penjualan offline, Public Relations, Realme Indonesia, Tiyuk Grahayu, mengatakan, realme telah menggandeng 15.000 toko. Infrastruktur yang mapan ini memungkinkan realme untuk merilis 11 produk di Indonesia hingga bulan November 2019. Harganya mulai Rp1.999.000- Rp3.999.000.

Perjalanan produk realme dalam setahun terakhir

Harga realme sebenarnya sedikit lebih mahal dibanding Xiaomi, namun stok yang melimpah, jaringan penjualan luas, dan kampanye massif, membuat penjualannya sangat tinggi.

Menutup 2019 ini, realme berencana merilis ponsel flagship, yakni realme X2 Pro. Ponsel mendatang ini digadang-gadang akan menjadi ‘The Most Powerful Flagship King’ karena didukung prosesor Snapdragon 855+, SuperVooc Flash Charge 50 watt dan dukungan layar 90 Hz Ultra Smooth Display. Realme X2 Pro meluncur ke Indonesia pada tanggal 27 November 2019.

 

Realme mengklaim, telah memiliki lebih dari 2,5 juta pengguna di Indonesia. Meski pada awalnya dikenal sebagai sub-brand Oppo, realme memilih jalur berbeda dengan Oppo. Realme pada awalnya lebih mengincar jalur online ketimbang melalui retail offline. Mereka sukses karena memang pasar offline tak punya banyak pemain selain Xiaomi. Apalagi, Lenovo dan Motorola, Zuk, sudah mundur dari Indonesia.

Kesuksesan realme juga tak lepas dari kampanye massif mereka di internet. Tiap merilis produk baru, perusahaan menggandeng puluhan media daring, YouTuber, dan influencer. Dengan demikian, eksposur produknya selalu tinggi dengan narasi yang terkendali.

Agresivitas realme terbukti mampu menekan laju Xiaomi. Data IDC di kuartal ketiga 2019, Xiaomi terlempar ke posisi kelima dengan pangsa pasar 12,5%. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Xiaomi akhirnya bertekad memperluas jaringan ritel.

 

Alvin Tse mengatakan, hingga saat ini, Xiaomi sudah punya 51 official store. Tahun depan, mereka berencana membuka puluhan Authorized Mi Store di beberapa kota. Authorized Mi Store merupakan outlet resmi Xiaomi yang menawarkan layanan penjualan dan menghadirkan pengalaman belanja terbaik untuk membeli jajaran produk Xiaomi. Selain smartphone, Authorized Mi Store juga menyediakan produk ekosistem Xiaomi, seperti Mi Band 2, Mi Power Bank, Mi Bluetooth Speaker, dan lainnya.

 

Apakah strategi itu akan berhasil membendung desakan realme?

 

“Di bawah kepemimpian baru, Anda bisa harapkan dua perubahan

besar: pertama, kami akan bicara dan berbagi lebih banyak sehingga orang

makin mengerti apa yang dilakukan Xiaomi. Kedua, kami harus melihat apa

diinginkan oleh konsumen, bukan yang terlalu murah, tapi tidak terlalu

mahal juga, tapi betul-betul produk yang mereka butuhkan,” katanya.

 

 

Alvin mengaku percaya diri, termasuk untuk membawa produk high-end ke Indonesia. Kuncinya, kata Alvin, adalah konsistensi. Kedua, investasi dalam mengedukasi.

 

“Setiap flagship Xiaomi harus punya angle khusus karena kalau Anda pergi ke peluncuran produk, biasanya agak mirip. Biasanya, konsumen yang membeli produk high-end, mereka hanya membeli yang paling mahal biaya marketing-nya. Xiaomi tidak banyak pengeluaran pada marketing. Kami ingin menawarkan flagship yang berbeda. Contohnya, gaming flagship untuk gamer, yang membutuhkan beda. Ada juga camera flagship untuk kebutuhan fotografi saja. Dan tentu saja ada Poco F1 yang fokus pada performance. Dengan tipe portofolio itu, Mi fans punya pilihan-pilihan yang lebih jelas,” katanya.

Share
×
tekid
back to top