×
Kanal
    • partner tek.id realme
    • partner tek.id samsung
    • partner tek.id acer
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd

Babak baru industri telko Indonesia, Telkomsel dalam tekanan pesaing

Oleh: Tek ID - Kamis, 27 Maret 2025 16:50

Telkomsel sebagai pemimpin pasar, dibayangi Indosat di posisi kedua, dan XLSmart sebagai penantang baru​.

Babak Baru Industri Telko Indonesia
Telkomsel melepas mudik bersama 2025

Tiga tahun terakhir, peta industri telekomunikasi Indonesia berubah drastis. Jika dulu Telkomsel seolah raja tak tergoyahkan di singgasana telko Nusantara, kini dua rivalnya “bersekutu” dan menata ulang kekuatan. Tahun 2022 ditandai dengan lahirnya Indosat Ooredoo Hutchison – hasil merger Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia – yang langsung mengatrol jumlah pelanggan Indosat melewati 100 juta​.

Tak berhenti di situ, akhir 2024, XL Axiata dan Smartfren mengumumkan merger raksasa senilai Rp104 triliun, membentuk entitas baru bernama XLSmart dengan 94,5 juta pelanggan (sekitar 27% pangsa pasar). Konsekuensinya? Tahun 2025, Indonesia memasuki era tiga besar operator: Telkomsel sebagai pemimpin pasar, dibayangi Indosat di posisi kedua, dan XLSmart sebagai penantang baru​. Barangkali, industri akan “semakin sehat” dengan tiga pemain besar​.

Telkomsel selama ini menikmati posisi puncak dengan 160 juta pelanggan pada 2024, hampir dua kali lipat basis pelanggan Indosat sesudah merger​. Ibarat pemain bulutangkis unggulan, Telkomsel punya servis terkuat dan jangkauan terluas. Namun kini, lawan tandingnya makin tangguh. Indosat Ooredoo Hutchison pascamerger 2022 langsung tancap gas: menutup 2022 dengan 102 juta pelanggan (bandingkan dengan Telkomsel 173 juta).​ Indosat bahkan menggandakan jumlah BTS 4G-nya menjadi ~137 ribu, mendekati capaian Telkomsel​.

Artinya, kesenjangan kualitas jaringan antara Telkomsel dan Indosat kian menipis – sebuah alarm bagi Telkomsel bahwa keunggulan infrastrukturnya bukan monopoli lagi. Sementara itu, XLSmart (penggabungan XL Axiata dan Smartfren) siap menjadi kuda hitam. Dengan 94,5 juta pelanggan gabungan, entitas baru ini otomatis menguasai lebih dari seperempat pasar seluler. Dampak sinergi finansialnya pun tidak kecil – diproyeksikan cost synergy Rp4–6 triliun per tahun. Bagi Telkomsel, ini berarti dua pesaingnya kini punya skala ekonomi lebih besar untuk perang tarif maupun ekspansi jaringan. 

Tekanan kompetitif pun meningkat tajam. Jika sebelumnya Telkomsel cukup waspada pada Indosat yang agresif, kini harus menghadapi “dua front perang” sekaligus. Indosat dan XLSmart mungkin tidak bersekongkol, tapi masing-masing kian kuat menggempur segmen pasar Telkomsel, dari kota besar hingga pelosok. Apakah Telkomsel siap ketika dua rivalnya melontarkan paket data murah bertubi-tubi? Bagaimana jika Indosat makin agresif merebut pengguna muda dengan branding edgy, sementara XLSmart menyasar pengguna data berat dengan bundling menarik? Telkomsel mau tak mau harus keluar dari zona nyaman kejayaannya selama ini. Strategi Telkomsel pun perlu beradaptasi. Dulu, Telkomsel mengandalkan cakupan jaringan luas dan reputasi terpercaya untuk menarik pelanggan, meski harga relatif lebih mahal. Kini, dengan Indosat dan XL + Smartfren bisa menawarkan kualitas mendekati setara, Telkomsel harus menemukan pembeda baru. Mungkin layanan digital content, mungkin loyalty program yang lebih royal, atau customer service yang unggul. Tantangan kompetitif ini menuntut Telkomsel bermain lebih cerdik – layaknya pemain catur yang mulai kehilangan banyak bidak, Telkomsel harus memanfaatkan setiap keunggulan tersisa dengan optimal. Seperti kata pepatah, “kalau tak bisa menang di kekuatan, menangkan di strategi.”

Tekanan terhadap Telkomsel tidak hanya datang dari rival yang semakin kuat, tapi juga dari tantangan struktural industri. Pertama, isu regulasi dan spektrum. Pemerintah Indonesia belakangan mendorong konsolidasi operator demi industri yang lebih efisien dan sehat​. Hasilnya memang positif: dengan tiga operator besar, masing-masing akan mendapat alokasi spektrum lebih lebar dan sumber daya yang lebih merata​. Namun di sisi lain, regulator (Komdigi dan KPPU) pasti mengawasi agar jangan terjadi oligopoli nakal​. 

Telkomsel, sebagai pemimpin pasar, berada di bawah sorotan ekstra. Keputusan tarif atau bundling Telkomsel akan ditelisik agar tidak menyingkirkan kompetitor lebih kecil secara tidak adil. Dalam situasi tiga besar ini, peta regulasi ibarat wasit yang memastikan permainan tetap fair. Telkomsel harus lincah mengikuti aturan main baru, termasuk potensi rules soal network sharing atau coverage obligation (kewajiban memperluas jaringan ke wilayah 3T). Regulasi spektrum juga menantang: lelang frekuensi 700 MHz (bekas TV analog) dan 2.6 GHz dijadwalkan 2025​.

Telkomsel tentu berminat mendapatkan pita emas ini untuk 5G, namun biaya lelang bisa menekan investasi. Bagaimana strategi Telkomsel mengamankan spektrum vital tanpa mengganggu neraca keuangan? Ini tugas berat manajemen dan lobi regulasinya. Kedua, monetisasi 5G yang masih teka-teki. Gegap gempita 5G sudah dimulai sejak 2021, Telkomsel menjadi yang pertama menggelar 5G secara komersial. Tapi kenyataannya, hingga 2025 adopsi 5G di Indonesia berjalan lambat. 

Cakupan jaringan 5G terbatas di kota besar, harga handset 5G masih relatif mahal, dan use-case yang killer belum muncul. Tantangan utama: bagaimana mengubah investasi masif 5G menjadi pendapatan nyata? Average Revenue Per User (ARPU) layanan seluler di Indonesia tergolong rendah – Telkomsel sekitar Rp45 ribu atau hanya US$3 per bulan. Dengan ARPU serendah ini, menjual 5G ke konsumen massal ibarat menjajakan mobil sport di pasar becek – fitur canggihnya ada, tapi daya beli dan kebutuhan belum tentu cocok. Peluang monetisasi 5G mungkin justru di segmen enterprise dan industrial: solusi IoT, smart city, otomasi pabrik hingga layanan cloud gaming atau VR/AR. Namun segmen enterprise membutuhkan siklus penjualan panjang dan keahlian khusus – tantangan baru bagi Telkomsel yang historis fokus ke ritel konsumen. 

Sementara itu, pesaingnya juga tidak diam: Indosat menggandeng berbagai mitra cloud dan enterprise, XL-Smartfren bisa menawarkan solusi 5G private network dengan kombinasi portofolio mereka. Jangan lupa, Telkomsel juga bersaing melawan ekspektasi pelanggan yang kian tinggi: era TikTok dan video 4K menuntut jaringan tanpa lag di mana-mana. Apakah 5G akan menjadi mesin uang baru, atau sekadar lomba gengsi teknologi? Telkomsel harus menemukan jawabannya sebelum tersalip dalam inovasi layanan. Ketiga, tekanan biaya operasional. Menyediakan jaringan seluler di Indonesia bukan perkara murah: ribuan menara BTS tersebar dari Sabang sampai Merauke, banyak di antaranya di daerah terpencil dengan tantangan geografis. 

Biaya listrik dan backhaul (sering kali sewa satelit atau microwave untuk daerah pelosok) tinggi. Tahun 2022-2024 juga diwarnai kenaikan harga energi global dan inflasi, yang berarti ongkos operasional jaringan naik. Telkomsel dan operator lain harus mengeluarkan biaya lebih untuk diesel genset di site-site off-grid, dan menghadapi kurs rupiah yang fluktuatif untuk pembelian perangkat jaringan impor. Tekanan margin mulai terasa. Hingga kuartal III 2024, pendapatan Telkomsel tercatat sebesar Rp85,2 triliun, tumbuh 16,4% secara tahunan (YoY). Pertumbuhan ini didukung oleh peningkatan pendapatan dari bisnis digital sebesar Rp58,8 triliun atau naik 2,5% YoY. ​Namun, laba bersih Telkom hingga kuartal III 2024 mengalami penurunan sebesar 9,35% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp17,67 triliun. Penurunan laba bersih ini mengindikasikan adanya tekanan pada margin keuntungan.

Dengan kompetisi harga yang ketat, Telkomsel tak bisa sembarangan menaikkan tarif untuk mengompensasi biaya. Solusinya harus efisiensi: apakah lewat sharing menara dengan kompetitor, automasi operasi dengan AI, atau restrukturisasi internal agar lebih lincah. Ini tantangan struktural di balik layar yang sama krusialnya dengan persaingan di depan layar.

Membutuhkan CEO Visioner Nan Tangguh

Di tengah pusaran perubahan ini, Telkomsel membutuhkan sosok nakhoda yang bukan hanya pandai memegang kemudi, tapi berani mengarungi badai. CEO seperti apa yang diperlukan Telkomsel? Pertama, ia harus punya visi transformasi digital yang jelas. Telkomsel bukan sekadar penjual pulsa dan kuota lagi; ia harus berevolusi jadi perusahaan layanan digital terpadu. Mirip bagaimana Satya Nadella mengubah Microsoft yang tadinya kaku menjadi raksasa layanan cloud, Telkomsel perlu pemimpin berjiwa inovator yang berani menggeser fokus bisnis saat ini ke area baru seperti fintech, media digital, atau solusi enterprise. Kedua, sang CEO harus lihai dalam eksekusi operasional. Industri telko terkenal padat modal dan detail teknis – diperlukan pemimpin yang paham seluk-beluk jaringan sekaligus jago membaca laporan keuangan. Mungkin sosok kombinasi “insinyur sekaligus pebisnis”. 

Walt Mossberg pernah menekankan pentingnya user experience dalam adopsi teknologi baru; demikian pula CEO Telkomsel harus memastikan inovasi jaringan (5G, IoT) akhirnya menghadirkan pengalaman pelanggan yang nyata, bukan sekadar pencitraan di papan iklan. Tak kalah penting, figur CEO ini sebaiknya mampu menjadi jembatan dengan pemerintah dan stakeholder. Mengingat Telkomsel bagian dari Telkom (BUMN) dan punya kepentingan nasional strategis, CEO-nya harus mahir berdiplomasi: bisa menjawab tuntutan pemegang saham (Telkom dan Singtel) untuk profit, tapi juga peka pada mandat pemerintah untuk pemerataan akses. 

Ini situasi rumit high-wire balancing act. Ibarat tokoh strategi, ia harus tahu kapan bermain ofensif mengalahkan kompetitor dengan inovasi pasar, dan kapan defensif berkoordinasi dengan regulator agar industri tetap kondusif. Apakah figur ini ada di internal Telkomsel saat ini, atau perlu darah segar eksternal? Telkomsel mungkin perlu berpikir out-of-the-box. Seorang inovator visioner dengan wawasan global–mungkin pernah berkecimpung di perusahaan teknologi global atau startup–bisa memberi perspektif baru bagi Telkomsel yang lama nyaman di zona pemimpin tak tergoyahkan. 

Bayang-Bayang China Telecom: Geopolitik dan Inovasi Teknologi

Satu elemen tak terduga dalam dinamika baru ini adalah keterlibatan China Telecom melalui merger XL-Smartfren. Rumor berhembus kencang bahwa China Telecom – salah satu Big Three operator Tiongkok – akan masuk ke pasar Indonesia lewat kongsi XLSmart. Pihak Smartfren sendiri tak menampik isu ini; CEO Smartfren Andrijanto Muljono, 17 Januari 2025, bahkan mengisyaratkan “rumor itu belum tentu tidak benar”. Apa implikasinya? Pertama, suntikan modal dan teknologi Tiongkok bisa makin menguatkan XLSmart.

China Telecom punya rekam jejak teknologi terkini, mulai dari penerapan AI di jaringan, automasi cloud core, hingga pengalaman membangun 5G skala masif di Tiongkok. Bahkan sekarang sudah ada joint venture “ASICS” antara Sinarmas, Smartfren, dan China Telecom yang menawarkan solusi AI untuk pemerintahan dan smart city. Telkomsel patut waspada: pesaingnya mungkin segera mendapatkan senjata baru berupa inovasi teknologi hasil kolaborasi dengan China Telecom. 

Bisa jadi, XLSmart nantinya mengadopsi model-model layanan digital ala operator Tiongkok – misal integrasi layanan pembayaran digital, super-app, atau ekosistem IoT – yang bisa mengejutkan pasar. Kedua, ada aspek geopolitik. Industri telekomunikasi kini tak lepas dari pengaruh geopolitik global. Keterlibatan China Telecom di infrastruktur seluler Indonesia bisa memantik perhatian pemain global lain. Bukan rahasia, Amerika Serikat dan sekutu sering menaruh curiga pada ekspansi Tiongkok di sektor teknologi strategis. Meski Indonesia cenderung non-blok dan pragmatis, pemerintah pasti mempertimbangkan isu kedaulatan data dan keamanan jaringan. Telkomsel sebagai pemimpin pasar milik negara barangkali akan mendapat dukungan implisit pemerintah untuk tetap unggul, mencegah “ekspansi Tiongkok” terlalu dominan. Telkomsel perlu siaga. Lawan yang didukung raksasa Tiongkok berarti persaingan bukan lagi sekadar soal tarif atau iklan, tapi sudah naik kelas ke persaingan kapabilitas teknologi jangka panjang.

Telkomsel harus berani keluar dari bisnis tradisionalnya. Manfaatkan aset pelanggan besar untuk menawarkan layanan digital beyond telco: fintech (uang elektronik, pinjaman mikro), konten streaming, gaming, hingga edukasi. Selain itu, Telkomsel perlu mempertajam customer experience – jaringan bagus saja tak cukup, paket harus simpel dan transparan, layanan pelanggan proaktif. Telkomsel juga dapat mengeksplorasi kolaborasi dengan kompetitor di area non-langganan, misalnya infrastructure sharing di wilayah 3T untuk menekan biaya sambil memenuhi kewajiban layanan universal. Jangan segan belajar dari pengalaman global: banyak operator incumbent di luar negeri sukses bertransformasi dengan membentuk unit digital terpisah atau bermitra dengan raksasa internet.

Di sisi lain, pemerintah harus memastikan persaingan tetap fair. KPPU dan BRTI harus awas terhadap kemungkinan kartel tarif data – jangan sampai “sehat” bagi industri berarti tarif melambung bagi konsumen. Spektrum baru harus dibagi secara adil; mungkin mekanisme beauty contest mempertimbangkan komitmen pembangunan, tak semata harga tertinggi, agar tidak memberatkan operator dalam jangka panjang. Selain itu, dukung investasi dengan regulasi pro-inovasi: permudah perizinan fiberisasi, izinkan uji coba teknologi baru dengan pengawasan. Pemerintah juga bisa mendorong pemanfaatan infrastruktur pasif bersama – tiang, ducting, dll – agar percepatan 5G dan fiber optik lebih efisien. Intinya, pemerintah sebagai wasit harus adil, tegas menegur pelanggaran, namun juga memberi ruang pemain berkembang.

Walaupun bersaing ketat, Telkomsel, Indosat, dan XLSmart juga punya kepentingan bersama. Misalnya, edukasi pasar tentang manfaat 5G/IoT, standarisasi keamanan siber telekomunikasi, hingga kolaborasi melawan dominasi OTT asing. Asosiasi industri (ATSI) dapat menjadi forum menyuarakan kepentingan bersama ke regulator, seperti mendorong regulasi OTT fairness. Sementara itu, pelaku startup dan tech di Indonesia sebaiknya bermitra dengan operator untuk menciptakan use-case lokal. Bayangkan jika ada aplikasi agritech yang di-bundle khusus dengan jaringan 5G Telkomsel – ini bisa menjadi monetisasi baru sekaligus memberi nilai tambah layanan. Industri telko tak bisa berjalan sendiri; ia adalah enabler bagi industri digital lain. Kolaborasi lintas sektor akan memastikan transformasi digital Indonesia maju secara komprehensif, tidak silo per sektor.

Masyarakat tentu berharap diuntungkan apabila kompetisi ini mendorong layanan lebih baik, harga kompetitif, dan inovasi tiada henti. Telkomsel bersama pemerintah dan industri diharapkan dapat menjadikan transformasi digital sebagai kompetisi sehat – bukan perang mematikan – demi mewujudkan Indonesia yang makin terkoneksi dan maju. Persaingan sengit boleh saja, namun tujuan akhirnya adalah sama: melayani masyarakat menuju Indonesia Emas Tahun 2045.

×
back to top