sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id wd
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id wd
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id wd
  • partner tek.id wd
  • partner tek.id samsung
Senin, 23 Jan 2023 17:03 WIB

Bagaimana Consumer Drone Mengubah Perang?

Penggunaan drone saat ini dianggap sebagai mainan atau bahkan sebagai alat untuk gaya hidup. Namun, ada kengerian di balik penggunaan drone, terutama di lini militer.

Bagaimana Consumer Drone Mengubah Perang?
Drone (pexels - suliman sallehi)

Pada Februari 2020, Elon Musk menyampaikan pandangan tentang masa depan perang udara. Hal itu disampaikannya saat menjadi pembicara dalam acara Simposium Peperangan Udara yang digelar Air Force Association di Florida, Amerika Serikat.

“Untuk domain udara ... hal-hal pasti akan mengarah pada, semacam ... perang drone otonom lokal,” katanya. “Bukannya saya ingin masa depan menjadi seperti ini, inilah yang akan terjadi di masa depan, perang drone otonom.”

CEO Tesla itu menambahkan, era pesawat jet tempur sudah berlalu dan akan digantikan drone. Dua tahun kemudian, prediksi Elon terbukti benar ketika Rusia menginvasi Ukraina. Dalam peperangan yang masih berlangsung hingga sekarang itu, Rusia mengejutkan dunia dengan melancarkan serangan drone kamikaze yang disebut Shahed-131 dan Shahed-136.

Drone yang konon buatan Iran tersebut menjadi berita utama di banyak media di Eropa dan Amerika Serikat karena mampu menyerang objek sipil dan militer di Ukraina, termasuk pembangkit listrik, secara efektif dan murah.

Melihat masifnya pemberitaan media, Elon Musk melalui akun Twitter miliknya mengatakan: Drone War I. Salah satu pengikutnya membagikan ulang pernyataan Elon di acara Air Force Association, dan Elon menanggapi dengan mengatakan bahwa era perang drone adalah “Prediksi yang mudah”.

Penggunaan drone khusus militer dalam peperangan sebenarnya bukanlah hal baru. Namun, perkembangan teknologi yang menghadirkan drone konsumen (consumer drone) yang kian canggih, telah mengubah banyak hal dalam situasi perang. Drone konsumen punya banyak keunggulan dibanding drone kelas militer karena ukurannya lebih kecil dan harganya jauh lebih murah.

Dalam perang Rusia-Ukraina, drone konsumen terlihat sulit dilumpuhkan jika meluncur dalam jumlah yang banyak. Melumpuhkannya dengan senjata anti-pesawat bukan opsi menarik karena tidak efisien secara harga.

Kajian Michael Knights dari Washington Institute menyebutkan, tingkat pencegatan Ukraina terus meningkat, tetapi Rusia memiliki keuntungan karena biaya Shahed masing-masing hanya $20.000 dan rudal udara-ke-udara atau pencegat berbasis darat masing-masing berharga antara $400.000 dan $1,2 juta.

Michael mengatakan, penggunaan drone dalam perang Rusia-Ukraina menggambarkan sekilas mengenai perang di masa depan di mana drone murah dapat menghancurkan material yang mahal dan canggih. Elon Musk agaknya mengetahui banyak tentang potensi drone di perang di masa depan, tetapi dia enggan berbicara topik sensitif tersebut secara terbuka.

Walaupun demikian, sejak 2018, Elon secara konsisten mendorong pemerintah mengatur kecerdasan buatan (AI) karena potensinya menghancurkan peradaban manusia. Dia bahkan menyebut, AI jauh lebih berbahaya daripada senjata nuklir. Salah satu skenario paling sederhana yang dia sampaikan adalah orang bisa membenamkan chip pengenal wajah ke dalam drone konsumen dan mengatur program untuk memerintahkannya memburu dan membunuh target tertentu.

Menurun Elon, banyak orang belum sadar mengenai bahaya AI jika digunakan untuk mengontrol senjata atau menggerakkan drone untuk tujuan perang.

“Begitu ada kesadaran, orang akan menjadi sangat takut, sebagaimana seharusnya. Senjata otonom adalah revolusi ketiga dalam peperangan, setelah bubuk mesiu dan senjata nuklir,” katanya.

Ancaman bagi negara

Berbeda dengan nuklir yang material dan teknologinya diawasi ketat oleh negara, drone konsumen diperdagangkan dengan bebas. Artinya, semua orang, termasuk aktor non-negara, separatis, dan teroris bisa membelinya dan memodifikasinya untuk membawa bahan peledak atau senjata.

Ash Rositter dari Institute of International and Civil Security, Khalifa University, Abu Dhabi, United Arab Emirates, dalam makalah berjudul “Drone usage by militant groups: exploring variation in adoption” mengatakan, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, kelompok militan dapat, misalnya, melengkapi drone jarak pendek atau menengah dengan bahan peledak kecil dan sensor pendeteksi panas untuk mencari dan menghancurkan apa pun. Memanfaatkan printer 3D, pemberontak bahkan mungkin tidak perlu membeli drone, tetapi dapat memproduksi lusinan perangkat murah setiap hari.

Dalam konteks Indonesia, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan juga menyoroti kompleksitas pertahanan Indonesia di masa yang akan datang. Prabowo secara khusus mengomentari penggunaan drone buatan Turki oleh Ukraina saat melawan Rusia.

Pada November 2022, seperti yang dimuat di berbagai media, Prabowo mengatakan, Ukraina memberikan pembelajaran kepada seluruh dunia bahwa drone memiliki kemampuan membawa rudal-rudal mematikan dan dapat melakukan serangan ke titik-titik pertahanan Rusia.

Prabowo juga mengungkapkan, TNI Angkatan Udara harus mampu menghadapi sistem perang udara yang terus mengalami perubahan seiring dengan cepatnya perkembangan dunia teknologi saat ini. Prabowo menyadari, pertahanan Indonesia di masa mendatang tak bisa lagi hanya mengandalkan senjata konvensional seperti pesawat tempur F-16, tetapi juga harus punya drone kamikaze.

Adapun terkait penggunaan drone oleh kelompok teroris di dalam negeri, kita belum pernah mendengar ada pejabat terkait di Indonesia yang menyampaikannya secara terbuka. Meski begitu, pengaturan wilayah zona terbang drone seperti diatur Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 47 Tahun 2016 merupakan hal positif untuk mencegah penyalahgunaan drone konsumen.

Potensi pencegahan

Tak ada teknologi yang sempurna. Drone Shahed-131 dan Shahed-136 yang digunakan Rusia untuk menyerang Ukraina tidak secanggih pesawat tempur. Dalam beberapa video yang beredar di YouTube, pasukan Ukraina beberapa kali berhasil menembak jatuh drone tersebut berbekal senjata AK-47.

Cara lain yang juga sudah awam dipakai di seluruh dunia adalah dengan mengacak (jamming) sinyal GPS sehingga drone akan jatuh dengan sendirinya. Namun, kedua cara tersebut terlihat kurang efektif ketika berhadapan dengan ratusan drone sekaligus.

Di Amerika Serikat, ancaman dari drone konsumen ini juga melahirkan perusahaan anti-done atau kontra-drone, seperti Anduril Industries yang didirikan Palmer Luckey, co-founder Oculus. Walaupun baru berdiri pada tahun 2017, Anduril sudah berhasil mengembangkan sistem anti-drone yang bisa dipakai Angkatan Udara Amerika Serikat, seperti terlihat di bawah ini.

Di Indonesia, selain mengatur zona terbang drone, pemerintah perlu memikirkan strategi untuk mengembangkan sistem pertahanan yang relevan dengan ancaman nyata saat ini.

Share
×
tekid
back to top