×
Kanal
    • partner tek.id realme
    • partner tek.id samsung
    • partner tek.id acer
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd
    • partner tek.id wd

Deregulasi TKDN dan industri kita

Oleh: Tek ID - Jumat, 11 April 2025 13:56

Kebijakan TKDN sukses memaksa raksasa smartphone membangun pabrik di Indonesia. Tapi tekanan tarif 32% dari AS bikin pemerintah berpikir ulang. Prabowo mulai longgarkan aturan. Apakah ini tanda melemahnya nasionalisme industri, atau langkah cerdas untuk hadapi geopolitik dagang?

Deregulasi TKDN: Ancaman atau Peluang untuk Industri?

Barangkali, sebagian besar dari Sahabat Tek sudah mengetahui: kebijakan TKDN mengharuskan produk tertentu mengandung persentase komponen lokal agar boleh dipasarkan di Indonesia​. Aturan ini lahir dari niat mendorong industrialisasi nasional – suatu upaya “nasionalisme ekonomi” untuk memastikan investasi manufaktur dan transfer teknologi masuk ke dalam negeri. Dalam sektor smartphone, TKDN telah memaksa para raksasa teknologi membuka pabrik atau lini perakitan di Indonesia, menciptakan lapangan kerja dan kapasitas produksi lokal yang tak kecil. Menurut Kementerian Perindustrian, produksi perangkat Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT) di Indonesia mencapai 49,42 juta unit pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan stabilitas dibandingkan tahun 2023, yang mencatat produksi sekitar 49 juta unit. Sebagai gambaran, pada tahun 2023, impor ponsel hanya 2,79 juta unit, itupun 85% di antaranya produk Apple yang belum diproduksi lokal.

 

Buah manis TKDN di sektor smartphone

Sejak diberlakukan satu dekade lalu, TKDN di perangkat Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT) telah mengubah lanskap industri elektronik Indonesia. Banyak merek global membangun fasilitas perakitan di Batam, Jawa Timur, dan Banten, demi memenuhi ambang TKDN yang ditetapkan pemerintah. Contohnya, Oppo rela investasi hingga USD30 juta untuk mendirikan pabrik perakitan di Tangerang pada 2015​.

Demikian pula, Samsung, Xiaomi, Vivo, hingga Huawei menggandeng manufaktur lokal untuk merakit smartphone mereka di Tanah Air. Hasilnya, porsi produksi dalam negeri melonjak pesat. Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa dari sekitar 52 juta ponsel terjual di 2023, 49 juta di antaranya dirakit di Indonesia​. TKDN awalnya ditetapkan 30%, lalu naik menjadi 35% sejak 2021​, dan belakangan mendekati 40% pada perangkat 4G/5G terbaru​. Angka ini cukup tinggi, sehingga memaksa pemain industri serius menanamkan modal. Kebijakan ini membawa buah manis bagi ekonomi lokal.

Pabrik-pabrik baru bermunculan, menyerap ribuan tenaga kerja, dan menumbuhkan rantai pasok komponen lokal, meski masih sederhana. Pemerintah mengklaim, TKDN berhasil menekan impor dan meningkatkan daya saing manufaktur. “Produksi ponsel di Indonesia pada 2023 mencapai 49 juta unit, sedangkan impornya hanya 2,79 juta,” ujar Menperin Agus, seraya menekankan keinginan agar brand seperti Apple ikut menggunakan lebih banyak komponen lokal melalui investasi​. 

Beberapa brand global memanfaatkan fleksibilitas aturan – misalnya, Apple sempat dihitung memenuhi TKDN melalui investasi di Apple Developer Academy untuk melatih programmer lokal, alih-alih membangun pabrik​. Namun, komitmen investasi itu sempat tidak dipenuhi Apple, sehingga pemerintah memblokir penjualan iPhone 16 series.

Sikap keras ini menunjukkan kepercayaan diri Indonesia: pasar kita besar, Apple butuh kita lebih dari sebaliknya. Langkah ini juga mendapat dukungan publik yang menginginkan nilai tambah dari kehadiran produk global, bukan sekadar jadi pasar. Tak lama kemudian, Google Pixel 8 pun kena blokir serupa karena tak memenuhi TKDN​. Indonesia seolah memberi pesan tegas: “Ikuti aturan main kami, atau produk Anda tak bisa masuk.”

 

Tarik-ulur: nasionalisme vs tarif Trump

Namun, kebijakan beraroma proteksionisme ini bukan tanpa biaya. Dari perspektif investor asing, TKDN kerap dianggap non-tariff barrier yang rumit. “Permintaan seperti ini sering lebih merupakan power play politik daripada keputusan bisnis murni,” kata Marco Förster, analis di Dezan Shira & Associates, seraya mengingatkan bahwa seringkali yang terjadi hanya “compliance dasar seperti perakitan minimal, tanpa benar-benar mendorong transfer teknologi berarti”​. Artinya, beberapa pabrik didirikan sekadar asal ada demi memenuhi regulasi, dengan komponen mayoritas tetap impor.

Meskipun TKDN dilindungi aturan WTO untuk negara berkembang, negara mitra dagang tetap melihatnya skeptis. Amerika Serikat, khususnya, menyoroti TKDN Indonesia sebagai hambatan akses pasar bagi produk teknologi mereka​. Ketegangan memuncak saat Presiden AS Donald Trump (yang kembali menjabat pada 2025) meluncurkan kebijakan tarif timbal balik (reciprocal tariff) terhadap negara-negara yang dianggap merugikan perdagangan AS. Indonesia termasuk di antaranya – bersama Vietnam, Thailand, dan negara Asia lain – yang dikenai tarif impor tambahan cukup tinggi. Barang asal Indonesia yang masuk AS dikenai tarif 32% mulai 9 April 2025​, meskipun belakangan Trump melunak dengan menunda pelaksanaan kebijakan itu selama 90 hari ke depan.

 

Langkah ini diklaim Trump sebagai upaya menekan defisit dan membalas praktik dagang tidak adil​. Di Asia Tenggara, Vietnam mendapat tarif tertinggi 46%, disusul Thailand 36%, dan Indonesia 32%​. Dalam dokumen resmi yang dirilis pemerintahan Trump, Kebijakan TKDN secara langsung dituliskan sebagai hambatan non-tarif. “Aturan TKDN ini… salah satu penyebab investasi di Indonesia stagnan, karena kalau mau jualan ya harus buka pabrik di sini. Persis apa yang dilakukan Trump sekarang,” ujar Shaanti Shamdasani, analis S.ASEAN Advocacy, membandingkan tekanan Indonesia terhadap investor dengan langkah Trump terhadap Indonesia​. Ironisnya, niat Indonesia memaksa manufaktur lokal dibalas AS dengan memaksa ekspor Indonesia keluar dari pasar mereka melalui tarif tinggi – sebuah tarik-ulur geopolitik yang tak terhindarkan. Dari sisi Indonesia, tarif 32% ini jelas mengancam industri lokal yang bergantung ekspor ke AS. Sektor tekstil, alas kaki, furnitur, hingga hasil bumi seperti kelapa sawit terpukul karena produk mereka menjadi kurang kompetitif di pasar Amerika​. Walaupun, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 10 persen dari total ekspor.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong pemerintah melakukan lobi diplomatik dan negosiasi bilateral dengan AS demi mencari solusi yang lebih adil, sembari diversifikasi pasar ekspor ke negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada AS​. Apindo juga mengusulkan pemberian insentif bagi industri domestik agar lebih kompetitif, serta memastikan stabilitas ekonomi makro, misalnya melalui intervensi BI menjaga rupiah guna menghadapi gejolak​. Apindo khawatir, gelombang PHK menjadi kekhawatiran nyata jika pesanan ekspor mendadak surut akibat tarif tinggi​. 

Pemerintah merespons cepat. Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan tim ekonomi dan ratusan asosiasi pengusaha dalam rapat koordinasi khusus awal April 2025. Alih-alih balas menerapkan tarif serupa (retaliasi), Indonesia dan negara ASEAN sepakat menempuh jalur diplomasi. Indonesia bahkan mengusulkan pembaruan perjanjian dagang (TIFA) yang sudah usang sebagai jalan tengah​. 

 

Deregulasi TKDN

Tarif Trump yang tak bisa dipahami oleh komunitas ilmuwan ekonomi, nyatanya telah memaksa seluruh negara untuk mengevaluasi kebijakan dalam negerinya. Presiden Prabowo, yang dikenal nasionalis, justru mulai menggaungkan fleksibilitas. Dalam sarasehan ekonomi, 8 April 2025, ia blak-blakan menyebut aturan TKDN perlu diubah.

“Kita harus realistis, [kalau] TKDN dipaksakan, ini akhirnya kita kalah kompetitif. Saya sangat setuju, TKDN fleksibel saja, mungkin diganti dengan insentif,” tuturnya di hadapan pelaku industri​. 

Pernyataan itu menandai perubahan pendekatan: dari pendekatan wajib (stick) menuju pendekatan insentif (carrot). Prabowo mengaku sudah menginstruksikan Menko Airlangga untuk segera merevisi aturan TKDN agar lebih realistis​.

Ia menegaskan niat awal TKDN memang baik untuk nasionalisme – “kalau jantung saya dibuka yang keluar Merah Putih,” selorohnya – namun ia sadar kebijakan tidak bisa berdiri di atas kemampuan industri yang belum siap​. 

“Konten dalam negeri itu masalah luas – pendidikan, Iptek… nggak bisa kita cuma dengan regulasi bikin TKDN naik,” tandas Prabowo, mengakui bahwa membangun ekosistem membutuhkan lebih dari sekadar angka aturan​. 

Instruksi Presiden ini kemudian diterjemahkan dalam langkah negosiasi konkrit. Pemerintah membuka opsi relaksasi TKDN khususnya di sektor ICT sebagai bagian dari tawaran ke AS untuk meredakan tarif. Wakil Menperin Faisol Riza mengonfirmasi bahwa pelonggaran syarat TKDN tengah dikaji, meski belum bisa diumumkan sebelum ada kesepakatan dengan pihak AS​. 

Dalam situasi genting ini, TKDN menjadi alat tawar dalam diplomasi dagang: sedikit pelonggaran di sini diharapkan berbuah pengurangan tarif di sana. Di lapangan, sinyal deregulasi ini menuai pro dan kontra. Pelaku industri elektronika dalam negeri cenderung khawatir. Daniel Suhardiman, Sekjen Gabungan Pengusaha Elektronik (GABEL), menilai semestinya TKDN diperkuat dan diperluas ke lebih banyak kategori produk elektronik, bukan dilonggarkan​. Ia berpendapat aturan TKDN yang konsisten justru memberi kepastian investasi. “Sebaiknya penerapan TKDN… diperluas dengan TKDN sektoral di mana setiap peralatan elektronik punya kebijakan tersendiri,” ujarnya. 

Bagi GABEL, melonggarkan TKDN dikhawatirkan mengurangi utilitas pabrik lokal yang sudah dibangun. Investor bisa ragu menambah investasi jika regulasi dianggap berubah-ubah. “Dilonggarkannya aturan TKDN bisa berdampak kurang baik… ketidakpastian regulasi ini akan membuat keraguan dan pengalihan investasi sektor elektronik ke luar Indonesia,” kata Daniel​.

Ia juga mengingatkan potensi berkurangnya penggunaan produk lokal dalam belanja pemerintah jika syarat TKDN melemah, yang artinya produsen dalam negeri bisa kehilangan pasar penting B2G (business-to-government)​. Dengan kata lain, kubu ini meminta pemerintah berpikir panjang – jangan sampai gara-gara tekanan sesaat, agenda industrialisasi jangka panjang dikorbankan. Di sisi lain, pelaku industri yang selama ini ‘terpaksa’ memenuhi TKDN justru menyambut positif rencana relaksasi – meski dengan catatan. Asus Indonesia, misalnya, menyebut jika kewajiban TKDN 40% dihapus, proses produksi mereka tentu lebih mudah. “Kalau memang tidak diperlukan lagi TKDN, atau tidak perlu 40%, tentunya akan memudahkan kita dari sisi produksi, karena cukup mengimpor saja secara utuh,” kata Muhammad Firman, Head of PR Asus Indonesia​. Pernyataan jujur ini menggambarkan beban ekstra yang selama ini ditanggung produsen: harus bongkar pasang komponen di Indonesia alih-alih impor utuh. Namun Firman pun mengakui, kemudahan itu ada harganya bagi ekosistem nasional. “Kami melihat [relaksasi TKDN] cenderung kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekosistem industri teknologi di Indonesia ke depannya,” ujarnya​.

Meski dari kacamata bisnis jangka pendek relaksasi menguntungkan (lebih efisien bagi perusahaan, produk bisa lebih cepat dipasarkan), dalam jangka panjang bisa membuat target pembangunan industri lokal tersendat. Hal senada diungkapkan sejumlah ekonom yang mengingatkan agar pemerintah mencari jalan tengah – fleksibel tapi tetap ada arah strategis. Misalnya, merelaksasi bentuk pemenuhan TKDN (tidak melulu pabrik fisik, bisa R&D atau investasi lain) tanpa menghilangkan tujuan akhir pembangunan kapasitas dalam negeri.

 

Jalan tengah untuk industri kita

Tarik-ulur antara dorongan nasionalisme ekonomi dan realitas geopolitik global ini ibarat ujian kedewasaan bagi Indonesia. Di satu sisi, TKDN sukses mendorong investasi manufaktur – terbukti pabrik smartphone dari berbagai merek berdiri dan produksi lokal melonjak. Ini berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja dan sedikit banyak alih keterampilan. Konsumen Indonesia juga kini menikmati produk global yang dibuat di dalam negeri, bahkan beberapa ponsel “Made in Indonesia” sudah diekspor ke mancanegara. Contohnya, Samsung Indonesia mengekspor ~23% hasil produksinya ke Asia Tenggara​. Di sisi lain, terlalu kaku menerapkan TKDN berisiko membuat Indonesia diprotes mitra dagangnya, seperti dilakukan Trump saat ini.

Ke depan, tantangannya adalah merumuskan ulang TKDN tanpa melepas tujuan strategisnya. Opsi deregulasi bukan berarti menghapus kandungan lokal sama sekali, melainkan membuatnya lebih adaptif. Prabowo mengisyaratkan pendekatan insentif: misalnya, memberikan tax holiday atau kemudahan lain bagi perusahaan yang membangun pabrik atau pusat R&D di Indonesia, alih-alih melarang produk mereka jika tidak produksi lokal. 

Intinya, tetap mendorong industrialisasi, tapi dengan carrot bukan stick. Pemerintah bisa menetapkan target kandungan lokal jangka panjang yang realistis, sembari memperkuat ekosistem pendukung (pendidikan vokasi, alih teknologi, industri komponen). Dengan demikian, ketika kelak TKDN meningkat lagi, industri dalam negeri memang sudah siap menyerap. Menurut kami, pemerintah kemungkinan mengambil jalan tengah – merelaksasi beberapa sektor agar investor asing (dan mitra dagang seperti AS) puas, namun tetap mensyaratkan komitmen investasi nyata. 

Tarik-ulur ini belum usai, tetapi dialog yang terjadi belakangan menunjukkan kedewasaan: semua pihak sepakat tujuan akhirnya adalah memajukan industri kita. Baik melalui aturan tegas maupun insentif cerdas, yang terpenting Indonesia tidak hanya jadi penonton dalam rantai pasok global, melainkan pemain yang dihormati. Deregulasi TKDN yang dibicarakan saat ini semoga bukan berarti menyerah, melainkan menggeser taktik: dari proteksi frontal menuju kolaborasi strategis demi kebaikan industri kita jangka panjang.

×
back to top