Tok...tok...tok, ada Huawei & Ericsson di balik euforia 5G di Indonesia
Buat apa kita buru-buru menggelar 5G? Salah satunya karena Huawei dan Ericsson sudah mengetuk pintu, tak sabar ingin masuk.
Ini adalah bagian kedua dari laporan akhir tahun tek.id mengenai 5G di Indonesia. Anda bisa membaca bagian perdana di sini.
Kita akan menyongsong era generasi baru teknologi telekomunikasi, yakni 5G. Teknologi ini digadang-gadang akan memiliki latensi yang sangat minim. Semakin sedikit waktu latensi, maka semakin baik respons kecepatannya.
5G menjanjikan waktu latensi hingga 1 ms (milidetik). Sebagai perbandingan, jaringan seluler 4G memiliki latensi sekitar 20 ms. Waktu respons yang sangat cepat dari 5G ini memungkinkan kita untuk bermain gim VR dengan sangat lancar, sehingga meminimalisir gangguan motion sickness (mual). Selain itu, perangkat VR yang berbasis 5G juga pernah membantu seorang dokter di San Francisco, misalnya, melakukan operasi bedah dari jarak jauh.
Saat ini, 5G belum tersebar luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, belum ada informasi lebih lanjut seputar persaingan bisnis antar-vendor penyedia perangkat jaringan 5G. Meski demikian, sudah terlihat vendor network mana saja yang bakal menawarkan teknologi 5G ke beragam operator di Indonesia. Empat di antaranya adalah Huawei, Ericsson, Nokia, dan ZTE.
Sebagai informasi, di kancah Global, pemegang pangsa pasar bisnis 4G pada 2018 adalah Huawei, Nokia, Ericsson, Cisco, ZTE, Ciena dan Samsung. Perusahaan riset Delloro melaporkan, pangsa pasar gabungan tujuh perusahaan ini menyumbang sekitar 80 persen untuk pasar peralatan penyedia layanan 4G di seluruh dunia.
Dalam laporan yang dirilis pertengahan tahun ini, IHS Markit, sebuah perusahaan riset yang berbasis di London menyebut bahwa pada 2018, Huawei berhasil memimpin pasar infrastruktur jaringan di dunia. Dalam data itu, Huawei menguasai 31% pangsa pasar di dunia. Ini sudah termasuk infrastruktur 4G, 3G dan 2G. Posisinya diikuti Ericsson sebesar 27% dan Nokia sebesar 22%.
Indonesia memang masih membutuhkan waktu untuk siap menggunakan 5G. Beberapa tantangan harus segera diatasi, misalnya pengelolaan spektrum, infrastruktur, hingga regulasi yang akan mengatur penggunaan sumber daya tersebut. Meski begitu, aroma kompetisi untuk menyediakan 5G di Tanah Air sudah kian kentara.
Beberapa vendor yang sebelumnya sudah melayani operator jaringan di Indonesia tampak sudah mempersiapkan diri untuk ekspansi ke Tanah Air. Kalau mau dirinci, setidaknya ada Huawei, Nokia, Ericsson dan ZTE yang siap menyediakan solusi 5G di Indonesia.
Memang, sampai saat ini, belum ada perhitungan pangsa pasar yang jelas soal layanan 5G di Indonesia. Toh, kehadirannya juga diprediksi oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) baru akan terjadi tahun 2022. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi sebelum akhirnya 5G bisa digunakan di Indonesia.
Namun, operator telekomunikasi seluler sudah mulai menjalin kerja sama dengan para vendor network, setidaknya untuk melakukan uji coba 5G di Indonesia. Telkomsel, misalnya, sampai saat ini, sudah melakukan beberapa kali uji coba. Uji coba terakhir dilakukan di Batam pada November 2019, bersama Ericsson. Di sana, mereka menampilkan beberapa use case, seperti Smart Air Patrol, Immersive Collaboration, Smart Surveillance, bahkan sampai ke seamless gaming.
Begitu pula dengan XL Axiata. Mereka juga sudah menggelar beberapa kali uji coba dengan berbagai use case, bahkan menggunakan hologram untuk berkomunikasi. Lagi-lagi, Huawei dan Ericsson digandeng sebagai mitra.
Lain halnya dengan Nokia. Vendor satu ini tampaknya belum terlalu terbuka dengan siapa mereka melakukan uji coba 5G di Indonesia. Namun, dari hasil penelusuran kami, vendor ini sudah menggelar uji coba bersama Tri. Meski begitu, Tri juga menggandeng Huawei dalam uji coba tersebut.
Sementara, ZTE kabarnya menggelar uji coba dengan Smartfren. Uji cobanya dilakukan pada Agustus 2019, di sebuah pabrik pengolahan kelapa sawit di kawasan Marunda, Bekasi. Ada indikasi bahwa uji coba ini ingin menyasar sektor industri manufaktur.
Lantas, bagaimana dengan pangsa pasarnya? Memang belum terlihat. Beberapa operator di Indonesia sendiri masih belum memutuskan dengan siapa mereka akan berlabuh untuk menyediakan solusi 5G di Tanah Air.
Dari peta kerja sama di atas, terlihat bahwa Huawei merangkul sebagian besar operator telekomunikasi di Indonesia. Kemudian, disusul secara berturut-turut oleh Ericsson, Nokia, dan ZTE. Sejauh ini, hanya empat vendor yang tercatat bekerjasama dengan operator telekomunikasi Indonesia untuk menyediakan solusi 5G.
Bicara soal potensi pertumbuhan konsumen seluler di Indonesia, riset GSMA tahun 2019 mengenai Mobile Economy di Asia Pasifik menyebut, koneksi seluler di Tanah Air mulai didominasi oleh 4G, tepatnya sebesar 44%. Persentasenya diprediksi akan meningkat hingga 79% pada 2025 mendatang. Nah, di tahun itu juga, penggunaan jaringan 5G diprediksi akan berada di angka 6% dari seluruh koneksi seluler di Tanah Air.
Dalam paparannya selama acara "Cellular Telco Outlook 2020", Arief Mustain, Board Member ATSI menyebut, setiap tahun, trafik data terus tumbuh secara signifikan dan rata-rata industri berkisar di angka 87%. Ini berdasarkan laporan tahunan Telkomsel, XL dan Indosat.
Namun, jika melihat coverage uji coba yang dilakukan, Huawei dan Ericsson tampaknya akan mendominasi ketersediaan 5G untuk operator Indonesia. Hal ini sejalan dengan prediksi Strategy Analytics, seperti sudah dijelaskan di atas. Setidaknya, selama masa uji coba 5G di Indonesia, kedua vendor ini masing-masing sudah melayani tiga operator telekomunikasi di Indonesia.
Siapa yang memenangkan kompetisi 5G ini?
Hingga sekarang, tentu belum ada pemenang di pasar penyedia jaringan. Ibarat sebuah lomba, masing-masing vendor saling menyediakan solusi 5G mereka. Di sejumlah negara, vendor-vendor itu pun sudah menjalankan solusi 5G mereka. Sampai saat ini, kesimpulan dari hasil perlombaan itu belum juga keluar. Huawei dan Ericsson tampaknya akan mendominasi pangsa pasar peralatan 5G di Indonesia.
Setelah menjadi pemimpin sebagai penyedia peralatan 4G global, Strategy Analytics memprediksi, Huawei akan tetap menjadi pemimpin pangsa pasar 5G yang dilayani peralatan 5G RAN di tahun 2023. Perusahaan ini mendapat manfaat dari skala besar 5G awal di negaranya sendiri (Tiongkok) dan investasi tetap dalam penelitian dan pengembangan (R&D).
Telecomlead, perusahaan analisis pasar, memberitakan, baru-baru ini, Huawei telah memenangkan 45 kontrak jaringan dari operator seluler untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur 5G. Nokia yang berbasis di Finlandia telah menandatangani 30 kontrak jaringan 5G dari penyedia layanan seluler. Sementara Ericsson yang berbasis di Swedia memiliki 18 kontrak 5G.
Telecomlead, mencatat bahwa saat ini, ada 211 operator telekomunikasi melakukan investasi jaringan 5G di 57 negara untuk meningkatkan aliran pendapatan dan pengalaman pelanggan mereka. Ericsson dan Nokia -vendor 5G RAN terkemuka lainnya- akan menjadi saingan terdekat bagi Huawei. Samsung dan ZTE akan memperluas kehadirannya saat persaingan memanas. Samsung mengklaim mereka adalah pemasok jaringan 5G nomor 1 di Korea Selatan.
Huawei akan memimpin pasar peralatan 5G RAN meskipun menghadapi perkembangan yang menantang di pasar AS. Pada 2023, 5G akan mencapai skala ekonomis yang akan menurunkan biaya per GB demi menjadikan 5G teknologi yang terjangkau. Adopsi jaringan 5G di pasar Tiongkok mula-mula akan menurunkan biaya lebih cepat.
Perusahaan seperti Huawei, Ericsson dan Nokia masing-masing akan melayani antara 25 persen dan 22 persen pelanggan 5G global pada peralatan RAN mereka. Sementara Samsung dan ZTE serta beberapa pemain OpenRAN yang baru muncul akan berbagi hampir 30 persen pelanggan global 5G.
Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa Huawei dan Ericsson menjadi dua pemain besar infrastruktur 5G di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah operator yang menggandeng mereka ketika masa uji coba berlangsung. Walaupun tidak bisa dijadikan patokan, mari lihat sedikit bagaimana jumlah pelanggan dari masing-masing operator yang bekerja sama dengan para vendor tersebut.
Perlu diketahui bahwa hingga kuartal ketiga tahun ini, Telkomsel mencatat jumlah pengguna sebanyak 170,9 juta pelanggan. Di sisi lain, XL Axiata menyebut bahwa di kuartal III tahun ini, pihaknya sudah melayani sebanyak 55,5 juta pelanggan di Indonesia. Sementara Indosat mampu mengumpulkan sebanyak 58,7 juta pelanggan di Indonesia
Dua operator lainnya, yakni Tri dan Smartfren masing-masing mengklaim sudah memiliki sebanyak 40 juta pelanggan untuk Tri dan 21 juta pelanggan untuk Smartfren hingga kuartal III 2019.
Besarnya pangsa pasar ini, sedikit banyak akan memberikan gambaran bagaimana pangsa pasar yang akan diperoleh masing-masing vendor penyedia layanan 5G. Tidak dapat dimungkiri bahwa dengan banyaknya jumlah pelanggan, koneksi yang terjadi juga akan semakin banyak. Untuk mengelola koneksi tersebut, mau tidak mau, dibutuhkan peralatan telekomunikasi, yang mana berasal dari para vendor penyedia layanan 5G.
Kata Ericsson soal 5G di Indonesia
Tak hanya di kancah global, eksistensi Ericsson di Indonesia pun tak bisa dipandang sebelah mata. Perusahaan asal Swedia ini bekerjasama dengan beberapa operator ternama di Indonesia, seperti Telkomsel dan XL Axiata. Begitu pula saat Indonesia mempersiapkan ekosistem 5G, Ericsson ikut andil baik saat uji coba dengan operator maupun dengan regulator.
Bagi Ericsson, 5G akan menjadi landasan bagi Indonesia untuk mewujudkan misi "Making Indonesia 4.0". Terkait infrastrukturnya, Ericsson menilai, jaringan 5G akan lebih baik ketika dikombinasikan dalam beberapa layer frekuensi. Terlebih, untuk implementasi 5G tahap awal di Indonesia, frekuensi mid-band atau layer menengah (2,6 GHz dan 3,5 GHz) terbilang sangat penting guna mendapatkan kapasitas tinggi dengan cakupan yang cukup besar.
Hal ini senada dengan frekuensi di beberapa layer yang dicanangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Ericsson sesumbar sebagai satu-satunya penyedia layanan 5G yang telah menguji coba jaringan 5G di berbagai layer. Seperti disebutkan sebelumnya, di Indonesia Ericsson melakukan pengujian jaringan 5G bersama XL Axiata dan Telkomsel di beberapa frekuensi yang berbeda, baik di tahun ini maupun tahun lalu.
Banyak pihak menyebutkan, implementasi 5G di Indonesia untuk tahap awal, lebih tepat untuk kepentingan Business to Business (B2B). Selain dari sisi kebutuhan, jaringan 4G pun hingga saat ini masih bisa diandalkan konsumen atau pelanggan end user. Namun, bagi Ericsson, implementasi 5G untuk end user-pun tak ada salahnya. Perusahaan mencontohkan, penerapan jaringan 5G untuk konsumen yang dilakukan operator di Tiongkok, beberapa waktu lalu. Dengan penerapan tersebut, diprediksi jumlah pelanggan layanan 5G di perangkat mobile hingga akhir tahun ini akan mencapai 13 juta orang, mayoritas merupakan pelanggan dari Tiongkok.
Meski jadwalnya belum tersusun rapi, Ericsson menyebutkan, pelanggan di Indonesia bisa menikmati jaringan tersebut setidaknya dua tahun lagi atau sekitar tahun 2021.
“Semakin cepat Indonesia bisa meluncurkan 5G, akan semakin baik untuk industri dan masyarakat. 5G akan sangat mendukung visi Industry 4.0 dan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia,” kata Ronni Nurmal, Head of Network Solutions Ericsson Indonesia.
Seiring berkembangnya jaringan 5G, Internet of Things (IoT) akan semakin marak, termasuk di Indonesia. Dengan demikian, akan semakin banyak perangkat terhubung dan menggunakan jaringan tersebut. Lantas, bagaimana Ericsson mengatasinya?
Berdasarkan karakteristik teknologinya, 5G akan menyediakan kapasitas yang jauh lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya. Di jaringan 5G juga akan ada segmentasi prioritas Quality of Service (QoS) untuk layanan yang berbeda.
“5G akan ada segmentasi prioritas Quality of Service (QoS) jaringan untuk service/aplikasi layanan yang berbeda-beda di network juga terstandardisasi dan akan bekerja. Fungsi “Network Slicing” di jaringan akan menangani hal ini (kepadatan),” ujarnya.
Terkait keamanannya, Ericsson telah memasang sistem keamanan pada produknya. Mengacu 3GPP, portofolio solusi keamanan end-to-end Ericsson didasarkan pada prinsip keamanan jaringan yang dikembangkan dan diatur oleh Ericsson Security Reliability Model. Model ini disebut mampu menghasilkan portofolio yang sangat aman, mudah diintegrasikan dan siap mengantisipasi ancaman yang mengancam jaringan.
“Dengan 5G, fitur keamanan tidak perlu ditambahkan lagi, namun sudah terpasang sejak awal sebagai bagian dari proses standardisasi,” kata Ronni.
Hal ini juga menjadikan jaringan 5G sebagai generasi jaringan yang paling aman dibanding generasi jaringan yang sudah ada sebelumnya. Oleh karenanya, 5G dinilai layak untuk dijadikan sebagai infrastruktur penting dalam memfasilitasi digitalisasi, otomatisasi dan konektivitas bagi mesin, robot, solusi transportasi, dan lainnya.
“Dengan terhubungnya miliaran perangkat dan aplikasi jenis baru, jaringan yang ada harus lebih fleksibel, aman, dan mampu melindungi hak akan keamanan setiap orang,” ujarnya.
Bagaimana dengan Huawei
Setali tiga uang, Huawei pun demikian. Huawei sudah menggelar uji coba 5G bersama dengan Telkomsel, XL Axiata dan Tri. Huawei bahkan menyebut, Indonesia memiliki segala yang baik untuk menjadi sebuah negara dengan ekonomi digital yang kuat. Hal ini mengacu pada jumlah populasi di Indonesia dan talenta muda sebagai developer yang semakin menjamur di negeri ini. Munculnya 5 unicorn juga menjadi sorotan penting bagi Huawei.
Vaness Yew, CTO Huawei mengungkapkan, Indonesia, sampai saat ini, masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan kehadiran 5G. Dia memprediksi, hal itu akan terjadi setidaknya dalam satu atau dua tahun ke depan. Itu pun kalau sejumlah tantangan yang membayangi 5G sudah dibereskan terlebih dahulu.
Huawei menyebutkan, ada dua arah yang disasar perusahaan asal Tiongkok ini, yakni kebutuhan home broadband, termasuk juga sektor pendidikan dan dukungan untuk Industri 4.0. Perusahaan itu tidak menampik kemungkinan tersedianya dukungan untuk end user di masa depan. Syaratnya, smartphone 5G sudah marak di Indonesia.
Soal kompetisi, terutama di Indonesia, CTO Huawei, Vaness Yew mengungkapkan, pihaknya berharap semua pemilik kepentingan untuk penyelenggaraan 5G dapat saling bekerja sama. Hal ini mutlak diperlukan dalam masa inisiasi 5G di Indonesia. Dia sendiri memandang kolaborasi lebih penting ketimbang kompetisi dalam hal ini.
“Untuk 5G, kami semua [vendor] adalah kompetitor. Kami adalah bagian dari ekosistem yang sudah ada sejak lama…. . Saya berharap semua yang memiliki kepentingan, siapa pun yang terkait dengan teknologi itu, harus bekerja sama. Saya harap, kolaborasi lebih penting dari kompetisi selama masa awal ini,” ungkap Vaness Yew, CTO Huawei.
Dalam kesempatan yang sama, Yew bahkan menambahkan, kompetisi akan menghadirkan warna lebih banyak dalam solusi 5G di Indonesia. Pada akhirnya, pasar yang akan diuntungkan dengan kompetisi antar-vendor tersebut.
Saya harap, kolaborasi lebih penting dari kompetisi selama masa awal ini,” ungkap Vaness Yew, CTO Huawei.
Sebagaimana diketahui, teknologi fiber optik merupakan hal fundamental agar 5G bisa digunakan. Setidaknya, untuk stasiun dasar, operator membutuhkan fiber agar 5G dapat digunakan. Frekuensi tinggi (mmWave) cenderung mahal dan memiliki coverage area yang lebih kecil. Frekuensi ini, menurut Huawei akan melayani super household dan pengguna high end saja. Sementara untuk pasar low end, dibutuhkan frekuensi yang lebih rendah. Huawei mengatakan, 90 persen negara di dunia masih memilih mid band sebagai frekuensi populer mereka.
Potensi market share setiap vendor
Tentu saja, kita belum bisa melihat market share vendor pemasok jaringan 5G di Indonesia, namun tidak ada salahnya kalau kita melihatnya melalui jumlah BTS yang dimiliki masing-masing operator yang bekerja sama dengan vendor-vendor tersebut. Potensi pangsa pasar vendor peralatan 5G berdasarkan hasil uji coba bersama operator seluler dan potensi jumlah BTS yang dimiliki operator terlihat seperti ini.
Tentu saja, potensi ini hanya berdasarkan hitungan kasar saja. Sebenarnya, masih ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut, misalnya berapa bagian masing-masing vendor ini akan menyuplai setiap operator di Indonesia. Karena itulah, kami katakan, pangsa pasar 5G para vendor ini masih abu-abu. Apalagi, setiap operator telekomunikasi masih mempertimbangkan kerja sama 5G dengan masing-masing vendor tersebut.