Isu bisnis culas App Store, menanti ujung drama Telkom Netflix
Spotify secara resmi menggugat Apple dengan tuduhan monopoli di pengadilan Uni Eropa. Praktik seenak udel Apple dianggap sudah keterlaluan.
Sepekan jelang Worldwide Developers Conference (WWDC), Apple merilis halaman baru di situs-nya untuk menjelaskan bagaimana mereka mengelola App Store. Ini bukan kebetulan belaka. Apple sedang menghadapi tuduhan serius: Spotify menuntut mereka ke pengadilan Uni Eropa atas dugaan monopoli dan persaingan usaha tak sehat di App Store. Kasus monopoli tak bisa dianggap enteng karena efek putusannya bisa mempengaruhi seluruh lini bisnis perusahaan, sebagaimana dialami Qualcomm.
Sebagai informasi bagi Anda yang tak mengikuti, kronologi kasus ini sebenarnya cukup panjang, lengkap dengan eker-ekeran antara Spotify dan Apple di media massa. Oleh karena itu, Spotify pun membuat halaman khusus untuk menjelaskannya. Kejengkelan Spotify terutama atas kebijakan pajak 30 persen atas tiap transaksi in-app purchase melalui App Store. Ini artinya, Spotify harus menaikkan harga paket Premium yang sudah dipatok USD9.99 per bulan. Menaikkan harga bukan opsi baik karena akan membuat Spotify lebih mahal ketimbang kompetitornya, salah satunya Apple Music.
Spotify sebenarnya sempat mencoba opsi lain, yakni mengarahkan pengguna untuk transaksi di luar App Store dengan menyertakan tautan tambahan. Sayangnya, upaya itu gagal karena Apple, kata Spotify, terus-menerus mempersulitnya dengan mengubah-ubah panduan aplikasi. Walhasil, pembaruan aplikasi Spotify pun berkali-kali ditolak Apple dengan beragam alasan.
"Apple telah bertindak sebagai wasit sekaligus pemain di dunia audio stream. Mereka menggunakan kekuasaan ini untuk mendapatkan keuntungan culas. Hal itu membahayakan penggemar seperti Anda dan perusahaan seperti kami," demikian penjelasan Spotify.
Selain itu, Spotify juga menyoroti tindakan Apple yang mengunci akses Siri, HomePod, dan Apple Watch bagi Spotify dan kompetitor lainnya.
Apple sendiri sudah menerbitkan klarifikasi dan bantahan atas semua tuduhan Spotify. Ihwal pajak 30 persen, Apple menjelaskan bahwa itu hanya berlaku untuk setahun pertama, kemudian turun menjadi 15 persen pada tahun kedua. Mereka malah berbalik menuduh Spotify cuma ingin mengambil untung dari App Store tanpa berkontribusi apa-apa terhadap marketplace tersebut. Bahkan, Apple pun mengkritik minimnya kontribusi Spotify bagi artis, musisi, dan pencipta lagu.
Kembali ke penjelasan Apple mengenai kebijakan pengelolaan App Store, setidaknya terdapat 3 poin menarik untuk dicermati. Pertama, sekuriti, seperti cuplikan di bawah ini.
"Tetapi kami juga mengambil langkah-langkah untuk memastikan aplikasi menghormati pengguna dengan pendapat berbeda, dan menolak aplikasi untuk konten atau perilaku apa pun yang kami yakini melampaui batas - terutama ketika itu membuat anak-anak dalam bahaya. Misalnya, kami sangat melarang aplikasi apa pun yang menampilkan materi pornografi, referensi diskriminatif, penyiksaan dan pelecehan, atau apa pun dengan selera yang sangat buruk."
Terkait tuduhan monopoli, walau tak membantah secara jelas, Apple memberi penjelasan yang cukup menarik. Kata mereka:
"Saat ini, pengembang memiliki banyak pilihan untuk mendistribusikan aplikasi mereka - dari toko aplikasi lain ke TV pintar hingga konsol game. Belum lagi Internet terbuka, yang didukung Apple dengan Safari, dan pelanggan kami secara teratur menggunakan aplikasi web seperti Instagram dan Netflix."
Penjelasan ini tentu benar, walaupun kita tahu, pengalaman menggunakan aplikasi Instagram tak sama dengan membuka Instagram versi web.
Nah, poin berikutnya mengenai Free Apps.
"84% dari aplikasi adalah gratis, dan pengembang tidak membayar apa pun kepada Apple. Seperti pasar yang adil, pengembang memutuskan apa yang ingin mereka kenakan biaya dari serangkaian tingkatan harga. Kami hanya mengumpulkan komisi dari pengembang ketika barang atau layanan digital dikirimkan melalui aplikasi."
Informasi ini sebetulnya kurang lengkap karena untuk mendistribusikan aplikasi via App Store, pengembang harus memiliki akun dan membayar iuran USD99 per tahun. Pengamat industri teknologi, Ben Thompson mengatakan, biaya 30 persen yang diterapkan Apple sama harkatnya dengan yang dilakukan Qualcomm. Kita tahu, alih-alih membebankan biaya per chipset, Qualcomm mengharuskan vendor ponsel membayar lisensi paten yang ada dalam chipset tersebut, sehingga mereka bisa mendapat lebih banyak uang.
Apakah Apple mempraktikkan anti-kompetisi?
Well, kalau kita lihat halaman khusus App Store tersebut, tentu jawabannya adalah tidak. Ada banyak sekali aplikasi tandingan untuk semua aplikasi resmi Apple. Tetapi, selaku pemilik platform, Apple tak bisa dibilang bertanding dengan sangat adil dengan semua kompetitornya. Sebab, semua aplikasi buatan Apple otomatis menjadi aplikasi default perangkatnya, dan Anda tak bisa mengubahnya.
Sampai pada titik ini, kita belum bisa menyimpulkan pihak mana yang salah karena harus menunggu putusan resmi pengadilan Uni Eropa. Perseteruan ini menarik diikuti karena mengingatkan saya pada blokir Netflix oleh Telkom group di Indonesia.
Jika dilihat sekilas, sikap Telkom mirip dengan Apple, walaupun kadarnya jauh lebih parah. Jika Apple masih mengizinkan bahkan berjasa membesarkan Spotify, Telkom sama sekali tak memberi kesempatan untuk Netflix. Mereka justru bersemangat menggandeng flix flix (Hooq dan iFlix) yang lain yang ditawarkan dengan paket datanya. Salah satu alasan Telkom adalah Netflix belum memenuhi regulasi yang berlaku di Indonesia. Telkom mengklaim pemblokiran itu merupakan dukungan terhadap pemerintah yang meminta penyedia jasa konten Internet untuk memberi kepastian layanan.
Tindakan ini juga mendapat dukungan lisan dari Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
"Telkom blokir Netflix ya tidak apa-apa. Itu judgement bisnis mereka. Yang saya kaget justru seolah-olah mereka disalahin. Kita harus fair. Saya dukung Telkom, tapi pada saat bersamaan kita sedang siapkan regulasinya," kata Rudiantara, seperti dikutip dari detik.
Seperti kata Spotify, Telko bertindak sebagai wasit sekaligus pemain bisnis konten video streaming. Pemblokiran itu, seperti kata Rudiantara di atas, tidak berdasarkan regulasi yang jelas. Regulasi apa yang disiapkan?
Apalagi, di saat yang sama, semua operator lain justru bersemangat memasarkan paket data untuk menonton Netflix. XL bahkan memasarkan Netflix hingga pengguna layanan fix broadband-nya.
Sampai dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengeluarkan putusan, kita tak bisa menyalahkan Telkom. Namun yang jelas, sampai batas tertentu, pelangganlah yang dirugikan atas kebijakan itu.