Kiprah operator di 2018, gagap transformasi digital
Kehadiran penyedia konten layanan internet, Over The Top (OTT), ini menyusutkan pendapatan utama operator telekomunikasi.
Seperti perusahaan tambang, perusahaan operator telekomunikasi sudah tidak sedigaya dahulu lagi. Mereka kini harus bersaing dengan perusahaan digital raksasa yang dikenal dengan layanan Over The Top (OTT). Perilaku konsumen berubah. Era layanan panggilan suara dan SMS sudah akan berlalu.
Mudah saja melihat fenomenanya: pengguna tidak lagi berlangganan Ring Back Tone (RBT), tapi mengkonsumsi layanan musik streaming, seperti Spotify. Konsumen tak lagi memesan taksi dengan menelepon operator, cukup dengan membuka aplikasi di smartphone. Bahkan, berhubungan dengan driver pun dilakukan lewat fitur chatting dalam aplikasi.
Kehadiran penyedia konten layanan internet, Over The Top (OTT), ini menyusutkan pendapatan utama operator telekomunikasi. Mereka pun jadi penyedia layanan data internet, sementara investasi pembelian pita frekuensi dan pembangunan BTS tidak murah.
Ada dua cara operator bertahan: menggandeng OTT atau membuat tandingan sepadan. Opsi kedua memang cukup sulit. Selain harus menggelontorkan investasi, balik modalnya juga lama atau berujung rugi. Butuh strategi khusus untuk bersaing dengan OTT global, seperti Youtube, Netflix, Facebook, Tencent, Lazada, dan lain-lain.
Riset Frost & Sullivan (F&S) menunjukkan, ada tiga hal yang bisa dilakukan operator telekomunikasi di era digital agar mampu bertahan, yaitu Cloud Computing, Digital Financial Service, dan eCommerce. Ketiganya dinilai akan meningkatkan produktivitas perusahaan di banyak sektor. Selain tiga hal tersebut, F&S juga menyebut layanan konten digital sebagai hal yang tak kalah penting dilirik operator seluler.
Soal Cloud Computing, operator seperti Telkomsel dan XL sudah turut andil. Namun tampaknya gaungnya layanan itu bagi end-user tak begitu terdengar. Mereka sudah terbiasa dengan Google Drive, Dropbox dan layanan cloud lainnya yang sudah tersinkron dengan layanan daring lainnya.
Berarti, tiga sektor lainnya, yaitu Financial Technology (Fintech), konten dan eCommerce bisa kita kaji lebih jauh. Di tahun 2018, tiga layanan itu sudah cukup familiar berkaitan dengan operator telekomunikasi.
Upaya ini memang bukan hal baru di tahun 2018, melainkan lanjutan dari tahun sebelumnya. Namun sepanjang 2018, beragam produk digital baru yang inovatif dijajakan oleh operator Tanah Air, mencakup tiga hal pendorong produktivitas perusahaan. Oleh karenanya, saya akan mengulas tiga poin tersebut sebagai garis besarnya.
Fintech
Hampir semua operator seluler tertarik melihat peluang di sektor fintech. Bahkan, mereka juga menyediakan layanan fintech, jauh sebelum startup fintech bermunculan dan kini populer. Telkomsel menyebut layanannya dengan Tcash, Indosat Ooredoo dengan Dompetku dan XL Axiata dengan XL Tunai. Ketiganya sempat populer digunakan pelanggan untuk melakukan transaksi pembayaran. Sayangnya, regulasi mengharuskan layanan fintech sebagai bisnis yang berdiri sendiri, bukan unit bisnis.
Sejauh ini, hanya Tcash yang masih berdiri di bawah naungan Tekomsel, namun bisnisnya berjalan secara mandiri. Nasib Dompetku dialihkuasakan kepada pihak ketiga, namun masih berkaitan dengan Indosat Ooredoo. Pada Mei 2017, Dompetku reinkarnasi menjadi PayPro. Di awal kehadirannya, PayPro begitu gencar memikat pengguna. Sales-nya hampir tersedia di semua stasiun KRL di Jabodetabek. Namun, kini popularitasnya tak seperti semula.
Dalam sebuah pertemuan jelang ulang tahun Indosat Ooredoo ke-51, Group Head Business Product, Budiharto mengatakan, layanan PayPro hingga saat ini masih dijalankan pihak ketiga. Pelanggan biasanya menggunakan PayPro untuk membayar listrik hingga BPJS. PayPro tak lagi gencar mencari pelanggan baru dengan “bakar uang” melalui promosi gede-gedean.
Nasib XL Tunai hampir serupa dengan Dompetku. Bedanya, XL Tunai dialihkan ke induk usaha XL Axiata, yaitu Axiata Digital Services. Dirangkum dari berbagai sumber, alasan peralihan itu adalah agar XL Axiata fokus pada bisnis utamanya di sektor telekomunikasi. Lisensi XL Tunai sendiri memang masih dimiliki XL Axiata, tapi operasionalnya dijalankan induk perusahaan.
XL Axiata menyadari, sektor fintech memang memiliki masa depan yang cerah. Oleh karenanya, lisensi layanan pembayaran elektronik miliknya masih dipertahankan. Dan XL Tunai masih bisa dimonitor karena beroperasi di bawah naungan perusahaan yang sama.
Tcash juga sudah mandiri. Namun posisinya masih merupakan turunan dari Telkomsel, bukan Telkom. Perkembangannya cukup signifikan. Di tahun ini saja, Tcash membuka diri bagi pelanggan operator lain, tak lagi eksklusif untuk pelanggan Telkomsel.
Sejumlah fitur juga ditambah, mulai dari berkirim uang ke luar negeri hingga bekerja sama dengan Bluebird sebagai opsi pembayaran digital. Masa depan Tcash tampaknya masih cerah berkat sokongan dari perusahaan ternama hingga inovasi fitur yang terus diperbarui, menyesuaikan kebutuhan pelanggan.
Selain Tcash, Telkomsel belum lama ini meluncurkan aplikasi mBanking. Aplikasi ini merupakan layanan fintech yang tersedia untuk iOS maupun Android. Melalui mBanking Telkomsel, pelanggan bisa melakukan transaksi perbankan, transaksi merchant, promo program, sinkronasi data, dan mencari ATM terdekat.
Yang nasibnya cukup nahas adalah Tri Indonesia. Perusahaan yang lekat dengan warna oranye ini sudah berupaya menghadirkan layanan fintech, bahkan hingga mengajukan permohonan lisensi dari Bank Indonesia. Tak lama setelah mengajukan rencananya, BI mengubah aturan lisensi uang elektronik. BI hanya akan memberikan lisensi bagi perusahaan lokal, atau perusahaan yang didominasi Warga Negara Indonesia (WNI). Mengingat Tri Indonesia merupakan perusahaan asing, BI menolak pengajuan lisensi uang elektroniknya. Sebagai gantinya, Tri Indonesia masih mengandalkan pulsa sebagai alternatif pembayaran konten digital bagi pelanggannya.
Konten Digital
Operator telekomunikasi menjadi perusahaan yang menjembatani pelanggan dengan internet. Namun, jika operator hanya menyediakan akses itu saja, mereka hanya akan mendapat porsi untung yang sedikit. Alternatif lainnya, yaitu menyediakan konten digital sendiri.
Ini bukan perkara mudah. Risikonya, mereka harus bersaing dengan perusahaan lain yang sudah besar namanya, seperti Youtube atau Netflix. Dilematis memang. Tapi tak ada salahnya memberikan opsi lain bagi pelanggan dengan konten digital bercita rasa lokal.
Telkomsel tampak gencar menekuni bidang ini. Di ranah konten, Telkomsel bekerja sama dengan Tribe untuk menghadirkan video original di aplikasi streaming TV tersebut. Kala itu, Telkomsel memang belum memiliki aplikasi streaming mandiri, sehingga memilih untuk bermitra dengan aplikasi pihak ketiga dalam membuat konten.
Masih dalam ranah video streaming, Maret 2018, Telkomsel menghadirkan aplikasi Nickelodeon Play. Di aplikasi ini, pelanggan bisa mendapatkan konten yang menarik, lucu dan sesuai untuk anak-anak dari Nickelodeon. Namun pelanggan diharuskan memakai paket VideoMax untuk mengakses aplikasi tersebut.
Tak berselang lama setelah merilis aplikasi itu, Telkomsel meluncurkan aplikasi Maxstream. Ini merupakan aplikasi agregator konten dari berbagai channel, televisi lokal, hingga penyedia video streaming. Maxstream menjadi pembuktian betapa serius Telkomsel merambah lini bisnisnya, khususnya di ranah digital.
Belum lama memulai debutnya, Maxstream sudah menjadi "Licensed Mobile Broadcaster" Piala Dunia 2018. Bisa dibayangkan, bagaimana euforia gelaran itu hingga membuat aplikasi Maxstream populer di Indonesia. Usai Piala Dunia 2018 rampung, pelanggan masih bisa menyaksikan pertandingan olah raga dari berbagai cabang lainnya yang tersedia di aplikasi Maxstream. Di tahun depan, Telkomsel menjanjikan konten original yang lebih banyak guna memanjakan penggunanya.
XL Axiata, Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia, memilih untuk mengandalkan pihak ketiga dalam menyediakan konten, seperti halnya Netflix, iFlix, Viu dan lain sebagainya. Untuk saat ini, hanya Telkomsel yang memiliki aplikasi video streaming mandiri.
Cara lain yang ditempuh XL Axiata di ranah konten adalah dengan memberikan akses unlimited ke YouTube. Bukan hanya dari kuota data khusus, perusahaan juga bekerja sama dengan vendor lokal, menghadirkan paket ponsel. April 2018, misalnya, XL Axiata bekerja sama dengan Evercoss meluncurkan smartphone 4G bertajuk Xtream. Ponsel ini diiming-imingi akses YouTube 24 jam gratis selama satu tahun penuh.
Selang empat bulan kemudian, XL Axiata menghadirkan smartphone lainnya yang masih menjadi keluarga Xtream. Bernama Xtream Ultima, smartphone ini merupakan buah kerja sama XL Axiata dengan Luna. Serupa dengan pendahulunya, Xtream Ultima juga menawarkan akses gratis YouTube selama setahun penuh.
Sementara itu, Tri Indonesia memilih Netflix, Viu, Genflix dan Deezer sebagai mitranya dalam menyediakan konten digital. Bukan menyediakan konten secara langsung, Tri Indonesia hanya menjadi mediator. Pelanggan bisa mengakses layanan itu melalui jaringannya, atau membayar biaya langganan dengan potong pulsa.
Begitu pula dengan Indosat Ooredoo yang hanya menjembatani pelanggan mengakses penyedia konten. Bedanya, mitra yang dipilih Indosat Ooredoo yaitu iFlix, KlikFilm, Hooq, Joox, Spotify dan lainnya. Pelanggan juga hanya perlu membeli kuota khusus untuk mengakses layanan itu.
Terlihat jelas bahwa Telkomsel lebih gencar menyediakan konten digital sendiri ketimbang operator lainnya. F&S menyebut, adanya konflik antara Netflix dengan Telkom - perusahaan induk Telkomsel sejak 2016, mengharuskan perusahaan menyediakan konten sendiri.
Kala itu, ketidakmampuan Netflix untuk membuat konten lokal juga menjadi pendorong Telkomsel untuk makin serius menggarap dan memperkaya konten digital sendiri.
Menerka tahun 2019, Telkomsel tampaknya masih akan terus mengembangkan ekosistem konten digitalnya, baik dari sisi video maupun konten lainnya seperti musik. Ini dinyatakan Telkomsel kepada Tek.id saat membahas masa depan Maxstream. Perusahaan menjanjikan konten original yang lebih banyak, guna memberdayakan talenta lokal dan memperkaya konten digitalnya.
eCommerce
Saat eCommerce sedang populer, operator mencoba peruntungan dengan menghadirkan layanan serupa. XL Axiata punya Elevenia, Indosat Ooredoo merilis Cipika, Telkomsel punya Blanja.com dan Tri Indonesia dengan &Co. Tapi tak semua produk-produk turunan operator tersebut mampu mendulang kesuksesan.
Cipika memulai debut pada Agustus 2014. Sebagaimana eCommerce lainnya, Cipika menawarkan beragam produk, mulai dari kuliner hingga perangkat elektronik. Namun persaingan ketat dengan pemain eCommerce lain, membuat Cipika tumbang dan menyerah.
Alexander Rusli, CEO Indosat Ooredoo kala itu, menyatakan, model bisnis antara bisnis telko dengan eCommerce yang berbeda, hanya akan membuat perusahaan “bakar uang”. Akhirnya, Indosat Ooredoo menutup eCommerce-nya itu per Mei 2017.
XL Axiata kemudian menyusul Indosat Ooredoo, melepas saham Elevenia pada Agustus 2017. CEO XL Axiata - Dian Siswarini menyatakan, model bisnis eCommerce dengan telko memang berbeda. Atas pertimbangan itulah, XL Axiata melepas saham Elevenia dan memilih fokus pada bisnis intinya.
Menurut Dian, bisnis itu akan lebih pas jika dikelola induk perusahaannya, yaitu Axiata. Elevenia memang masih eksis hingga saat ini. Namun operasionalnya tak lagi di bawah kendali XL Axiata, melainkan pihak ketiga yang tak ada kaitannya dengan perusahaan.
Tampaknya, pendapat Dian itu memang ada benarnya. Buktinya, Blanja.com masih eksis hingga saat ini. eCommerce ini memang tidak dikelola Telkomsel, melainkan di bawah kendali Telkom. Kerja sama dengan eCommerce ternama, seperti eBay juga tampaknya sukses membuat Blanja.com terus berkembang.
Tri Indonesia justru meluncurkan toko digitalnya saat Indosat Ooredoo dan XL Axiata memilih mundur. Tri Indonesia memilih &co untuk menamakan layanannya. Konsepnya lebih mirip marketplace. Produk yang ditawarkan merupakan mitra Tri Indonesia. Mengambil pelajaran dari dua operator lain, Tri Indonesia memilih untuk membiarkan &co berkembang dengan natural tanpa harus bakar uang.
Produknya juga khas rasa lokal karena didominasi produk UKM Tanah Air. Hingga saat ini, layanan itu masih bertahan, meski namanya jarang terdengar.
Dari tiga opsi pendorong produktivitas operator telekomunikasi di era digital, eCommerce memang tak layak diandalkan. Model bisnisnya saja sudah berbeda, sehingga tak bisa berjalan beriringan. Alternatif lainnya yang patut diutamakan, yaitu fintech dan konten digital, mengingat dua layanan itu akan terus dikonsumsi dan digunakan pelanggan di era digital.
Kinerja emiten telekomunikasi
Mengutip laporan keuangan perusahaan, pendapatan PT XL Axiata Tbk. (XL Axiata) tumbuh 6% pada kuartal III-2018 dibanding kuartal sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan selaras dengan pertumbuhan pendapatan layanan data yang meningkat sebesar 6% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Presiden Direktur & CEO XL Axiata, Dian Siswarini mengatakan perseroan menerapkan strategi transformasi bisnis yang lebih kuat sepanjang tahun ini.
“Terbukti XL Axiata masih mampu untuk meningkatkan kinerja perusahaan di tengah persaingan industri yang semakin dinamis. Meskipun semester 1 tahun ini cukup berat, kami tetap mampu meningkatkan pendapatan di kuartal ke-3 ini sebesar 6% dibandingkan kuartal sebelumnya,” kata Dian dikutip dari laman XL Axiata.
Adapun pendapatan layanan data menjadi penyumbang terbesar dari total pendapatan layanan XL Axiata saat ini, yaitu sebesar 80%. Porsi dari pendapatan layanan data menggemuk dari sebelumnya 71% pada kuartal yang sama tahun lalu.
XL Axiata juga membukukan pendapatan (revenue) sebesar Rp16,9 triliun selama sembilan bulan terakhir. Meski demikian, jika dibandingkan tahun lalu, tidak terjadi pertumbuhan pendapatan. Sementara, untuk neraca XL Axiata tetap kuat dengan utang bersih terhadap EBITDA di 1,5 kali.
Meski mencatatkan pertumbuhan pendapatan kuartalan, emiten dengan kode EXCL ini juga mencatat kerugian sebesar Rp144,81 miliar di kuartal III-2018. Pada periode yang sama tahun lalu, EXCL mencatat laba sebesar Rp238 miliar.
Adapun, sepanjang Januari-September tahun ini EBITDA turun 1% secara year on year (yoy) menjadi Rp6,2 triliun karena adanya pengeluaran yang lebih tinggi untuk biaya proses pendaftaran SIM prabayar. Meskipun demikian, EBITDA kuartal ketiga ini meningkat 9% dari kuartal sebelumnya seiring membaiknya kondisi industri.
XL Axiata juga telah melakukan pembayaran kembali pinjaman bank sebesar Rp1,5 triliun, pinjaman US$50 juta, dan Rp1,04 triliun untuk sukuk melalui kombinasi pendanaan kembali dan dana internal. Per 30 September 2018, semua pinjaman eksternal XL Axiata dalam dollar AS sepenuhnya telah dilindungi (fully hedged) hingga jatuh tempo.
Dian mengatakan, pihaknya memang tengah berupaya mengurangi paparan risiko fluktuasi kurs. Wajar jika EXCL ingin mengurangi utang dollar AS. Sebab, kinerja keuangan EXCL selama sembilan bulan tahun ini tertekan oleh rugi kurs.
Pada kuartal III-2018, rugi kurs EXCL lompat 23 kali lipat menjadi Rp 445,2 miliar dari sebelumnya hanya sebesar 19,59 miliar. Akibatnya, EXCL menderita rugi Rp 144,81 miliar. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya, perusahaan ini membukukan laba bersih Rp 238,06 miliar.
Sementara itu, PT Indosat Tbk. (ISAT) merugi hingga triliunan rupiah pada kuartal III-2018 dari sebelumnya laba. Mengutip laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan, Indosat membukukan rugi bersih periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai Rp1,53 triliun.
Perolehan itu tentu berbanding terbalik dengan capaian laba yang diraup pada periode Januari-September 2017 senilai Rp1,09 triliun.
Jika ditelisik lebih dalam, terpuruknya kinerja perusahaan ini lantaran koreksi pendapatan yang cukup besar. Total pendapatan perseroan anjlok 25% menjadi Rp16,77 triliun dari Rp22,56 triliun.
Pada periode Januari-September 2018, tekanan terbesar Indosat terjadi pada pendapatan selular yang merosot 29,6% year-on-year (yoy). Pendapatan selular Indosat mencapai Rp13,17 triliun dari tahun sebelumnya Rp18,73 triliun.
EBITDA perseroan masih tertekan dengan anjlok 47,9% menjadi Rp5,2 triliun dari Rp9,9 triliun pada kuartal III-2017.
Secara keseluruhan, jumlah pelanggan selular anjlok 33,9% dari 97 juta menjadi 64,1 juta. Penurunan terdalam terjadi pada pelanggan prabayar sebesar 34,6% yoy menjadi 95,8 juta dari 62,6 juta.
Adapun PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) mencatat penurunan laba hingga 20,59% pada kuartal III-2018. Emiten pelat merah ini meraup laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp14,23 trilliun. Angka ini turun dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp17,92 trilliun.
Penurunan laba tersebut paling besar disebabkan dengan naiknya beban operasional pemeliharaan dan jasa telekomunikasi Rp33,43 triliun dari sebelumnya Rp27,110 trilliun. Alhasil, margin laba kotor TLKM hanya 29,68%, turun dari 36,69% pada sembilan bulan pertama tahun lalu.
Berdasarkan laporan keuangan TLKM, kenaikan beban operasional paling besar disebabkan oleh operasi dan pemeliharaan Rp17,49 trilliun, sementara beban pokok jasa teknologi informatika Rp3,851 trillun.
Di sisi lain, pendapatan data, internet, dan jasa teknologi informasi mencatat kenaikan di tengah penurunan segmen lain. Pendapatan segmen ini mencapai Rp58,58 triliun, naik 11,56% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp52,51 triliun.
Porsi pendapatan data, internet dan jasa teknologi informasi ini mencapai 59% dari total pendapatan TLKM. Porsi ini pun naik dari sembilan bulan pertama tahun lalu 54,13%.
Hingga kuartal III-2018, aset Telkom mencapai Rp204,89 triliun. Angka ini lebih tinggi ketimbang aset pada Desember 2017 senilai Rp198,48 trilun.