Mempersenjatai media sosial: dari Rusia sampai MCA
Angkatan kelima -wacana mempersenjatai buruh dan tani di era 65- terwujud dalam bentuk lain di era media sosial. Bagaimana seluk beluknya?
II. Saracen dan Muslim Cyber Army di Indonesia
Sekarang, apa yang terjadi di AS pada 2016 tengah terjadi di Indonesia. Hanya saja, bukan pemerintahan negara lain yang memanfaatkan media sosial untuk memengaruhi cara berpikir masyarakat Indonesia, tapi orang Indonesia sendiri.
Alasannya? politik dan ekonomi. Pihak yang menyebarkan konten untuk menggiring opini masyarakat akan mendapatkan untung dari pihak yang berkepentingan. Konten ujaran kebencian berbau SARA (Suku, Ras, Agama dan Antargolongan) menjadi bisnis baru. Hal ini terbukti dengan keberadaan Saracen, yang ditangkap pada tahun lalu.
Pada bulan Agustus lalu, Kasubdit 1 Dit Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Irwan Anwar di Gedung Divisi Humas Polri mengatakan bahwa kelompok Saracen memanfaatkan lebih dari 2.000 akun media sosial untuk menyebarkan ujaran kebencian.
Namun, seperti yang dikutip dari Tempo, dalam rilis resmi, kepolisian mengatakan bahwa jaringan Saracen memiliki lebih dari 800 ribu akun media sosial. Menariknya, jaringan Saracen melakukan operasi secara teroganisir. Kabag Mitra Divisi Humas Polri, Kombes Awi Setiyono, menjelaskan, Saracen memiliki grup wilayah. Itu menunjukkan bahwa usaha penyebaran konten kebencian tidak dilakukan oleh perseorangan.
Sama seperti usaha lainnya, Saracen memiliki klien. Dan “pembeli” itulah yang akan menentukan konten yang Saracen buat. Menurut penulusuran polisi terhadap salah satu anggota, Sri Rahayu Ningsih, banyak konten buatan Saracen yang berisi kritik pada pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo.
Belum satu tahun sejak Saracen tertangkap, polisi kembali mengungkap jaringan Muslim Cyber Army. Keberadaan MCA diketahui pertama kali ketika Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipid Siber) Bareskrim Polri menangkap sejumlah tersangka penyebaran hoaks dan menemukan bahwa orang-orang itu tergabung dalam sebuah grup WhatsApp yang bernama Muslim Cyber Army.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, polisi menemukan bahwa MCA memiliki akademi tempur dan sniper. Tim dari akademi tersebut bertugas untuk membuat isu provokatif dan menyebarkannya melalui media sosial.
Beberapa contoh isu yang diangkat antara lain kebangkitan PKI dan penculikan ulama. Sebagai pelengkap, tim itu juga bertugas untuk membuat konten ujaran kebencian pada sejumlah tokoh di pemerintahan.
Pada akhir Februari lalu, Polri telah berhasil menangkap anggota MCA yang tersebar di lima kota yang berbeda. Kelima kota itu adalah Jakarta, Pangkal Pinang, Bali, Sumedang, Palu dan Yogyakarta. Polri juga menemukan bahwa ada pelaku yang berada di luar Indonesia, seperti Korea Selatan.
Salah satu anggota dari The Family MCA bernama Tara Arsih Wijayani. Seorang dosen di UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta itu memiliki peran untuk menyebarkan konten ujaran kebencian.
Tersangka anggota The Family MCA lainnya memiliki inisial ER. Dia dulunya bekerja sebagai guru. Dia merupakan bagian dari berbagai grup di media sosial, seperti Muslim Cyber Admin (MCA), Republik Muslim Cyber Army, MCA news region, dan grup spirit 212.
Untuk saling berkomunikasi, anggota The Family MCA mengunakan Telegram dan Facebook selain aplikasi Zello. Sebagai bagian dari pemberantasan jaringan MCA, polisi bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengawasi aplikasi tersebut.