Perjalanan panjang eSport menuju pengakuan
Kisah panjang soal olahraga gim elektronik yang awalnya dipandang sebelah mata, tapi kini menjanjikan karir yang luar biasa.
Benedict Lim harus mengalami dilema antara menjalani ujian sekolah dan pergi bertanding di laga eSport The International yang digelar di Jerman. Akhirnya, dia memutuskan terbang ke Jerman bersama tim-nya. Sementara keluarganya menentang habis-habisan keputusannya itu. Toh, Benedict tetap nekat bertanding.
Cerita Benedict tadi terjadi di tahun 2011. Ketika itu, dia bersama tim-nya, Scythe akan bertanding memperebutkan USD1 juta melalui pertandingan Dota 2. Meski pada akhirnya, Benedict dan timnya harus puas menempati urutan ketiga.
Kisah di atas menggambarkan bagaimana aktivitas bermain gim, oleh sebagian besar orang masih dipandang sebagai sesuatu yang kurang berguna. Padahal, kemajuan teknologi sudah mumpuni untuk menempatkan gim sebagai salah satu cabang kompetisi yang patut diapresiasi.
Naiknya derajat sebuah gim dari permainan biasa menjadi sebuah pertandingan yang diakui secara luas membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perjalanan panjang itu sendiri dimulai sejak tahun 1970-an.
Pertandingan pertama eSport digelar pada Oktober 1972 di Stanford University. Kala itu, para siswa Stanford bertanding dalam sebuah video gim berjudul Spacewar. Hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan bagi kelas pelajar, yakni langganan majalah Rolling Stones setahun penuh. Dalam pertandingan Spacewar itu, ada dua kategori yang diperlombakan, yakni individu dan tim yang beranggotakan dua orang.
Delapan tahun berselang, Atari menggelar kompetisi serupa, namun dengan skala yang lebih besar dengan gim Space Invader. Tercatat, ada 10.000 partisipan dalam perlombaan yang dihelat Atari. Acara itu menarik perhatian banyak media, selain karena banyaknya peserta, namun juga karena Space Invader merupakan gim beken kala itu. Dari sinilah, citra gim sebagai sebuah hobi mulai bergeser menjadi ajang kompetisi.
Di sepanjang tahun 80-an, gim arcade merupakan satu-satunya gim yang dipertandingkan. Konsep pertandingannya adalah dengan mengalahkan skor tertinggi yang tercatat dalam gim tersebut. Judul-judul seperti Pac-Man dan Donkey Kong merupakan dua gim yang sering dipertandingkan. Jika mau dihitung, total ada 133 episode pertandingan gim arcade yang disiarkan di televisi sepanjang periode 1982-1984.
Sepak terjang kompetisi gim tak berhenti sampai di situ. Munculnya internet akhirnya membuka babak baru bagi industri gim. Kompetisi pun kembali terjadi. Red Annihilation menggelar turnamen gim First Person Shooter (FPS) berjudul Quake.
Turnamen Quake tersebut diikuti oleh 2.000 peserta. Meski jumlahnya tidak semasif turnamen yang digelar Atari, namun turnamen ini berhasil didapuk sebagai ‘pertandingan eSport pertama yang sebenarnya’. Saat itu, muncul alternatif genre baru untuk dipertandingkan.
Bicara soal eSport, rasanya kurang lengkap kalau belum membahas gim Starcraft. Gim ini punya andil besar dalam sejarah eSport dunia. Starcraft disebut-sebut sebagai gim eSport yang membutuhkan skill ekstra, yakni strategi. Starcraft merupakan gim RTS (Real time strategy) yang diperlombakan, jauh sebelum kemunculan MOBA.
Mengapa eSport?
Ada satu petunjuk kapan istilah eSport mulai digunakan. Di tahun 2000an, muncul dua organisasi besar, yakni Electronic Sports World Cup (ESWC) dan World Cyber Games (WCG). Keduanya diketahui menyelenggarakan turnamen eSports besar-besaran di berbagai belahan dunia. Jika dijumlahkan, ada sekitar lebih dari 800.000 peserta lomba yang digagas WCG di 78 negara.
ESWC bahkan lebih ekstrem lagi. Mereka bahkan memperlakukan para pemain eSport layaknya atlet dan gim yang dimainkan seperti olahraga pada umumnya. Meski tidak diketahui bagaimana “service” yang diberikan ESWC pada atletnya, namun hal ini cukup memberi gambaran bagaimana dunia mulai memandang eSport.
Sepanjang tahun 2000-an, eSport makin berkembang dengan sangat masif, mulai dari jumlah penonton sampai hadiah yang diberikan pada setiap pertandingan. Jumlah pertandingan yang digelar pun makin melesat. Terhitung ada 10 pertandingan besar di tahun 2000, dan di tahun 2010 ada 260 laga eSport besar yang digelar di seluruh dunia.
Berbagai pihak, baik kalangan penonton dan media agaknya tersihir dengan kehadiran turnamen eSport di berbagai belahan dunia. Berbagai stasiun televisi mulai menyiarkan pertandingan eSport.
Salah satu negara yang cukup berdedikasi dengan kehadiran eSport adalah Korea Selatan. Negeri ginseng ini bahkan menyediakan satu saluran televisi khusus untuk menyiarkan berbagai pertandingan eSport. Penyebarannya makin meluas, di Jerman, UK, Prancis bahkan Amerika Serikat mulai kepincut untuk menyiarkan pertandingan eSport di sepanjang tahun 2000-an.
Angin segar makin berhembus manakala muncul aplikasi streaming untuk menonton eSport secara real time. Ya, Twitch memulai debutnya tahun 2011 yang secara khusus memfasilitasi para pemain gim untuk menyiarkan permainannya. Jumlah penontonnya makin meledak kala Steam menggelar ajang The International. Penonton di Twitch terhitung menembus angka 4,5 juta. Masing-masing penonton setidaknya menonton selama dua jam.
Ajang kompetisi eSport pun mulai bergerak, dari perangkat desktop ke konsol. Sejumlah perusahaan gim mulai mempertimbangkan potensi gim buatannya agar dapat dipertandingkan dalam kompetisi eSport. Nintendo mulai menggelar event eSport dengan gim Super Smash Bros menggunakan konsol Wii U. Halo menggelar Halo League, begitu pula dengan Blizzard Entertainment dan Riot Games.
Beberapa gim meraih popularitas tertingginya sepanjang tahun 2000-an dan berhasil maju ke panggung pertandingan, antara lain DOTA 2, League of Legend, Starcraft II, CS: GO, dan Call of Duty.
Masa depan cerah eSport membentang di depan. Berbagai orang mulai mengaku dirinya sebagai pemain gim profesional dan berlaga di berbagai pertandingan eSport di berbagai belahan dunia.
Pro Kontra eSport di dunia
Perjalanan panjang eSport untuk diakui bukannya tanpa rintangan. Banyak pro kontra di baliknya. Dalam kamus Cambridge, sport diartikan sebagai sebuah permainan, kompetisi atau aktivitas yang membutuhkan upaya fisik dan keterampilan yang dimainkan atau dilakukan sesuai aturan, untuk kesenangan dan/atau pekerjaan. Berangkat dari definisi inilah kehadiran eSport sebagai sebuah cabang “sport” menuai kontroversi.
eSport dipandang sebagai sebuah kegiatan yang kurang melibatkan aktivitas fisik. Pasalnya, seorang atlet eSport hanya duduk menghadap monitor kemudian menggerakan mouse serta menekan keyboard untuk memenangkan sebuah pertandingan.
Beberapa pihak yang menentang eSport sebagai sebuah “sport” membandingkannya dengan sport yang sudah ada, seperti sepak bola, basket, atau tenis. Ketiganya memberikan tekanan besar pada fisik pemainnya.
Padahal, eSport membutuhkan kriteria yang sama dengan sport pada umumnya. Seorang pemain eSport membutuhkan stamina fisik, kekuatan mental, skill serta strategi yang tepat untuk memenangkan sebuah pertandingan.
Layaknya atlet lainnya, pemain eSport pun mengadakan sesi latihan rutin, termasuk latihan stamina untuk menjalani pertandingan panjang. Mengulik strategi juga menjadi latihan yang wajib dijalani oleh seorang pemain eSport.
Saking kuatnya penolakan terhadap eSport, Presiden International Olympic Committee, Thomas Bach pernah menyatakan bahwa eSport dinilai bertentangan dengan peraturan Olympic dan nilai-nilai sport pada umumnya.
Untungnya, dewi fortuna masih berpihak pada pemain eSport. Bukannya terbungkam, eSports justru makin berkembang. Jumlah penggunanya makin bertambah banyak, turnamennya menjadi semakin besar.
Momen Asian Games 2018 menjadi titik balik terbesar bagi dunia eSport. Untuk pertama kalinya, eSport dipertandingkan dalam ajang olahraga. Kendati baru bersifat eksibisi, namun hal ini menjadi bukti diakuinya eSport sebagai cabang yang layak dipertandingkan dalam pekan olahraga.
Di Asian Games, beberapa gim yang dipertandingkan adalah Arena of Valor, Clash Royale, Hearthstone, League of Legends, Pro Evolution Soccer, dan Starcraft II, dengan 18 negara yang turut berpartisipasi dalam cabang ini.
eSport merambah perangkat mobile
Popularitas eSports nyatanya tak berhenti pada perangkat desktop saja. Perkembangan smartphone turut mendukung pula adopsi eSport di seluruh dunia. Apalagi, beberapa vendor ponsel secara terang-terangan menyatakan membuat ponsel khusus untuk keperluan bermain gim.
Beberapa gim desktop pun diadaptasi untuk perangkat mobile. Sebut saja PUBG Mobile dan Fortnite yang saat ini sedang naik daun. Di samping itu, beberapa gim lain yang sudah tenar dan memiliki kompetisi sendiri juga semakin berkembang. Misalnya, Vainglory, Arena of Valor, Mobile Legend dan Clash Royale sudah kadung tenar sebelum PUBG merambah platform mobile.
Perkembangan pesat platform mobile ditunjukkan dengan sejumlah turnamen eSport yang digelar untuk perangkat mobile. AOV, misalnya, dalam kurun waktu 2 tahun sudah menggelar 3 pertandingan internasional. Dua di antaranya digelar tahun 2017 yang bersifat regional di kawasan Asia saja, dan AOV World Cup yang melibatkan tim-tim besar dari Asia, Eropa dan Amerika. Gim ini pun menjadi salah satu gim yang dipertandingkan dalam ajang Asian Games 2018.
Bicara soal eSport di platform mobile, tentunya kita tidak akan bisa melepaskan pandangan dari PUBG Mobile. Gim yang sudah populer di versi PC ini ternyata juga digandrungi oleh pengguna platform mobile. Event internasional perdana baru saja selesai, yakni PUBG Mobile Star Challenge yang melibatkan para streamer populer PUBG Mobile. Nah, di masing-masing negara, Tencent juga menggelar kompetisi bernama PUBG Campus Championship untuk para mahasiswa.
Tidak dapat disangkal lagi, animo kompetisi dalam gim sudah semakin meningkat. Apalagi dengan diselenggarakannya banyak pertandingan untuk mengadu kemampuan masing-masing pemain. Baik platform desktop, konsol maupun mobile, ekspansi eSport makin terasa.
eSport seolah-olah menagih pengakuan dari berbagai pihak, terutama setelah kemunculannya di ajang Asian Games 2018. Kabarnya, eSport juga menjadi salah satu cabang yang diperlombakan pada Olimpiade Internasional di tahun 2024.
eSport di Indonesia
Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampak animo eSport. Newzoo mencatat, di pertengahan tahun 2017, Indonesia sudah memiliki 43,7 juta orang yang bermain gim. Mayoritas pemain gim berjenis kelamin laki-laki yang setengahnya berada di rentang usia 21 hingga 35 tahun. Bahkan, total pendapatan gim di Indonesia mencapai USD879,7 juta atau sekitar Rp12 miliar.
Perlu diketahui, berdasarkan riset yang dilakukan Newzoo, perolehan pendapatan gim di Indonesia menduduki peringkat 16 besar di dunia. Indonesia menjadi salah satu negara dengan pemain gim terbanyak di dunia.
Bayu Putera Sentosa bersama timnya, Headhunters merupakan tim eSport yang didapuk untuk mewakili Indonesia pada ajang Legion of Champions III. Dia sendiri menyatakan senang dengan perkembangan eSport di Indonesia.
“Sekarang di Indonesia, orang baru ngeliatin apa sih itu eSport...karena 2018 ini kita ada Asian Games. Orang awam jadi lebih tahu dibandingin sebelumnya. Tahun depan ada SEA Games,” ujar Bayu.
Banyaknya event di Indonesia menjadi salah satu tolok ukur berkembangnya eSport. Event tersebut, menurut Bayu, juga menjadi salah satu bentuk dukungan yang bisa didapatkan dari pemain eSport.
Sebagai salah seorang pemain eSport, Bayu memprediksi bahwa cabang ini akan terus berkembang. Menurutnya, eSport merupakan salah satu bentuk hiburan yang sedang digandrungi, terutama oleh kaum millenials.
“Lebih banyak media, lebih banyak event, lebih banyak lagi kita [eSport] mendapat exposure, lebih bagus lagi masa depan eSport di Indonesia,” kata Bayu.
Meski begitu, dia pun pernah menghadapi konflik terkait pilihannya di dunia gim. Orangtuanya sempat ragu dengan jalan yang dipilihnya. Namun, dia tetap bersikeras dengan memberi penjelasan kepada orangtuanya. Hasilnya pun berbuah manis. Kedua orangtuanya kini sudah mendukung penuh aktivitasnya di dunia eSport.
Untuk saat ini, momentum Asian Games menurutnya cukup menjadi batu loncatan berkembangnya eSport di Indonesia. Perlu diketahui, tahun 2019 momen serupa akan terulang di SouthEast Asia Games.
Perlu diketahui, Indonesia saat ini juga sudah memiliki asosiasi eSport sendiri bernama IeSPA (Indonesia eSports Association). Asosiasi inilah yang mewadahi pergelaran eSport di tanah air. Tak hanya itu, melalui IeSPA, atlet eSport Indonesia memiliki koneksi untuk bertanding di luar negeri. Pasalnya, IeSPA sendiri sudah bergabung dalam IeSF (International eSports Federation).
IeSPA dimulai dari sebuah ide dan gagasan yang terinspirasi dari perkembangan industri eSport di dunia. Sejak didirikan, IeSPA merasa perlu mencari dukungan dari pemerintah, khususnya Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Akhirnya, pemerintah mengakui adanya asosiasi ini pada tahun 2014, yang menjadi tonggak semakin berkembangnya industri eSport di Indonesia, di bawah binaan FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia).
Kita nantikan saja sepak terjang eSport Indonesia di tahun 2019. Semoga saja para pemain eSport mampu semakin mencatat prestasi agar nantinya mereka bisa kembali ke Indonesia sambil membusungkan dada usai menjalani pertandingan bertaraf internasional.