Tarik ulur 5G di Indonesia
Lelang frekuensi 2,3GHz yang sudah diumumkan, dibatalkan oleh Kemenkominfo. Pemerintah berdalih bahwa upaya ini dilakukan sebagai langkah “kehatian-hatian dan kecermatan".
Kehadiran 5G di Indonesia selangkah lebih maju. Setelah melalui beberapa uji coba, Kemenkominfo menetapkan sejumlah spektrum frekuensi untuk menggelar jaringan generasi kelima tersebut di Indonesia. Adapun frekuensi tersebut di antaranya 2,3 Ghz, 2,5 Ghz, 2,6 Ghz, 3,3 Ghz, dan 3,6 Ghz. Spektrum tersebut dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lowerband, coverage layer, dan highband.
Hadirnya jaringan 5G tidak hanya meningkatkan kecepatan internet, menghubungkan berbagai perangkat, namun juga meningkatkan daya saing Indonesia di Asia Tenggara maupun global. Untuk itu, percepatan implementasi 5G memang perlu perhatian berbagai pihak.
Pemerintah sudah menyiapkan peta jalan (roadmap) 5G sejak September 2020. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate saat itu mengatakan, pemerintah masih harus menata ulang spektrum radio yang akan dialokasikan untuk 5G.
Pada November 2020, Kemenkominfo menggelar lelang pita frekuensi 2,3 Ghz atau disebut Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz. Tujuannya, "meningkatkan kualitas layanan secara maksimal, serta mendorong akselerasi penggelaran infrastruktur TIK dengan teknologi generasi kelima (5G).” Dari seleksi tersebut, terpilih tiga operator yang penerima tambahan pita frekuensi, yaitu Telkomsel, Tri Indonesia, dan Smartfren.
Pemenang lelang diumumkan, lalu batal
Lelang frekuensi 2,3GHz yang sudah diumumkan, dibatalkan oleh Kemenkominfo. Kementerian yang dipimpin Johnny G. Plate itu berdalih bahwa upaya ini dilakukan sebagai langkah “kehatian-hatian dan kecermatan". Saat itu, alasan pembatalan lelang tak begitu gamblang.
“Penghentian proses seleksi tersebut diambil sebagai sebuah langkah kehati-hatian dan kecermatan dari Kementerian Kominfo guna menyelaraskan setiap bagian dari proses seleksi ini dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Kominfo, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2015,” demikian pernyataan Kemenkominfo terkait pembatalan lelang frekuensi 2,3GHz pada 23 Januari.
Sementara itu, dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR yang berlangsung pada 1 Februari, Menkominfo Johnny mengatakan alasan pembatalan lelang frekuensi 2,3GHz merupakan alasan administratif yang tak dapat diungkap ke publik. Namun demikian, dia menegaskan bahwa proses lelang bukan dibatalkan, melainkan akan diulang.
Johnny juga mengklarifikasi, frekuensi 2,3GHz bukan ditujukan untuk menggelar 5G, melainkan untuk memperluas layanan operator seluler, termasuk jaringan 4G. Kendati demikian, dia mengizinkan frekuensi tersebut dimanfaatkan untuk menggelar 5G jika diperlukan di kemudian hari. Hal ini bertentangan dengan siaran pers yang dibagikan Kemenkominfo, khususnya saat pertama kali lelang frekuensi 2,3Ghz diumumkan.
“Seleksi pengguna pita frekuensi radio 2,3 GHz itu bertujuan untuk meningkatkan kapasitas jaringan bergerak seluler, meningkatkan kualitas layanan secara maksimal, serta mendorong akselerasi penggelaran infrastruktur TIK dengan teknologi generasi kelima (5G),” demikian kutipan Siaran Pers No. 148/HM/KOMINFO/11/2020.
Alasan batalnya lelang frekuensi 2,3GHz justru dijelaskan Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan dalam forum diskusi Alinea.id. Dia menuturkan, batalnya lelang frekuensi disebabkan angka dari hasil lelang yang tidak memenuhi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Kami kemarin mempertanyakan kepada Menkominfo kenapa lelang 5G bisa ditunda padahal pemenangnya sudah jelas. Katanya, memang angka dari hasil lelang tersebut tidak memenuhi pendapatan negara bukan pajak atau PNBP yang diharapkan. Jadi, PNBP yang ditawarkan para pemenang ini dianggap terlalu rendah, sedangkan mekanismenya ternyata memang tidak mengatur seberapa besar angka minimum yang harus di-submit peserta tender,” kata Farhan menjelaskan.
Dengan demikian, peserta lelang diharapkan untuk memasukkan kembali angka yang dinilai masuk akal untuk memenuhi syarat administratif terkait PNBP. Sebagai informasi, harga penawaran yang diajukan Telkomsel, Tri Indonesia serta Smartfren untuk lelang frekuensi 2,3 GHz senilai Rp144.867.000.000. Harga inilah yang dianggap terlalu rendah dan tidak memenuhi PNBP.
Farhan juga menyebut, mekanisme lelang yang digelar Kemenkominfo tidak mengatur besaran angka minimum yang harus di-submit oleh peserta. Namun, Wakil Presiden Direktur Tri Indonesia Danny Buldansyah dalam forum diskusi Alinea.id mengungkapkan, harga minimum lelang sudah dicantumkan dalam dokumen yang berasal dari Kemenkominfo.
“Di dokumen lelang juga sudah dicantumkan harga minimum. Artinya, pemerintah sudah bisa melihat jika harga minimum yang terjadi, berarti PNBP-nya dalam jumlah sekian… Spektrum ini tidak murah kalau tidak ada nilai tambah positif, operator tidak akan ikut lelang,” ujar Danny menanggapi pernyataan Farhan.
Terlepas dari itu, batalnya lelang frekuensi 2,3 GHz memang cukup ironi. Di saat negara lain mulai menikmati 5G, Indonesia masih harus berpuas diri dengan 4G.
Lelang frekuensi batal untuk pertama kalinya
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi pembatalan lelang frekuensi 2,3 GHz merupakan peristiwa pertama sejak 2006, dimana lelang dilakukan secara terbuka. Menurutnya, alasan pembatalan lelang kurang jelas dan transparan.
“Yang perlu diketahui adalah rincian informasi mengapa dibatalkan… Penjelasan Kominfo lewat Siaran Pers menurut saya kurang jelas dan transparan,” kata Heru kepada Tek.id.
Jika alasan pembatalan tidak diungkap secara jelas, menurut Heru, akan menimbulkan masalah hukum. “Sebab mereka kan dirugikan karena telah menyiapkan dokumen dan jaminan atau bond yang tentunya nilainya tidak kecil,” ujarnya.
Potensi dampak lainnya akibat pembatalan lelang frekuensi, yaitu berkurangnya kepercayaan dari investor. Sebab, industri telekomunikasi yang menggunakan sumber daya alam spektrum frekuensi, dipantau secara internasional. Terlebih lagi, industri telekomunikasi merupakan sektor investasi yang besar.
“Jangan sampai ada kesan bahwa ada hal yang tidak matang dari proses seleksi. Ini akan membuat kepercayaan investor telekomunikasi akan menurun. Sebab industri telekomunikasi merupakan sektor investasi, terutama asing, sangat besar,” katanya.
Heru menyarankan agar proses lelang disiapkan dengan matang. Terkait frekuensi 2,3 GHz yang awalnya disiapkan untuk menggelar jaringan 5G, Heru mengatakan, ekosistem frekuensi tersebut belum matang. Dengan demikian, implementasinya akan terhambat jika digunakan untuk jaringan generasi kelima tersebut.
Dia membandingkan dengan negara-negara lainnya yang menggunakan frekuensi 3,5 GHz dan 2,5/2,6 GHz serta 700 MHz untuk menggelar 5G.
“Secara internasional yang umum dipakai adalah 3,5 GHz dan 2,5/2,6 GHz serta akan juga 700 MHz. Frekuensi-frekuensi tersebut yang harus disiapkan untuk 5G,” ujar Heru.
Untuk itu, Heru memperingatkan agar persiapan implementasi 5G dilakukan secara matang. Sebab, jika frekuensi yang digunakan berbeda, handset dengan dukungan 5G di Indonesia kemungkinan tak dapat digunakan di luar negeri.
Andai lelang tak dibatalkan...