Teknologi ADAS dan masa depan mobil pintar
Keselamatan adalah nomor satu dalam berkendara. Selain sabuk pengaman dan airbag yang sudah sangat umum, sekarang sudah banyak mobil yang diproduksi dengan menyematkan fitur lebih mutakhir dan pintar demi memberikan keselamatan pada penggunanya.
Selama ratusan tahun, para produsen kendaraan di seluruh dunia terus memperbaiki fitur keselamatan di kendaraan ciptaan mereka. Bukan hanya untuk pengendara, namun fitur keselamatan untuk pengguna jalan lain juga terus dikembangkan.
Salah satu yang menjadi bahan perbincangan belakangan ini adalah fitur Advanced Driver Assistance Systems alias ADAS. Di beberapa kendaraan populer di Indonesia, kini fitur tersebut sudah mulai digunakan.
Ada beberapa level dari ADAS, dan yang paling banyak ditemukan di kendaraan yang dijual di Indonesia ada di level 1 atau 2. Kebanyakan, fitur ini mencakup line driving assistant dan beberapa fitur sederhana lain.
Tapi, di luar negeri, Tesla saat ini terus mengembangkan fitur ADAS ini untuk membuat kendaraan Full Service Driving (FSD). Secara singkat, mereka ingin membuat kendaraan agar dapat berjalan tanpa bantuan dari manusia sama sekali.
Selama belasan tahun terakhir ini, Tesla telah mengembangkan teknologi tersebut, namun berjalan dengan cukup lambat namun pasti. Pemimpin perusahaan tersebut, Elon Musk pun mengatakan mengembangkan teknologi ini bukan sebuah hal yang mudah untuk dilakukan.
“Saya pikir permasalahan terkait teknologi self-driving akan sangat sulit, bahkan lebih sulit dari apa yang saya pikirkan. Untuk membuat teknologi self-driving, kita harus mereplikasi cara manusia berkendara,” kata Musk dalam podcast di akun Lex Fridman.
“Manusia berkendara menggunakan sensorik seperti mata dan di jalan terdapat banyak jaringan (rambu-rambu dan lain). Jadi kita harus membuat ini secara digital, dengan menggunakan kamera dan membuat neural network yang canggih,” lanjut Musk.
Selain Tesla, saat ini sudah banyak perusahaan lain yang mengembangkan fitur serupa. Sebut saja Waymo, yang kini juga sudah mulai agresif. Di sisi lain, pesaing yang dikatakan paling dekat dengan Tesla adalah Comma.ai, yang dikepalai oleh George Hotz.
Jika kalian pengguna iPhone dan PlayStation, nama George bukan nama yang asing. Soalnya, dialah yang menemukan cara untuk melakukan jailbreak di perangkat iPhone dan berhasil membuat homebrew agar pemilik PS3 dapat memainkan gim PS2 melalui CD.
Berbeda dengan Tesla, Comma.ai memilih pendekatan yang berbasis sistem operasi Android. Tentu saja, ada berbagai pendekatan yang berbeda dalam hal pengembangan sistem ini di kedua perusahaan tersebut.
Untuk diketahui, Tesla membuat sistem FSD ini tertutup untuk perusahaan lain. Sedangkan di sisi lain, Comma.ai dapat digunakan di berbagai macam kendaraan, bahkan mereka mengklaim sistem mereka dapat digunakan di lebih dari 200 tipe kendaraan yang ada di pasaran saat ini.
Kedua perusahaan ini saling bersaing untuk dapat membuat sistem yang dapat mencapai level 5, yang sering disebut full autonomous car. Namun, George mengatakan mereka mungkin hanya terlambat 2 atau 3 tahun dari Tesla untuk meluncurkan sistem level 5.
Comma.ai sendiri memperlakukan self-driving sebagai machine learning problem, sedangkan Tesla lebih ke pembelajaran multi tasking, dimana mereka memecahkan tugas mengemudi sebagai ratusan bagian yang berbeda.
Mereka juga memiliki banyak neural network dengan kepala yang sangat banyak, dimana dapat dengan baik menyelesaikan berbagai macam tugas. Semuanya digabungkan sehingga dapat memberikan keputusan berkendara yang optimal.
“Saya pikir lebih mudah menggunakan pendekatan end-to-end untuk mencapai ADAS level 5. Saya pikir pendekatan perusahaan lain ‘dapat bekerja’, tapi tantangan teknik untuk mencapainya lebih besar dari apa yang dapat dilakukan manusia saat ini,” ujar George.
Saat ditanyakan mengenai teknik yang dilakukan oleh Tesla, yakni dengan memecah tugas dan menambang pengetahuan dari setiap tugas, George mengatakan bahwa selama dia mempelajari sejarah AI, teknik ini akan tergilas oleh pendekatan end-to-end.
“Tapi masalahnya pengetahuan dari tugas-tugas yang ditambang tidak dipelajari, ini merupakan feature engineering. Dan dari sejarah AI manapun, yang menggunakan pendekatan feature engineering, akan digantikan dengan teknik end-to-end,” papar George.
Namun, kedua perusahaan tersebut masih tidak memiliki jawaban pasti saat ditanya mengenai timeline terkait dengan peluncuran ADAS level 5. Kedua perusahaan tersebut belum secara tegas memberikan timeline, dan memilih fokus untuk mengembangkan teknologi yang ada saat ini.
Di sisi lain, mantan direktur AI Tesla, Andrej Karpathy, mengungkapkan mengapa Tesla dan Comma.ai mungkin belum memberikan timeline terkait dengan peluncuran ADAS level 5.
“Salah satu permasalahan utama mengenai timeline self-driving adalah saat ini belum ada yang telah menciptakan teknologi self-driving. Jadi ini tidak sama saat kita bertanya timeline untuk membuat sebuah jembatan, yang dimana telah dibuat ribuan kali. Saat ini belum ada yang membuat sistem kendaraan autonomous, jadi belum ada timeline pasti,” ujar Andrej.
Dan ketika berbicara mengenai perusahaan mana yang memimpin pengembangan sistem ADAS dan FSD bisa dibilang adalah Tesla. Saat ini, mereka sudah memiliki ratusan ribu kendaraan di jalanan.
Memang, ini bukan menjadi patokan yang baik untuk berbicara mengenai pengembangan teknologi tersebut. Namun, di sisi lain ini menjadi senjata untuk Tesla agar dapat mengembangkan teknologi tersebut.
Seperti yang sudah dibahas di beberapa paragraf sebelumnya, cara Tesla menyempurnakan teknologi ADAS mereka adalah dengan “menambang” informasi yang dibutuhkan AI untuk dapat mengendalikan kendaraan tanpa bantuan manusia. Oleh karena itu, semakin banyak kendaraan yang ada di jalanan, semakin cepat pengembangan teknologi tersebut.
Pada saat ini, Tesla telah menawarkan FSD generasi baru, yang dapat diakses melalui Beta program dimana menawarkan ADAS setara level 3. Beberapa YouTuber sudah melakukan uji coba dan membandingkan pengalaman FSD Tesla di 2020 dan di 2022.
Kanal YouTube bernama Dirty Tesla tersebut mengatakan bahwa Tesla saat ini sudah menyempurnakan lebih dalam sistem FSD tersebut. Dia merasa ada perubahan yang sangat jauh antara saat dia mencobanya pada 2020 dibandingkan pada 2022.
Meski sudah memiliki kemajuan yang pesat dalam pengembangan ADAS, namun bukan berarti pengembangan teknologi ini akan terus berjalan dengan mulus. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para pengembang.
Dirangkum dari berbagai sumber, ada beberapa hal yang menjadi kendala mengapa teknologi ini memiliki waktu pengembangan yang panjang. Yang pertama adalah sumber daya “sukarela” yang dapat membantu AI mengembangkan neural system yang lebih baik.
Tesla meminta bayaran sekitar USD15 ribu (Rp225 juta) atau biaya langganan sebesar USD199 (Rp3 juta) per bulan. Tentu saja, harga yang harus dibayar untuk mendapatkan layanan tersebut saat ini sangatlah mahal.
Selain itu, kekuatan computing juga menjadi masalah yang cukup besar. Pengadaan infrastruktur supercomputer untuk menjalankan AI untuk teknologi ini tak murah. Begitu juga perangkat yang harus dipasang di sebuah kendaraan, yang tentunya juga harus cukup bertenaga.
Comma.ai saat ini sudah menawarkan sistem FSD mereka ke pasaran, dengan harga mulai dari USD1499 (Rp22,5 juta). Namun kita masih belum tahu apa yang akan kita dapatkan dengan membayar uang sebanyak itu.
Dan terakhir adalah masalah etis, dimana masih banyak orang yang tidak percaya menyerahkan “nyawa” mereka kepada AI. Masih banyak orang yang ingin mengontrol secara penuh kendaraan yang mereka kendarai. Jika masalah ini masih belum dapat dipecahkan, maka rasanya pengembangan ADAS dan FSD masih akan cukup terhambat.
Tesla terdepan di bidang FSD
Tidak semua sistem ADAS diciptakan sama. Mereka memiliki nama dan fitur yang berbeda tergantung pada pabrikannya. “Autopilot” dan “Full Self-Driving” Tesla mungkin yang paling dikenal, tetapi jangan tertipu oleh namanya. Dalam semua sistem di jalan raya saat ini, pengemudi harus siap untuk mengambil alih dalam waktu singkat.
Pabrikan kendaraan listrik Tesla telah menawarkan Autopilot sebagai paket fitur pada kendaraannya sejak 2015, dengan sejumlah teknologi yang diperluas dan disempurnakan selama delapan tahun terakhir.
Perangkat lunak Autopilot memungkinkan fungsi mengemudi tertentu dijalankan oleh perangkat lunak Tesla sebagai pengganti pengemudi, meskipun situs web Tesla mengatakan bahwa fitur tersebut memerlukan pengawasan pengemudi aktif dan tidak membuat mobil menjadi otonom.
Tesla menawarkan tiga tingkat teknologi: Basic Autopilot, Enhanced Autopilot, dan Full Self-Driving Beta.
Basic Autopilot disertakan gratis dengan setiap pembelian model Tesla. Ini dapat melakukan fungsi seperti lane-keeping dan steering assist, pengereman darurat saat tabrakan dengan kendaraan lain atau pejalan kaki sudah dekat, dan adaptive cruise control. Ini dianggap sebagai sistem Level 2 oleh Society of Automotive Engineers (SAE).
Enhanced Autopilot, yang hanya tersedia di pasar Eropa dan Tiongkok, dibangun di atas Basic Autopilot dengan menambahkan kemampuan perubahan jalur otomatis, parkir otomatis, yang mengarahkan kendaraan ke tempat parkir dengan mengendalikan kecepatan mobil, pergantian gigi dan sudut kemudi, dan fitur Smart Summon yang dapat secara mandiri menggerakkan kendaraan keluar dari tempat parkir dan menemukan pemegang kunci di parkiran.
Teknologi “Full Self Driving” Tesla, terlepas dari peningkatan pengujian beta baru-baru ini, masih merupakan ADAS Level 2, dijual sebagai tambahan USD12.000 untuk harga model yang dipilih. Versi beta ini akan segera tersedia untuk model Tesla di Kanada.
Tujuan Tesla mengenalkan FSD
Pada akun Twitternya resminya tanggal 7 Januari 2023, Tesla menyatakan bahwa “keselamatan adalah tujuan desain utama untuk kendaraan kami”. Dengan melanjutkan, “Tesla Anda memantau sekeliling Anda, memberi tahu atau mengambil tindakan korektif jika Anda berisiko mengalami kecelakaan.”
Safety is the primary design objective for our vehicles.
Your Tesla monitors your surroundings, alerting you or taking corrective action if you are at risk of an accident → https://t.co/pmekvodEC7 — Tesla (@Tesla) January 7, 2023
Hal tersebut berarti bahwa ADAS hadir untuk tujuan keamanan. Tesla percaya bahwa teknologi dapat membantu meningkatkan keselamatan. Inilah sebabnya mobil Tesla dirancang untuk menjadi mobil teraman di dunia. Mereka mengklaim bahwa kombinasi unik dari keselamatan pasif, keselamatan aktif, dan ADAS sangat penting untuk menjaga tidak hanya keselamatan pengemudi dan penumpang Tesla, tetapi semua pengemudi di jalan.
Seperti Super Cruise pada Cadillac atau Drive Pilot pada Mercedes-Benz, Full Self Driving Tesla adalah ADAS yang dimaksudkan untuk melakukan beberapa tugas yang biasanya dilakukan oleh pengemudi. Di balik teknologi tersebut, terdapat sensor ultrasonik dan delapan kamera yang menurut Tesla memberikan visibilitas 360 derajat hingga 250 meter.
Sebagian besar pabrikan otomotif menggunakan kombinasi jenis sensor untuk teknologi ADAS mereka, bersama dengan banyak kamera. Namun tidak dengan Tesla. Tesla sangat mengandalkan Computer Vision ketimbang sensor Lidar.
Lidar adalah metode mengukur jarak dengan menembakkan laser dan mendeteksi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali. Tujuannya mirip dengan radar tetapi alih-alih gelombang radio, Lidar menggunakan laser. Teknologi ini sangat akurat dalam mendeteksi objek bahkan hingga milimeter.
Sedangkan Computer Vision adalah bidang kecerdasan buatan (AI) yang melatih komputer untuk memahami dunia visual. Ini pada dasarnya adalah merekayasa balik visi manusia.
Alasan paling jelas bagi Tesla untuk mengambil pendekatan yang berbeda adalah biayanya. Biaya menempatkan satu perangkat Lidar di mobil sekitar USD10.000. Google dengan proyek Waymo-nya mampu sedikit mengurangi jumlahnya dengan memperkenalkan produksi massal. Namun, biayanya masih cukup signifikan.
Tesla sangat fokus pada biaya dan memastikan harga mobil terjangkau. Menambahkan Lidar pada mobil Tesla yang sudah mahal akan membuat harganya membengkak.