Gambar AI Taylor Swift yang diposting Trump picu pertanyaan hukum
Penggunaan gambar AI ini memunculkan pertanyaan besar mengenai regulasi dan etika dalam kampanye politik digital.
Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menuai kontroversi setelah memposting sejumlah gambar yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI) di platform media sosialnya, Truth Social. Gambar-gambar tersebut secara keliru menampilkan penyanyi pop terkenal Taylor Swift seolah-olah mendukung pencalonan Trump pada pemilu 2024.
Langkah ini kemudian memicu kekhawatiran tentang legalitas penggunaan teknologi AI dalam kampanye politik, terutama terkait dengan pelanggaran hak citra selebriti. Dilansir dari Tech Crunch (20/8), dalam salah satu gambar yang diposting, terlihat sekelompok wanita muda mengenakan kaos bertuliskan "Swifties for Trump."
Gambar ini dengan cepat menimbulkan spekulasi, terutama di kalangan penggemar Swift yang mengetahui bahwa sang artis sebelumnya telah secara terbuka mendukung Joe Biden pada pemilu 2020 dan mengkritik keras Trump.
Penggunaan gambar AI ini memunculkan pertanyaan besar mengenai regulasi dan etika dalam kampanye politik digital. Noah Downs, seorang pengacara yang berfokus pada hak kekayaan intelektual dan hiburan, menyebutkan bahwa fenomena endorsement palsu dari selebriti yang dihasilkan oleh AI semakin marak, dan ini dapat menimbulkan masalah hukum yang serius.
“Kita melihat peningkatan penggunaan AI untuk menciptakan peniruan selebriti secara tidak sah, dan ini bisa berdampak besar jika tidak segera diatur,” ujar Downs.
Di tengah kontroversi ini, Tennessee, negara bagian tempat Taylor Swift memiliki banyak kepentingan bisnis, baru-baru ini memberlakukan ELVIS Act, sebuah undang-undang baru yang memberikan perlindungan hukum bagi artis terhadap peniruan AI yang tidak sah. Undang-undang ini menandai salah satu langkah awal dalam melindungi hak cipta dan citra publik selebriti di era digital.
Namun, karena undang-undang ini masih baru, belum ada preseden yang jelas mengenai penerapannya dalam kasus-kasus seperti yang melibatkan Trump dan Swift.
Avi D. Kelin, seorang ahli hukum politik, menambahkan bahwa meskipun ELVIS Act lebih difokuskan pada peniruan suara artis, kasus ini bisa menjadi uji coba penting untuk undang-undang tersebut. “Ini akan menjadi pertanyaan besar apakah regulasi semacam ini dapat diterapkan dalam konteks kampanye politik,” kata Kelin.
Selain itu, Komisi Pemilihan Federal (FEC) yang memiliki yurisdiksi atas komunikasi politik, hingga saat ini belum memberikan pedoman khusus terkait penggunaan gambar AI dalam kampanye. Sementara itu, Komisi Komunikasi Federal (FCC) sedang mempertimbangkan aturan transparansi baru untuk iklan televisi dan radio, namun aturan tersebut tidak mencakup unggahan di media sosial, yang sering kali menjadi alat utama kampanye politik modern.
Dengan peningkatan pesat disinformasi yang dihasilkan oleh AI di media sosial, seperti yang dilaporkan oleh Center for Countering Digital Hate (CCDH), kasus ini dapat menjadi batu loncatan untuk diskusi yang lebih luas tentang perlindungan hukum dan etika dalam penggunaan teknologi AI dalam politik.
Kasus ini menunjukkan pentingnya regulasi yang lebih ketat dan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk mencegah penyalahgunaan teknologi dalam memanipulasi opini publik, terutama ketika melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Taylor Swift yang memiliki dampak besar dalam arena politik.