Bagaimana depresi dialami secara berbeda oleh anak laki-laki dan perempuan?
Persentase anak laki-laki yang melaporkan perasaan sedih atau putus asa meningkat dari 21 persen menjadi 29 persen.
Remaja di Amerika Serikat sedang menghadapi krisis kesehatan mental yang serius. Menurut survei nasional terbaru, lebih dari setengah anak perempuan SMA melaporkan perasaan "sedih atau putus asa" yang persisten. Sebaliknya, hampir sepertiga anak laki-laki SMA melaporkan perasaan serupa.
Dikutip dari sciencenews.org (21/7), psikolog Kathleen Ethier, kepala Divisi Kesehatan Remaja dan Sekolah di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), menyatakan bahwa situasi ini menunjukkan bahwa "tidak ada yang benar-benar baik-baik saja." Survei Perilaku Berisiko Remaja (Youth Risk Behavior Survey) yang dilakukan setiap dua tahun ini telah berlangsung sejak 1991.
Pada musim gugur 2021, lebih dari 17.000 siswa dari 31 negara bagian di Amerika Serikat menjawab sekitar 100 pertanyaan terkait kesehatan mental, pikiran dan perilaku bunuh diri, perilaku seksual, penggunaan zat, dan pengalaman kekerasan.
Grafik yang paling menarik perhatian media menunjukkan bahwa dari 2011 hingga 2021, persentase anak laki-laki yang melaporkan perasaan sedih atau putus asa meningkat dari 21 persen menjadi 29 persen. Sementara itu, pada anak perempuan, angka ini naik dari 36 persen menjadi 57 persen.
Para peneliti mengindikasikan bahwa beberapa perbedaan ini mungkin disebabkan oleh tekanan unik yang dihadapi anak perempuan di AS. Anak perempuan lebih rentan mengalami tekanan mental dari penggunaan media sosial, lebih mungkin mengalami kekerasan seksual, dan menghadapi iklim politik yang sering kali tidak ramah terhadap hak-hak perempuan.
Namun, perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan mungkin tidak sebesar yang ditunjukkan angka tersebut. Bukti menunjukkan bahwa depresi pada anak laki-laki dan pria cenderung muncul dengan cara berbeda dibandingkan dengan anak perempuan dan wanita. Anak perempuan lebih mungkin menginternalisasi perasaan, sementara anak laki-laki cenderung mengeksternalisasi perasaan mereka, sering kali dengan bertindak agresif atau mengambil risiko.
Menurut psikolog klinis Ryon McDermott dari Universitas South Alabama, "Kita perlu lebih mengenali bahwa beberapa anak laki-laki dan pria menderita, dan kita sering melewatkannya dalam penilaian kita."
Di pulau Gotland, Swedia, pada 1983, program pendidikan untuk dokter tentang depresi dan pencegahan bunuh diri menunjukkan penurunan drastis angka bunuh diri. Namun, penurunan ini hampir seluruhnya terjadi pada wanita. Para peneliti berhipotesis bahwa pria yang mengalami pikiran bunuh diri kurang mungkin mencari bantuan dan lebih mungkin diabaikan gejala depresinya oleh dokter.
Para peneliti, termasuk Wolfgang Rutz, mengembangkan alat screening khusus pria, seperti Male Depression Risk Scale, yang fokus pada penekanan emosi, kemarahan, dan agresi. Riset menunjukkan bahwa beberapa pria memenuhi kriteria depresi pada skala ini, tetapi tidak pada skala tradisional.
Menurut Leslie Adams dari Universitas Johns Hopkins, norma gender yang mendorong kontrol emosi dan kemandirian pada pria dapat memengaruhi cara mereka melaporkan perasaan depresi. Ini berdampak pada diagnosis dan pengobatan yang tepat untuk depresi pada anak laki-laki dan pria.
Mengakui perbedaan dalam manifestasi depresi berdasarkan gender dan memperbaiki alat screening dapat membantu mengidentifikasi dan merawat lebih banyak anak laki-laki yang menderita dalam diam. Hal ini juga dapat berdampak pada penurunan angka bunuh diri di kalangan remaja laki-laki, yang saat ini lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan.