Melacak pemain lokal pada peta ecommerce Indonesia
Kita masih salah kaprah dan cuma bisa ribut soal barang impor dan lokal
Membangun kesadaran di daerah
Aulia gelisah dengan kesadaran Pemerintah Daerah. Ia menunggu ada Kepala Daerah, baik Bupati ataupun Gubernur yang "paranoid" terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. Ia menilai, saat ini stakeholder paling agresif bergerak menanggapi isu seperti OTT asing dan ekonomi digital hanya sampai di level Kementrian.
"Saya belum pernah mendengar Bupati paranoid mendengar UKM-nya belum menuju pasar global. Betul ada barang Taobao di Lazada. Betul ada barang asing di beberapa ecommerce.Tapi kalau pemesanannya hanya satuan itu wajar. Yang banyak itu barang impor yang sudah ada di offline," kata Aulia.
Semuel A. Pangerapan, Dirjen Aptika Kemkominfo, menegaskan bila pihaknya telah melakuan upaya mengatur ekosistem digital di Indonesia ini, termasuk ecommerce. Akan tetapi membatasi investasi asing di sektor digital, sama saja menutup rezeki sendiri.
"Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), semua orang yang bertransaksi secara online harus terdaftar," ujar Semuel.
Masih dari keterangan Semuel, pemerintah tengah memperketat perusahaan penyelenggara sistem elektronik asing, agar selaras dengan perusahaan lokal.
"Kalau mau bisnis di Indonesia, ayo ikuti aturan main di Indonesia," kata Semuel.
Sementara itu, Doni Ismanto, Founder IndoTelko Forum, menilai keberpihakan dan konsistensi terhadap regulasi saat ini hanya jelas terlihat di industri finansial teknologi. BI dan OJK menjadi contoh bagus menurut Doni dalam menerapkan regulasi. Sementara di Kementrian lain, menurutnya masih kurang konsisten.
Keberpihakan
Pemain lokal di Indonesia bukannya tidak ada. Ecommerce yang menjadi wadah pengerajin lokal untuk memasarkan barangnya secara online, sudah ada. Qlapa.com misalnya, mentasbihkan diri sebagai mall online untuk produk buatan tangan asli orang Indonesia.
Kendati begitu, UKM lokal yang lain menangkap tren ecommerce ini cukup terlambat. Biensi Fesyenindo misalnya, perusahaan yang menaungi merek baju lokal itu baru masuk ekosistem ecommerce di awal 2018 ini. Padahal perusahaan yang dikenal orang berkat lini baju 3 Second, Greenlight, Moutley, Famo dan FMC, sudah berdiri sejak 1997.
Menanggapi hal ini, Aulia mengatakan, "Kalau ada teman-teman yang mengambil segmentasi yang kuat di UKM, yang satu kuat di brand, itu bisnis, itu strategi," katanya.
Kementrian Perindustrian (Kemenperin) juga menggenjot komoditas unggul UKM lokal seperti makanan, logam (komponen), herbal, furnitur, kerajinan tangan, fashion, dan kosmetik, untuk masuk ekosistem ecommerce. Gati Wibawaningsih, Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kemenperin mengatakan bahwa komoditas ini merupakan penyumbang devisa yang tinggi bagi negara (USD2,5 miliar). 2018 ini Kemenperin targetkan IKM berjualan di marketplace capai 4 ribuan jumlahnya.
Aulia menjelaskan lebih lanjut, pemerintah dan pelaku industri telah bergerak sejak 2017. idEA sebagai asosiasi induk ecommerce di Indonesia telah bergerak bersama Kemenperin dengan menggelar acara di level Provinsi. Di 2018, program ini akan berlanjut ke 15 kota. Menurut Aulia, itu cara idEA bersosilasisai kepada pemangku kebijakan di daerah.
Menurutnya, industri ecommerce yang mendukung percepatan ekonomi digital di Indonesia harus berggerak masif. Di sisi volume, produk UKM lokal tidak sampai 10 persen.
"Ini harus minimal 2/3 dari jumlah provinsi kita ikut bergerak, baru ekonomi (digital) kita tumbuh," ujar Aulia.
Persoalan yang pelaku industri dan Kemenperin hadapi di lapangan adalah, IKM (Industri Kecil Menengah) tidak cuma membutuhkan knowledge, tapi juga pendampingan. Mendampinginya pun dari berbagai lini, mulai dari edukasi, pemasaran, memperkuat daya saing, dan lain-lain.
Oleh karena itu isu barang impor membanjiri ecommerce Indonesia tidak aneh. Industri dan UKM kita, khususnya yang di daerah, masih perlu waktu agar tidak gagap teknologi.