sun
moon
Premium Partner :
  • partner tek.id acer
  • partner tek.id realme
  • partner tek.id samsung
  • partner tek.id wd
Selasa, 06 Feb 2018 16:50 WIB

Melacak pemain lokal pada peta ecommerce Indonesia

Kita masih salah kaprah dan cuma bisa ribut soal barang impor dan lokal

Data yang dikumpulkan We Are Social Januari 2018, memperlihatkan potensi ekonomi di sektor ecommerce Indonesia yang sangat besar. USD10,269 miliar (sekitar Rp140 triliun) dihabiskan konsumen Indonesia untuk membeli delapan komoditas di berbagai ecommerce, sepanjang 2017 silam.

Kendati begitu, hingga kini, kita selalu merasa menjadi pasar bagi pemain asing. Pasalnya produk yang beredar di ecommerce, terutama marketplace papan atas memang banyak beredar produk impor.

Aulia E. Marinto, Ketua Umum Asosiasi Ecommerce Indonesia (idEA), saat ditemui di Jakarta, Sabtu (3/2), mengatakan, dari sisi volume, produk lokal kita tidak sampai 10 persen di sektor ecommerce. Ia mencoba memberi konteks lebih jauh dari sudut pandang pelaku industri.

Dia mengatakan bahwa di level penjual barang, pola pikir pemain marketplace adalah memperluas pemasaran dari yang sebelumnya offline (toko) ke online (marketplace).

"Tidak ada yang keliru dengan persoalan bahwa online digunakan untuk menjual barang offline yang asalnya memang berjualan barang impor," ujar Aulia.

Aulia melanjutkan, akibat perkembangan teknologi, kini produk yang inventori atau posisinya ada di luar Indonesia, kini lebih mudah datang ke Indonesia. Untuk jalur perdagang semacam ini, Aulia nilai tidak terlalu banyak pesanannya.

"Tidak seperti yang kita takutkan, nanti dia pesan berkilo-kilo, berton-ton masuk ke Indonesia," ujarnya.

Berikut data infografis ecommerce Indonesia dari data We Are Social.

Membangun kesadaran di daerah

Aulia gelisah dengan kesadaran Pemerintah Daerah. Ia menunggu ada Kepala Daerah, baik Bupati ataupun Gubernur yang "paranoid" terhadap persoalan yang dihadapi saat ini. Ia menilai, saat ini stakeholder paling agresif bergerak menanggapi isu seperti OTT asing dan ekonomi digital hanya sampai di level Kementrian.

"Saya belum pernah mendengar Bupati paranoid mendengar UKM-nya belum menuju pasar global. Betul ada barang Taobao di Lazada. Betul ada barang asing di beberapa ecommerce.Tapi kalau pemesanannya hanya satuan itu wajar. Yang banyak itu barang impor yang sudah ada di offline," kata Aulia.

Semuel A. Pangerapan, Dirjen Aptika Kemkominfo, menegaskan bila pihaknya telah melakuan upaya mengatur ekosistem digital di Indonesia ini, termasuk ecommerce. Akan tetapi membatasi investasi asing di sektor digital, sama saja menutup rezeki sendiri.

"Dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), semua orang yang bertransaksi secara online harus terdaftar," ujar Semuel.

Masih dari keterangan Semuel, pemerintah tengah memperketat perusahaan penyelenggara sistem elektronik asing, agar selaras dengan perusahaan lokal.

"Kalau mau bisnis di Indonesia, ayo ikuti aturan main di Indonesia," kata Semuel.

Sementara itu, Doni Ismanto, Founder IndoTelko Forum, menilai keberpihakan dan konsistensi terhadap regulasi saat ini hanya jelas terlihat di industri finansial teknologi. BI dan OJK menjadi contoh bagus menurut Doni dalam menerapkan regulasi. Sementara di Kementrian lain, menurutnya masih kurang konsisten.

Keberpihakan

Pemain lokal di Indonesia bukannya tidak ada. Ecommerce yang menjadi wadah pengerajin lokal untuk memasarkan barangnya secara online, sudah ada. Qlapa.com misalnya, mentasbihkan diri sebagai mall online untuk produk buatan tangan asli orang Indonesia.

Kendati begitu, UKM lokal yang lain menangkap tren ecommerce ini cukup terlambat. Biensi Fesyenindo misalnya, perusahaan yang menaungi merek baju lokal itu baru masuk ekosistem ecommerce di awal 2018 ini. Padahal perusahaan yang dikenal orang berkat lini baju 3 Second, Greenlight, Moutley, Famo dan FMC, sudah berdiri sejak 1997.

Menanggapi hal ini, Aulia mengatakan, "Kalau ada teman-teman yang mengambil segmentasi yang kuat di UKM, yang satu kuat di brand, itu bisnis, itu strategi," katanya.

Kementrian Perindustrian (Kemenperin) juga menggenjot komoditas unggul UKM lokal seperti makanan, logam (komponen), herbal, furnitur, kerajinan tangan, fashion, dan kosmetik, untuk masuk ekosistem ecommerce. Gati Wibawaningsih, Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kemenperin mengatakan bahwa komoditas ini merupakan penyumbang devisa yang tinggi bagi negara (USD2,5 miliar). 2018 ini Kemenperin targetkan IKM berjualan di marketplace capai 4 ribuan jumlahnya.

Aulia menjelaskan lebih lanjut, pemerintah dan pelaku industri telah bergerak sejak 2017. idEA sebagai asosiasi induk ecommerce di Indonesia telah bergerak bersama Kemenperin dengan menggelar acara di level Provinsi. Di 2018, program ini akan berlanjut ke 15 kota. Menurut Aulia, itu cara idEA bersosilasisai kepada pemangku kebijakan di daerah.

Menurutnya, industri ecommerce yang mendukung percepatan ekonomi digital di Indonesia harus berggerak masif. Di sisi volume, produk UKM lokal tidak sampai 10 persen.

"Ini harus minimal 2/3 dari jumlah provinsi kita ikut bergerak, baru ekonomi (digital) kita tumbuh," ujar Aulia.

Persoalan yang pelaku industri dan Kemenperin hadapi di lapangan adalah, IKM (Industri Kecil Menengah) tidak cuma membutuhkan knowledge, tapi juga pendampingan. Mendampinginya pun dari berbagai lini, mulai dari edukasi, pemasaran, memperkuat daya saing, dan lain-lain.

Oleh karena itu isu barang impor membanjiri ecommerce Indonesia tidak aneh. Industri dan UKM kita, khususnya yang di daerah, masih perlu waktu agar tidak gagap teknologi.

Share
×
tekid
back to top