Smartphone Nokia kirim data ke China, Finlandia gelar investigasi
Pengawas perlindungan data Finlandia pun mengaku sudah menegur HMD Global dan melakukan investigasi terkait masalah tersebut.
Nokia kini mulai mendapatkan traksi penjualan di beberapa negara, salah satunya adalah di Eropa dan sekitarnya. Penjualan mereka terlihat cukup menjanjikan, dengan menawarkan rangkaian smartphone dari mulai entry level hingga high-end.
Namun, baru-baru ini HMD Global sebagai pemegang merek Nokia mendapat sebuah teguran keras dari pemerintah Finlandia. Pengawas perlindungan data Finlandia menegur mereka karena adanya dugaan pengiriman data pengguna ke sebuah server di China.
Hal ini bermula dari salah satu pemilik Nokia 7 yang bernama Henrik Austad. Pria berkewarganegaraan Finlandia itu menyebut bahwa dirinya melihat adanya lalu lintas data dari smartphone Nokia-nya mengirimkan informasi yang tidak dienkripsi ke server China saat dihidupkan. Data sensitif dilaporkan termasuk lokasinya, serta nomor kartu SIM dan nomor seri telepon.
Engadget (22/3/2019) melaporkan, server tersebut berada di bawah domain vnet.cn, yang dilaporkan dikelola oleh perusahaan telekomunikasi milik negara China Telecom. Ombudsman perlindungan data Finlandia, Reijo Aarnio mengatakan bahwa dia akan menilai apakah ada pelanggaran yang melibatkan informasi pribadi dan jika ada pembenaran hukum untuk masalah tersebut.
HMD Global pun dilaporkan telah mengakui bahwa sejumlah ponsel Nokia 7 telah mengirim data ke China. Mereka sudah melakukan beberapa pendekatan untuk memperbaiki "kesalahan" ini dalam pembaruan perangkat lunak Januari, yang sebagian besar pelanggan telah instal.
HMD mengklaim ponsel tidak mengirim data pribadi apa pun yang dapat mengidentifikasi pemiliknya. Nokia 7 sendiri adalah perangkat eksklusif China yang diluncurkan pada Oktober 2017. Versi generasi kedua, Nokia 7.1, dirilis di Amerika setahun kemudian. Jadi, mereka agak sedikit heran bagaimana seseorang di Eropa dapat memiliki perangkat tersebut.
Merujuk pada undang-undang privasi yang diberlakukan oleh Uni Eropa tahun lalu, Aarnio mengatakan bahwa reaksi pertamanya adalah hal ini setidaknya bisa menjadi pelanggaran undang-undang GDPR.
Google sudah melanggar pedoman di Prancis awal tahun ini, di mana Google dikenai denda hingga USD57 juta atau Rp814 miliar untuk sejumlah pelanggaran privasi data dan seakan memaksa para penggunanya untuk memakai sebuah produk.