Social commerce sedang ramai, ini dampak bagi UMKM
Sedang ramai diperbincangkan, ini kata ahli soal pengaruh social commerce bagi UMKM dan bagaimana pemerintah harus meresponnya.
Perkembangan bisnis digital di Indonesia saat ini sedang meningkat dengan drastis. Namun, di balik meningkatnya bisnis digital, topik mengenai social commerce belakangan ini sedang disoroti oleh banyak pihak.
Soalnya, saat ini semakin banyak media sosial yang menawarkan fitur bisnis di platform mereka, seperti contohnya menawarkan live shopping. Fitur ini pun memberikan kemudahan bagi para UMKM, dimana juga membuka tantangan baru bagi mereka yang baru bertransformasi secara digital.
Dengan berkembangnya bisnis digital, termasuk social commerce ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan tengah melakukan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 mengenai Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Diambilnya langkah ini dilakukan untuk melindungi pemain UMKM di Indonesia, yang mulai “teriak” karena merasa dirugikan karena praktik social commerce ini. Padahal, mereka masih bergelut dengan transformasi digital.
Namun, menurut praktisi pemasaran dan behavioral science, Ignatius Untung, hal ini tidak dapat dipungkiri. Dia mengatakan, di Indonesia sendiri kita sudah merasakan perkembangan cepat beberapa evolusi bisnis digital dalam 20 tahun terakhir ini.
“Di Indonesia diawali dengan Classified macam Kaskus FJB lalu berkembang menjadi eCommerce/marketplace. Lalu sekarang muncul social commerce,” ujar Untung Workshop Jurnalis bertajuk “Dampak Social Commerce pada UMKM di Indonesia” yang digelar FORWAT (15/9).
Perkembangan ini memiliki keuntungan masing-masing. Jika pada masa Classified pengguna tidak memiliki perlindungan saat membeli barang, pada zaman eCommerce/marketplace, pembeli mendapatkan perlindungan saat membeli barang secara online.
Sedangkan di zaman social commerce, pengguna akan mendapatkan keuntungan seperti bisa langsung mendapatkan rekomendasi produk yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan mereka di dalam satu platform.
Di sisi lain, pengguna juga dapat langsung membeli barang yang mereka inginkan tanpa harus berganti aplikasi. Sedangkan untuk para penjual, mereka dapat mengembangkan usaha mereka dalam satu platform tanpa harus membuat dua akun terpisah untuk memasarkan barang mereka serta akun untuk berjualan.
Namun, untuk melindungi para pelaku industri di Indonesia, pemerintah harus turun tangan dan membuat aturan serta anjuran bagi para platform untuk dapat membuat persaingan bisnis di platform media sosial lebih sehat.
Untung menyebut, pemerintah harusnya dapat dengan cerdas membuat peraturan baru untuk menunjang era bisnis baru, dan mengurangi peraturan lama yang sudah tak lagi relevan.
Di sisi lain, ketua Umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura juga memiliki pandangan yang sama. Dia mengatakan bahwa perkembangan teknologi akan sangat cepat, sedangkan regulasi akan selalu terlambat.
“Teknologi akan terus berkembang dengan cepat, sementara regulasi pasti akan terus tertinggal. Oleh karena itu, prinsip regulasi yang harus ditanamkan dapat melindungi semua pihak, baik konsumen, pengusaha dan kedaulatan negara,” paparnya.
Dia menyebut, peraturan ini harus menghindari iklim yang tidak adil bagi pelaku industri dan merusak iklim usaha seperti adanya regulasi anti-kompetitif, keamanan data, regulasi payment, delivery serta regulasi standarisasi produk dan perlindungan konsumen.
Pemerintah perlu aktif mengadakan konsultasi terbuka dengan Perusahaan, kelompok industri serta konsumen yang akan terkena dampak dari peraturan baru mereka.
Bukan hanya dari sisi pengamat saja, acara kali ini juga mengundang pelaku UMKM itu sendiri, Kali ini, hadir Andre Oktavianus yang merupakan pemilik UMKM jual beli baju anak Kiminori Kids.
Sebagai pengguna salah satu platform social commerce, yakni TikTok, dia mengatakan bahwa usahanya mendapatkan keuntungan yang cukup besar saat menggunakan layanan TikTok Shop.
Tak hanya sampai di situ saja Andre mengatakan bahwa yang mendapatkan manfaat dari social commerce ini bukan hanya pedagang saja, melainkan para afiliator juga dapat mencari nafkah dari platform ini.
“Affiliator ini seperti reseller, dan ini hanya ada di TikTok Shop. Rata-rata UMKM memiliki ratusan reseller atau affiliate,” ujarnya.
Dia juga bercerita, salah satu afiliator yang dia kenal merupakan tulang punggung keluarga, kebanyakan para single parent. “Menjadi afiliator biasanya memiliki modal yang minim, dengan smartphone saja biasanya sudah cukup. Oleh karena itu banyak yang memilih rute ini,” ujar Andre.
Sedangkan mengenai rencana pemisahan social commerce dari media sosial seperti yang sedang direncanakan pemerintah, Andre mengatakan bahwa rencana ini akan mematikan mata pencaharian reseller atau afiliator.
“Kalau ditanya dampaknya apa buat saya, kasarnya sih, saya mungkin masih bisa makan, ya. Tapi, saya bisa pastikan dampak ini akan sangat terasa bagi para afiliator. Mereka itu jumlahnya banyak sekali dan dapat meningkatkan kontribusi penjualan, serta menambah uang saku mereka juga,” jelas Andre. Sebagai informasi, saat ini Andre memiliki lebih dari 1.000 afiliator terdaftar dengan kisaran 200-300 afiliator aktif.