Wajah Facebook di tahun Pemilu, elo ribut mereka untung
Apa yang harus elo ketahui saat scrolling di laman Facebook?
Eksekutif Facebook sedang pusing. Bukan karena mereka kekurangan duit. Facebook mendapat sorotan tajam setelah ketahuan enggak bisa menjaga data pribadi sekitar 50 juta penggunanya di Amerika Serikat.
Semua berawal dari laporan The New York Times dan The Observer tentang Cambridge Analytica. Cambridge Analytica ini adalah konsultan politik yang berbasis di London, Inggris. Kalau susah membayangkan, ingat saja Saiful Mujani, Burhanuddin Muhtadi, Eeep Saefulloh Fatah atau M Qodari yang saban Pemilu muncul di televisi. Peran Cambridge kurang lebih sama dengan para konsultan politik di atas. Mereka membantu memenangkan Donald Trump saat pemilihan presiden tahun 2016 lalu.
Kata dua harian internasional itu, Cambridge Analytica berhasil membaca dan mempengaruhi pikiran rakyat Amerika ketika pemilu berlangsung pada tahun 2016. Apa rahasianya? Cambridge Analytica memanfaatkan profil 50 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat yang diperoleh secara ilegal. Ini bukan profil biasa seperti biasa kita lihat di akun sendiri. Peneliti menyebutnya sebagai profil psikografis. Artinya, profil yang sudah dilengkapi informasi mengenai analisis kepribadian, nilai-nilai hidup, ketertarikan, dan gaya hidup pengguna Facebook.
Profil psikografis tersebut awalnya disusun Aleksandr Kogan, peneliti dari Universitas Cambridge pada tahun 2014 untuk kebutuhan ilmiah. Ketika itu, dengan tujuan ilmiah, Facebook mengundang pengguna untuk mengikuti serangkaian kuis kepribadian yang dikembangkan Kogan.
Kogan merancang kuis ini agar bisa tak hanya bisa mengambil data pesertanya, tetapi juga teman-teman mereka. BBC melaporkan, sebanyak 270 ribu pengguna mengikuti kuis tersebut.
Dari kuis itu, peneliti menyusun profil pengguna dengan detail, termasuk mengukur keterbukaan, kehati-hatian, pandangan politik, ketertarikan, kepercayaan terhadap zodiak dan macam-macam.
Masih belum jelas bagaimana hasil penelitian ini bisa bocor ke tangan konsultan politik semacam Cambridge Analytica. Yang jelas, mereka sudah memanfaatkannya untuk menyusun dan menyebarkan konten pro-Trum selama Pemilu lalu. Ibaratnya, ini semacam super-targeted ads yang pasti akan "dimakan" audiesnya.
Dari kacamata politik praktis, taktik Cambridge Analytica sebetulnya brilian. Siapa calon yang tak mau disuguhi profil pemilih yang sedemikian rinci?
Tapi justru di situlah masalahnya. Kita sedang memasuki tahun politik. Sangat besar kemungkinan para konsultan politik akan memanfaatkan Facebook --juga Twitter-- sebagai senjata untuk memenangkan kandidat unggulannya. Facebook cocok untuk targeted ads, sedangkan Twitter sudah sangat terlalu biasa dipakai untuk menyebar isu dalam bentuk kultwit sampai trending topics pesanan.
Pengaruhnya enggak bisa diremehkan. Pengguna Facebook di Indonesia per Juli 2017, menurut We Are Social, mencapai 115 juta. Sementara Statista memprediksi, pengguna Twitter akan mencapai 20,9 juta pada tahun ini.
Kalau Amerika Serikat terlalu jauh sebagai contoh betapa kuatnya pengaruh Facebook, kita bisa terbang ke Myanmar. Pekan lalu, Kepala Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Myanmar, Marzuki Darusman, menyatakan bahwa Facebook berperan penting dalam kemungkinan genosida di Myanmar dengan menyebarkan ujaran kebencian.
Mirip dengan Indonesia, rakyat dan pemerintah Myanmar senang menggunakan Facebook untuk menyebarkan informasi. Sayangnya, penyebar tersebut termasuk kelompok ultra-nasionalis.
Di Indonesia, Facebook digunakan hampir seluruh lembaga negara, termasuk Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan informasi. Demikian juga kelompok-kelompok penyebar ujaran kebencian atau yang senang memancing kerusuhan menggunakan isu suku, ras, agama, dan antargolongan.
Intinya, gue cuma mau bilang, berhati-hatilah mengolah semua informasi di media sosial di tahun politik ini. Kita sesungguhnya tak tahu, siapa sedang memainkan apa. Akan jadi sangat konyol jika kita terpancing isu sensitif, sementara sang kreator justru menangguk untung. Kok bisa?
Biaya jasa konsultan politik pemenangan Pemilu tak ada yang murah. Apalagi jika konsultan itu sudah termasuk menggarap operasi di media sosial dengan menciptakan personal branding, menyerang lawan dengan isu tertentu, melancarkan propaganda, menjatuhkan lawan, sampai mempengaruhi pikiran pembaca melalui targeted ads.
Metodenya bisa sangat halus sampai-sampai elo enggak sadar sedang dicekoki konten untuk menonjolkan figur tertentu. Seperti sudah gue bahas di artikel ini, konten yang mereka buat seringkali tidak bertujuan untuk mengubah pandangan audiens mereka, tapi untuk memperkuat kepercayaan tersebut dengan cara "mengonfirmasi" pandangan yang seseorang telah miliki.
Contohnya, berdasarkan analisis profil di Facebook, elo ternyata pengagum semua ulama dan ustadz, benci dengan hal-hal berbau maksiat, tak suka LGBT, suka membaca berita dari situs-situs berbau agama. Sang konsultan politik akan mencekoki elo melalui timeline Facebook atau Twitter dengan berita mengenai kandidat A yang ternyata dekat dengan ulama, atau sebaliknya, kandidat A yang ternyata doyan berjudi di casino-casino Singapura, atau alternatif lain mengenai kandidat B yang ternyata pernah menyatakan mendukung LGBT. Semua terasa berjalan seperti natural bukan?