Aku Kiki Amelia, influencer itu harus otentik
Bagaimana gadis belia ini memulai karir sebagai influencer dari hal yang sederhana?
Namaku Kiki Amelia. Nama cantik pemberian kedua orangtuaku yang mengemban banyak harapan agar menjadi wanita dengan ambisi kuat dan pekerja keras. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara, lahir dan besar di Jakarta. Usiaku baru menginjak 23 tahun. Kalau ditanya asli mana, aku ini berdarah campuran. Kedua orangtuaku berasal dari daerah yang berbeda. Papaku dari Aceh, sedangkan mamaku orang Jawa. Kata mamaku, aku juga punya silsilah keluarga dari Belanda.
Aku sudah tertarik dunia fotografi sejak SMP, dan sempat ikut ekstrakurikuler fotografi. Tapi, waktu itu, teman-teman sering bilang, “Kamu itu enggak cocok moto, lebih cocok kalau difoto,”.
Awal Mula Menjadi Influencer
Berhubung kuliah di Universitas Multimedia Nusantara, sepertinya aku butuh kamera buat mendukung kuliahku. Awalnya, aku kuliah jurusan Jurnalistik, sebelum akhirnya pindah jurusan ke Public Relation (PR). Jurnalistik menurutku seru, tapi ternyata aku enggak bisa menulis panjang-panjang dan tertata seperti para jurnalis. Mungkin karena aku kurang kreatif hahaha.
Karena sudah terlanjur beli kamera, sayang kan kalau kameraku tidak dipakai. Dari sini, aku mulai iseng-iseng foto dan aku share di media sosial pribadi, Facebook dan Instagram. Eh, ternyata banyak yang suka foto-fotoku dan mulai banyak yang ngajakin jalan buat foto-foto sampai minta promosiin dan itu. Mungkin, dari sini ceritaku menjadi seorang influencer.
Menurut aku, menjadi influencer itu adalah bagaimana kita bisa mempengaruhi orang lain, bukan memposisikan kita sebagai public figure. Aku merasa bisa mempengaruhi orang lain dari posting-an aku, dan ternyata banyak yang suka, banyak yang like. Dari situ, teman-teman makin banyak yang bertanya kepada aku, biasanya nanya lokasi fotonya atau harga produknya.
Kontrak dan strategi posting
Tahun 2016, aku sempat bekerjasama dengan beberapa agensi dan perusahaan. Aku dinilai sebagai influencer daripada endorser. Materi konten-kontenku mewakili campaign mereka seperti.
Berhubung sudah menjadi influencer, aku jadi tidak bisa sembarangan posting konten lagi. Biasanya, aku bekerjasama dengan perusahaan yang menyediakan produk-produk fashion atau lifestyle. Alasannya, aku cocok dengan produk-produk seperti itu.
Aku memiliki strategi sendiri untuk mendaatkan hasil sebagus mungkin saat posting. Menurutku, prime time buat posting konten adalah di sore hari. Kebanyakan teman-teman aku masih kuliah dan bekerja, waktu luang untuk mengakses media sosial mulai dari sore hingga malam hari. Aku jarang banget posting konten di pagi hari, kecuali ada permintaan khusus dari klien.
Kesulitan dan keuntungan menjadi Influencer
Menjadi seorang influencer tentu memiliki tantangan. Aku tidak ingin menyebutnya sebagai kesulitan. Menurut aku, tantangannya dari aku sendiri. Aku enggak mau membuat konten asal-asalan, harus dipikirkan banget, dan porsinya harus pas. Apalagi permintaan dari klien, harus digarap serius kan?
Misalnya, kalau kemarin aku posting konten yang ramai, untuk selanjutnya sebisa mungkin aku posting jangan yang ramai lagi. Takutnya, teman-teman malah jadi malas untuk melihatnya. Karena itu, biasanya aku butuh satu hari buat menyelesaikan satu konten hingga siap upload. Menulis caption juga paling sering makan waktu, sedangkan ide konten tidak terlalu susah.
Hal positif yang bisa aku dapetkan sejak menjadi influencer adalah relasiku bertambah luas. Awalnya hanya mengenal dan berhubungan dengan orang-orang agensi, sekarang sudah dipercaya oleh perusahaan berskala besar.
Rencana ke depan
Aku berpikir untuk membuat blog, dalam waktu dekat, karena menurutku seorang influencer harus memiliki blog, seperti influencer terkenal, Olivia Lazuardi dan Anastasia Siantar. Mengapa? karena influencer bisa menceritakan lebih detail apa yang dia pakai, juga bercerita tentang pengalamannya. Dari situ, akan lebih mudah mempengaruhi orang lain.
Aku memilih blog dibanding konten video di YouTube. Kebiasaan orang adalah mencari sesuatu di Google dan akan mengarahkan mereka kepada blog.
Haters itu “sahabat”
Puji Tuhan, aku belum punya haters karena kontenku juga normal-normal aja. Yang lebih banyak berkomentar adalah teman-teman aku sendiri, dan sebisa mungkin aku balas. Aku sadar, interaksi itu penting. Kalau kita tidak pernah membalas komentar, malah bisa dicap sombong.
Tidak terlalu mengikuti tren dan persaingan kian ketat
Mengikuti tren itu baik. Artinya, kita paham dengan apa yang sedang terjadi saat ini, terutama di dunia fashion. Tapi, aku lebih senang menampilkan apa adanya aku. Karena dengan menunjukan apa adanya aku, aku jadi punya keunikan sendiri. Berrybenka pernah memilih aku sebagai influencer mereka karena mereka suka melihat gaya aku. “Enak dilihat”.
Di mana pun pasti ada yang namanya pesaingan, begitu juga influencer. Zaman makin canggih, perkembangan teknologi kian pesat followers dan like bisa dibeli. Aku tetap bertahan dengan selalu menampilkan konten-konten yang fresh saja, dari sisi foto juga caption. Melihat semakin ramainya tren influencer di media sosial, sekarang aku lebih memilih klien yang memiliki badan usaha, tidak cuma online shop.
Tips menjadi influencer yang baik ala Kiki Amelia
Tips menjadi influencer hanya dua: tahu diri dan be authentic.