Qualcomm, 5G, dan hal-hal yang belum selesai
Dialog soal proyeksi masa depan 5G bersama pemimpin Qualcomm Indonesia.
Siang itu saya bergegas. Saya ada jadwal bertemu Shannedy Ong, Country Director Qualcomm Indonesia. Saking bersemangat dan mengingat pentingnya obrolan kami, saya pun datang terlalu cepat. Setengah jam sebelum waktu yang kami sepakati.
Beruntungnya, waktu itu Shannedy sudah selesai rapat dengan tim komunikasinya. Jadi, kedatangan saya yang terlalu cepat tidak jadi mengganggunya.
Kemudian, tepat di atas meja makan yang belum lagi beres dari sisa-sisa makan siang itu, kami berdialog panjang lebar. Tema dialog kami pun terbilang futuristik. Membahas soal 5G. Teknologi jaringan internet bergerak generasi ke-5.
Apa memang sudah waktunya kita bicara soal 5G saat ini? Padahal, baru dua-tiga tahun lalu rasanya kita menikmati 4G. Namun, seperti halnya kedatangan saya yang terlampau cepat, 5G pun tampaknya bakal segera menyergap.
Sebelum dialog kami mengawang-ngawang soal wajah dunia dan Indonesia di era 5G nanti, saya teringat bahwa sudah banyak sekali lompatan teknologi yang telah kita lalui dari generasi awal (1G) hingga kini (4G).
“Saya ingin Anda tahu dahulu. 1G itu analog, 2G itu sudah mulai masuk ke digital: bisa kirim SMS dan basic data yang sederhana. 10 tahun kemudian, 2G beralih ke 3G. 3G ini mobile broadband pertama. Kita jadi bisa mengirim data karena ada paket kuota data. Dari 3G masuk ke 4G. Ini sudah masuk ke era mobile broadband yang lebih luas lagi,” ujar Shannedy.
Sambil mendengar penjelasannya, saya pun membayangkan masa-masa sekolah saya dahulu, di mana komunikasi waktu itu masih menggunakan ponsel sederhana. Kemampuannya hanya bisa untuk SMS dan telepon.
Akan tetapi, kini saya merasakan sendiri betapa drastisnya perubahan gaya hidup saya di era 4G. Pesan ojek online pakai smartphone. Belanja di e-commerce lewat smartphone. Semuanya sudah berbeda sama sekali.
Speed dan latency super cepat
“Dari 4G ke 5G kecepatannya sudah sampai gigabit. Jadi, kita sebutnya gigabit LTE. Standarnya baru dirilis oleh 3GPP untuk standar internasionalnya,” ujar Shannedy.
Hal lain yang membedakan 5G dengan 4G adalah latency. Latency inilah biang keladi dari persoalan buffering (hambatan) saat Anda membuka Youtube di smartphone Anda, misalnya. Di era 5G nanti, latency ini akan sangat rendah.
“Latency 4G bisa sampai 30 millisecond per detik. Tapi, kalau bicara 5G itu sudah single digit millisecond,” ujar Shannedy.
Apa arti dari pernyataan Shannedy? Ini artinya bahwa sinyal yang ditembakkan dari poin A ke poin B, kecepatannya hanya dalam waktu 1 detik kurang.
“Itu cepat banget. Dengan latency yang rendah ini, banyak sekali yang bisa dimanfaatkan dari teknologi 5G,” ujar Shannedy.
Gambaran kehidupan masa depan
Sadar atau tidak, kecepatan dan kepraktisan mengakses internet saat ini mengubah gaya hidup kita. Di era 4G lah kita tumbuh bersama startup macam GoJek. Lalu, ada banyak pemuda-pemudi yang belum lagi berusia 25 tahun, namun sudah bisa cari untung di platform media sosial, baik Instagram dan YouTube.
5G juga akan menciptakan peluang dan komoditas ekonomi baru di eranya, atau bahkan sesuatu yang tak terpikirkan oleh kita sebelumnya. Shannedy memberikan gambaran demikian.
“Yang ketiga dengan teknologi 5G itu akan menciptakan (ekosistem) Internet of Things (IoT) yang masif. Kita kalau sudah ada di (era) massive IoT, sudah tidak berkomunikasi hanya dengan manusia lagi, tapi juga dengan mesin,” ujar Shannedy.
Dalam hati saya pun bertanya-tanya, “Jadi nanti, di era 5G saya bisa bicara dengan robot?”
Untung Shannedy menjelaskan dengan gamblang, apa yang dia maksud dengan komunikasi antara manusia dengan mesin ini. Konteksnya memang tidak seharfiah komunikasi antara manusia dengan robot. Akan tetapi, komunikasi antara manusia dan mesin memiliki konteks, manusia akan mudah mengontrol segala benda di sekitarnya. Syaratnya, benda terebut tersambung dengan internet.
“Contoh paling gampang misalnya di rumah kita. Semua alat-alatnya bisa terkoneksi dengan 5G nantinya apabila dipasangi sensor. Maka kita bisa mengontrolnya dengan smartphone kita,” ujar Shannedy.
Hal terakhir yang bisa terjadi di era 5G adalah, komunikasi real time. Apa maksudnya? Artinya, ketika kita melakukan panggilan melalui video, maka komunikasi dengan orang tersebut, sama persis dengan aslinya, tanpa ada jeda waktu yang terlalu panjang.
Manfaat komunikasi secara real time ini sangat besar sekali bagi pengguna. Shannedy mencontohkan, “Misalnya ada seorang dokter di Jakarta, pasiennya di Kalimantan. Kalau tidak pakai teknologi 5G, pasien bisa meninggal karena komunikasinya tidak real time,” ujar Shannedy.
Inilah yang Shannedy sebut sebagai istilah Mission Critical Services.
Membangun ekosistem
Qualcomm sadar, mereka mungkin penyedia tulang punggung teknologi 5G. Hanya saja, mereka tidak bisa menciptakan masa depan itu sendirian. Semua orang perlu disadarkan dan diberi tahu soal kesempatan yang sangat besar ini.
“5G itu teknologi yang implementasinya harus ada kerja sama antara pemerintah, operator, rekanan produsen perangkat mobile (OEM), juga penyedia konten,” ujar Shannedy.
Pekerjaan rumahnya masih banyak juga setelah itu. Konsumen pun perlu edukasi mengenai teknologi anyar ini. Mulai dari para pelaku bisnis, hingga konsumen pengguna akhir.
Shannedy menekankan, khusus bagi pengguna akhir, teknologi ini akan sangat berbeda sekali dengan teknologi 4G. Itu artinya, Anda siap-siap untuk sedikit beradaptasi lagi.
Satu hal yang Qualcomm ingin segera lakukan di Indonesia. Apabila semua dukungan dan ekosistem fundamental penyokong 5G ini tercukupi, mereka ingin melakukan demonstrasi. Itu adalah cara paling efektif untuk mengedukasi pasar.
Mengutip kata-kata Shannedy, “Dari (demo) itu orang bisa melihat perbedaannya yang sangat signifikan,”
Well, ada saja memang yang skeptis terhadap kemajuan teknologi. Sampai muncul pertanyaan, apa perlunya internet super kencang, atau bisa streaming video 4K di benda sekecil smartphone?
Bagi visioner dan futuris, kecepatan jaringan internet ini bukan perkara sesederhana membuka browser dan aplikasi YouTube. Semakin baik user experience yang bisa kita hadirkan bagi orang banyak, maka permintaan akan teknologi akan tercipta dengan sendirinya.
“Semakin lama, permintaan user terhadap speed konektivitas data juga semakin tinggi. Dulu mengirim foto 2-3MB saja senangnya bukan main,” kata Shannedy.
Namun jauh di depan perkara kecepatan internet, masuknya 5G akan mengubah model bisnis kita di masa depan.
PR utama
Masalah yang paling fundamental yang harus ditentukan, agar implementasi 5G di Indonesia bisa cepat terlaksana adalah spektrum. Konektivitas 5G ini berbeda dengan 4G. Ia membutuhkan spektrum yang sangat besar di sisi bandwith. Karena ketika bicara speed yang tinggi, maka itu berimbas pada kebutuhan kapasitas internet yang tinggi pula.
Qualcomm sebenarnya sudah berdialog dengan pemerintah perihal kebutuhan mendasar ini. Qualcomm juga tak segan berbagi pengalaman soal praktik terbaik yang sudah dijalankan di luar negeri. Harapannya, ini memberikan gambaran teknis kepada pemerintah ketika mulai menyusun struktur 5G itu nanti. Pada akhirnya nanti, operator telekomunikasi di Indonesialah yang menerima manfaat itu semua.
Meski sudah berdialog dengan pemerintah, Qualcomm belum mendengar ada rencana solid soal implementasi 5G di Indonesia. Shannedy pun memprediksi, Indonesia baru bisa masuk di era 5G, paling cepat 2021 mendatang.
Di lain sisi, operator telekomunikasi Indonesia sangat tertarik implementasi 5G secepatnya. Pasalnya, 5G memungkinkan timbulnya layanan baru yang sekaligus menciptakan sumber pendapatan baru bagi operator telekomunikasi Indonesia.
Sementara itu, Qualcomm terus ngebut dengan rencana komersialisasi 5G di level global. Apabila kompetitor mereka baru mampu menyediakan layanan 5G komersil di tahun 2020, Shannedy percaya diri menyebut, Qualcomm sudah bisa menghadirkan teknologi ini di akhir 2019 nanti.
“Original forecast itu tahun 2020 tapi kita setahun lebih maju, akhir 2019 mungkin sudah ada perangkat komersial kita yang pakai 5G,” ujarnya.
Mendengar hal itu, saya jadi semringah. Entah mengapa makan siang kali ini membuat saya puas, meski sebenarnya pasta salmon di bistro itu kurang cocok dengan lidah lokal saya. Bisa jadi, mendengar cerita masa depan yang cerah di era 5G nanti, menstimulasi kesenangan yang lain dari biasanya dalam diri saya.