Rade Tampubolon, jeli melihat peluang di industri Selebgram
Konten dan media sosial telah mengubah nasib Rade Tampubolon dari pegawai ke pendiri startup
Rade Tampubolon, mengawali karirnya sebagai marketer di Orang Tua Group. Tidak disangka-sangka, aktivitas pekerjaannya sebagai marketer membuatnya menemukan perusahaannya sendiri, SociaBuzz. Ini adalah platform digital baru sekaligus pelopor dalam memperkenalkan sektor digital influencer marketing di Indonesia.
Jakarta waktu itu dirundung gerimis. Saya ingat, janji bertemu dengan Rade hampir gagal kalau tidak nekat menerjang gerimis. Akhirnya saya bertemu dengannya secara langsung di bilangan Plaza Senayan. Kesan pertama saya terhadapnya adalah, orangnya sederhana dan bersahaja. Tapi ketika saya mulai mengobrol dengannya, baru saya sadari bahwa ia memang seorang marketer sejati.
Rade mulai bercerita, bagaimana ia mengawali SociaBuzz di 2012. Tahun itu, platform Twitter sudah mulai memicu lahirnya aktivitas influencer marketing. Kalau masih ingat istilah Buzzer di zaman itu?
SociaBuzz sendiri Rade akui sebagai proyek iseng pada awalnya. Tahun itu pun ia masih berstatus sebagai marketer di Orang Tua Group. Memang kedengarannya agak curang, tapi di dunia startup, cerita seperti Rade ini sudah lumrah.
Rade mengingat-ingat awal mula ia memperjuangkan SociaBuzz. “Waktu itu kendalanya kalau menghubungi Buzzer satu-satu kan repot, harus manual. Jadi kepikiran Bagaimana ya otomatisasinya biar lebih sederhana. Akhirnya cobalah bikin (SociaBuzz) 2012. Sudah launching, tapi waktu itu belum fokus,” kisah Rade.
Perlahan tapi persisten, Rade melihat peluang membesar di 2014. Apa yang ia tekuni tampaknya punya pasar yang besar. Tahun itu pula Rade fokus untuk total berkecimpung.
Waktu itu ekosistem influencer marketing di Indonesia sudah mulai diadopsi brand. Bahkan brand juga sudah mulai megalokasikan dana untuk aktivitas influencer marketing ini.
Pengamatannya pun tidak salah. Influencer marketing mulai meledak 2015. Pasarnya tumbuh dan sekarang sudah jadi umum di kalangan pemasar. Bagi orang awam, istilah Selebgram dan YouTuber pun tidak asing lagi di telinga mereka. Maret 2015, SociaBuzz beroperasional secara penuh.
Menatap masa depan
Menurut Rade, Influencer Marketing ini punya masa depan yang panjang. Dasar pemikirannya adalah kebutuhan manusia akan konten. “Orang akan tetap terpengaruh dengan orang lain. Bahkan orang mulai ingin mengikuti idolanya. Contohnya seperti anak-anak zaman dulu, ketika melihat band idolanya ingin menjadi Rockstar. Kalau sekarang malah beralih menjadi YouTuber,” kata Rade.
Untuk mengakomodasi kebutuhan pasar, SociaBuzz pun bertransformasi. Ia bukan sekedar platform penghubung antara influencer dengan brand, mereka juga memayungi platform-nya dengan perusahaan agensi sendiri. Ini demi mengakomodasi kebutuhan khusus dari brand, serta mempermudah layanan dan platform mereka terintegrasi dengan baik.
Uniknya, semua orang yang memiliki akun media sosial, punya kesempatan untuk ambil bagian. Untuk menjadi influencer di SociaBuzz, kita tinggal mendaftar dan menunggu persetujuan. Biasanya, seseorang dengan jumlah pengikut diatas 1000 bisa langsung terdaftar. Apalagi bila influencer memiliki konten yang jelas, seperti penyuka fashion misalnya.
Proses approval-nya sendiri singkat. Hanya butuh 1-2 hari untuk disetuji SociaBuzz. “Tapi kita tidak bisa menggaransi influencer akan cepat mendapatkan job dari klien,” terang Rade.
Karakteristik Influencer
Umumnya influencer dengan jumlah followers yang tinggi akan lebih mudah mendapatkan klien. Pasalnya masih banyak merek dagang yang ingin menjalankan aktivitas pemasaran, menggandeng influencer yang sudah familiar. Basis penggemar atau follower besar pun jadi tolak ukur.
“Tapi tren micro influencer kita lihat mulai bertumbuh. Mulai banyak brand yang melihat influencer besar sudah overexposure. Setiap 10 menit endorse, kalau kita lihat itu tidak sehat. Jadi mereka (brand) masih terus mencari yang fresh, biasanya yang punya 10-20 ribu follower,” terang Rade.
Hal lain yang klien suka adalah, influencer yang otentik. Pasalnya pengikut influencer seperti ini tidak akan memiliki pemikiran, bahwa mereka tengah dihadapkan pada aktivitas pemasaran.